Kehadiran Ketua DPR Setya Novanto di konferensi pers untuk kampanye bakal calon presiden Amerika Serikat dari Partai Republik, Donald Trump, di New York, pada 3 September lalu, yang membuat heboh Indonesia itu, juga secara tak langsung mengungkapkan sisi lain dari Setya Novanto.
Ketika Setya berjabat tangan dengan Trump, tangan kanannya diangkat sedemikian rupa, sehingga kelihatan jam tangan yang dikenakannya. Menurut pengamatan pakar jam tangan mewah, jam tangan yang dikenakan Setya itu mereknya “Richard Mille”. Harganya mencapai miliaran rupiah. Beberapa kali lipat lebih mahal daripada jam tangan Presiden Amerika Serikat Barrack Obama, dan Pangeran William dari Inggris. Mungkin juga lebih mahal daripada jam tangannya Donald Trump sendiri.
Mungkin saja Setya sengaja memakai jalm tangan seper mewah itu untuk bisa mengangkat dirinya sederajat dengan Donald Trump yang dianggapnya lebih tinggi daripadanya, padahal derajat orang dipandang tinggi dari perilakunya, bukan dari jam tangan atau apapun yang dikenakannya.
Hal ini juga membuktikan bahwa Setya Novanto gemar akan kemewahan. Richard Mille yang dikenakannya itu mungkin saja bukan satu-satunya jam tangan super mewah koleksinya. Itu baru jam tangan, belum lainnya.
Di Tiongkok saja, misalnya, yang merupakan negara dengan perekonomiannya terbesar di dunia, dan rakyatnya jauh lebih makmur daripada Indonesia, negaranya sangat ketat dan serius dalam mengawasi kehidupan mewah para pejabat negaranya. Mereka yang yang ketahuan bergaya hidup mewah, akan dipecat dari jabatannya. Kemudian diusut sumber kekayaannya, jika korupsi, pasti dihukum berat, mungkin saja dihukum mati.
Setya Novanto diketahui terakhir melaporkan harta kekayaannya (LHKPN) ke KPK pada April 2009, saat ia mulai menjadi anggota DPR periode 2009-2014. Total LHKPN Setya yang dilaporkan ketika itu adalah Rp 73,79 miliar dan USD 17.781. Sedangkan harta kekayaannya saat ini belum diketahui/dilaporkan. Berselang 6 tahun dari 2009 itu tentu harta kekayaannya sudah bertambah banyak. Dengan kata lain Setya Novanto tergolong pejabat negara dengan kekayaan pribadi yang cukup besar.
Namun demikian hal itu juga membuktikan bahwa kekayaan yang besar tidak mengurangi hasrat seorang Setya Novanto untuk aji mumpung menikmati uang negara untuk keperluan pribadi dan bisnisnya. Mumpung dibiayai negara ke Amerika Serikat, sekalian saja bawa istrinya, dan mumpung juga sekalian mengurus urusan bisnis investasi pribadinya di Indonesia bersama Donald Trump.
Supaya urusan bisnis dengan Trump bisa semakin lancar, maka ia pun berupaya mengambil hati Donald Trump sekaligus mengangkat derajat dirinya dengan menghadiri acara konferensi persnya itu. Memujinya, dan secara lancang menyatakan, benar, rakyat Indonesia sangat menyukai Donald Trump. Lupa diri bahwa ia datang ke Amerika Serikat itu dalam tugas kenegaraan atas biaya negara pula, dan saat menghadiri konferensi pers kampanye Donald Trump itu pun masih mengenakan pin DPR-RI di stelan jasnya itu.
Sejak 30 Agustus lalu, Setya, Fadli Zon, dan beberapa kolega mereka dan istri serta anak-anaknya sudah berada di Amerika Serikat. Resminya Setya dan para koleganya itu terbang ke New York untuk menghadiri Konferensi Dunia IV Pimpinan Parlemen di Markas Besar Perserikatan Bangsa-Bangsa yang digelar 31 Agustus-2 September 2015.
Tetapi, setelah konferensi berakhir, sebagian besar dari mereka tidak langsung pulang ke Tanah Air. Setya bersama Fadli Zon dan sejumlah anggota DPR lainnya berikut istri dan anak-anaknya meneruskan perjalanan untuk kunjungan muhibah ke San Fransisco, Washington, dan Los Angeles, menghabiskan uang belanja yang didapat dari APBN itu.
FITRA berhitung anggaran yang dikeluarkan negara untuk membiayai para anggota DPR ke Amerika Serikat itu dalam rangka tugas negara paling sedikit Rp. 4,6 miliar, tetapi lebih cenderung pada angka lebih dari Rp. 10 miliar.
Aji mumpung padahal punya kekayaan yang jauh lebih dari cukup, tetapi tetap saja tanpa malu sedikit pun menggunakan uang negara untuk keperluan-keperluan pribadi seperti ini menunjukkan bahwa kekayaan yang berlimpah pun tidak menjamin bisa menghilangkan perilaku aji mumpung seorang pejabat negara selama sifat-sifat serakah, hidup serba mewah dan nyaman masih menguasai dirinya.
Maka itu, tak heran pula jika masih terus ada saja pejabat negara setinggi apapun jabatannya, dengan gaji dan tunjangan mencapai ratusan juta rupiah per bulan (bisa sampai lebih Rp 300 juta per bulan), masih saja korupsi.
Pejabat negara seperti ini biasanya suka menuntut diistimewakan dengan berbagai fasilitas dari negara. Feodalisme cenderung melekat pada karakter mereka. Kalau sudah begini jangan harap mereka memikirkan kepentingan rakyat, jangan harap mereka bisa punya kedekatan dengan rakyat, apalagi memperjuangkan dengan sungguh-sungguh kepentingan rakyat. Sebaliknya, rakyat hanya dimanfaatkan dan diperalat demi mencapai kepentingan dan ambisi pribadi mereka itu.
Sungguh malang nasib rakyat Indonesia karena justru sampai saat ini mereka mempunyai banyak sekali anggota DPR, maupun DPRD yang mempunyai ciri-ciri dan karakter seperti yang disebutkan itu. Menjadi anggota dPR bukan untuk memperjuangkan kepentingan rakyat, tetapi dari semula sudah dicita-citakan hanya sebagai prasarana mencari pekerjaan, mencari jabatan, dan tentu saja kekayaan sebesar-besarnya.
Kunjungan kerja sekaligus mengurus kepentingan pribadi dan pelesiran sejumlah anggota DPR ke Amerika Serikat yang dipimpin oleh Ketua DPR Setya Novanto yang ramai dibicarakan sekarang ini merupakan salah satu contohnya.
Maka itu pula tak heran, meskipun sudah ditolak dan dikecam rakyat berkali-kali, DPR tetap saja bersikukuh untuk membangun gedung baru mereka yang megah dan mewah, padahal kinerjanya tak kunjung meningkat, malahan merosot.
Di bawah kepimpinan Setya Novanto (Fraksi Golkar), dengan wakil-wakilnya Fadli Zon (Partai Gerindra), Fahri Hamzah (Fraksi PKS), Agus Hermanto (Fraksi Demokrat), dan Taufik Kurniawan (Fraksi PAN) pula DPR berupaya terus memenuhi hasrat hedonisisme dan feodalismenya yang diwujudkan dalam bentuk sebuah mega proyek terintegrasi yang terdiri dari tujuh proyek. Salah satunya adalah pembangunan jalan akses khusus bagi rakyat biasa yang hendak ke Gedung DPR dan enam bangunan baru lainnya yang tercakup dalam tujuh proyek baru tersebut.
Mega proyek yang terdiri dari tujuh proyek mega konyol itu baru-baru ini hendak mereka upayakan dengan berbagai trik menjebak agar Presiden Jokowi meresmikannya dengan menandatangani prasasti yang sudah disediakan. Tetapi, mega proyek yang dipimpin oleh Fahri Hamzah itu gagal dimulai karena Jokowi lebih cerdik daripada yang mereka kira. Jokowi menolak meresmikan proyek yang semuanya tak jelas peruntukan dan manfaatnya untuk rakyat itu.
Rencana membangun jalan akses khusus rakyat biasa tersebut di atas adalah untuk memisahkannya dari jalan khusus untuk anggota DPR sendiri saat menuju ke Gedung DPR, ke ruang kerja mereka masing-masing. Jadi, Ketua DPR dan empat orang wakilnya itu mempunyai gagasan yang sangat eksklusif memisahkan mereka dengan rakyat biasa yang katanya mereka wakili itu.
Gagasan feodalisme Setya Novanto dan kawan-kawannya sesama pimpinan DPR itu sebenarnya tak mengherankan karena saat ini saja mereka mempunyai jalan khusus berkarpet merah dengan lift khusus pula di Gedung DPR. Hanya pimpinan DPR, MPR dan DPD saja yang boleh melewati jalan dengan karpet merah tebal itu.
Karpet merah itu terhampar dari pintu masuk lobi hingga ruang kerja Setya Novanto di Lantai 3 Gedung Nusantara III. Jangankan rakyat biasa, anggota DPR biasa pun jangan harap boleh melewati jalan “feodalisme” tersebut, karena diberi pembatas khusus, dan dijaga oleh petugas keamanan Gedung DPR.
Jalan berkarpet merah itu baru disorot dan diprotes oleh Sekretariat Jenderal Majelis Permusyawaratan Rakyat kepada Setjen DPR, setelah terdengar kabar mengenai kehadiran Setya Novanto di konferensi pers kampanye bakal calon Presiden Amerika Serkat Donald Trump itu.
Atas protes itu, ditambah dengan tekanan dari masyarakat kepada DPR, akhirnya karpet merah tebal itu digulung kembali dan disimpan oleh Setjen DPR.
Selama itu pula, karpet merah tebal tersebut hanya boleh dilintasi pimpinan DPR, DPD, dan MPR, serta para tamunya. Rakyat biasa yang sedang berkunjung ke Parlemen jangan harap bisa berjalan di atasnya karena karpet empuk tersebut dikelilingi pembatas khusus sejak dari pintu lobi sampai menuju lift.
Pada saat yang sama, satu dari empat lift di Gedung Nusantara III juga disiapkan khusus untuk pimpinan DPR. Bahkan, ketika pimpinan DPR menerima Perdana Menteri Timor Leste Rui de Maria Araujo di Lantai 3, Rabu (26/8), dua dari empat lift pun diblok. Tentu saja hal ini membuat Wakil Ketua MPR Oesman Sapta Odang sempat kesulitan mengakses lift saat akan menuju ruang kerjanya di Lantai 5.
Saat Setya Novanto pulang dari Amerika Serikat nanti, dan ke Gedung DPR, ia pasti kaget karena jalan kesayangannya itu ternyata sudah tidak ada. Apakah ini suatu pertanda bahwa ia memang akan dijatuhi sanksi yang berat oleh MKD DPR? Semoga. *****
Sumber informasi:
Koran Kompas, Kamis, 10/09/2015: Saat Ketua DPR di Luar Negeri
Artikel terkait:
Jokowi dan Tujuh Proyek Mega Konyol DPR-RI
Belum Apa-apa MKD DPR Sudah Menggombal, Bilaperlu akan Panggil Donald Trump
Apakah Rakyat Indonesia Menyukai Setya Novanto?
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H