KPK sendiri dalam konferensi persnya pada 2013 pernah menyebutkan Polri bersama DPR adalah lembaga yang paling korup. Sedangkan hasil survei terbaru (31/01/2015) dari lembaga kajian nonprofit Populi Center menyatakan Polri dan DPR adalah lembaga paling korup di Indonesia (Kompas.com).
Singkatnya: Polri dan Kejagung tidak bisa memenuhi harapan masyarakat dalam pemberantasan korupsi, sebaliknya justru dua lembaga penegak hukum ini dikenal sebagai lembaga paling korup. Oleh karena itulah negara membentuk lembaga penegak hukum baru dengan nama KPK dengan segala kewenangannya yang luar biasa (super body) demi menghadapi kejahatan korupsi yang juga luar biasa (extra ordinary crime).
Sekarang, seolah-olah logika tersebut hendak dijungkir-balikkan dengan merekomendasikan para pejabat Polri dan Kejagung menjadi ketua dan pimpinan KPK. Apalagi entah bagaimana caranya nanti jika justru dari lima pimpinan KPK yang baru nanti didominasi dari Polri dan/atau Kejagung? Apalagi jika program Ruki berjalan mulus sehingga penyidik-penyidik KPK pun mayoritas dari Polri? Bisa-bisa KPK akan berubah menjadi “cabang” Polri dan/atau Kejagung, karena dari pimpinan sampai para penyidiknya mayoritas dari dua lembaga ini. Hanya namanya saja “KPK” tetapi isinya didominasi orang-orang Polri dan/atau Kejagung.
Sedangkan menurut catatan ICW di antara calon kepolisian dan kejaksaan yang lolos, terdapat beberapa nama yang kontroversial. Bahkan, ada calon yang pernah mendapatkan hukuman dari instansinya karena pernah melakukan kesalahan fatal. Demikian yang dikatakan oleh koordinator investigasi ICW Febri Hendri, di Jakarta, Minggu, 5 Juli 2015.
Febri mengatakan, ICW tidak menganggap semua calon dari Polri dan Kejagung itu buruk. Masih banyak polisi dan jaksa yang masih baik. ’’Namun perlu diwaspadai karena hubungan polisi dan KPK sering bermasalah,’’ ujarnya (Harian Jawa Pos, Senin, 06/07/2015).
Lepas dari apakah kwalitas calon dari Polri baik atau buruk, fakta yang diutarakan oleh Febri itu sendiri, yakni hubungan antara lembaga Polri dengan KPK sering bermasalah, sebetulnya juga merupakan suatu kontradiksi tersendiri. Apakah pejabat Polri yang direkomendasikan lembaganya untuk menjadi pimpinan KPK itu tidak akan menciptakan terjadinya konflik kepentingan di antara kedua lembaga itu kelak? Apakah mungkin pimpinan KPK dari Polri yang sejatinya direkomendasikan atasannya itu (Kapolri/Wakapolri) bisa benar-benar bersikap independen dan lebih mementingkan penegakan hukum khususnya pemberantasan korupsi, jika kelak ditemukan adanya korupsi di Kepolisian?
Baik dari Polri, maupun Kejagung menyatakan calon-calon yang mereka rekomendasikan untuk mejadi pimpinan KPK itu merupakan pejabat-pejabat terbaik yang mereka miliki. Pertanyaannya, jika benar demikian, bukankah lebih baik terlebih dahulu pejabat-pejabat terbaiknya mereka itu dipakai sendiri untuk memperbaiki lembaganya masing-masing yang sampai sekarang bereputasi buruk di mata masyarakat? Kok sekarang malah dikirim untuk menjadi pimpinan KPK, yang justru reputasinya lebih baik dari lembaga mereka masing-masing itu?
Pernyataan tersebut jelas merupakan suatu kontradiksi lagi. *****
Keterangan gambar:
Suasana ujian penulisan makalah tentang diri dan kompetensi seleksi calon pimpinan KPK 2015-2019, di Pusdiklat Setneg, Jakarta Selatan, Rabu (8/7/2015). Sebanyak 194 calon pimpinan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) memasuki tahap seleksi uji kompetensi serta penulisan makalah. TRIBUNNEWS/HERUDIN
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H