Seratus sembilan puluh empat orang telah dinyatakan lolos seleksi tahapan pertama calon pimpinan (komisioner) KPK, termasuk di dalamnya adalah empat orang dari Polri dan lima orang dari Kejaksaan Agung (Kejagung). Dari Polri terdiri dari Inspektur Jenderal Yotje Mende, Inspektur Jenderal Syahrul Mamma, Inspektur Jenderal Tubagus Anis Angkawijaya, dan Brigadir Jenderal (Pol) Basaria Panjaitan. Keempat perwira polisi calon pimpinan KPK ini dikabarkan juga merupakan rekomendasi dari Wakapolri Budi Gunawan, yang sempat berseteru hebat dengan KPK. Sedangkan dari Kejagung terdiri dari Sri Harijati, M Rum, Paulus Joko Subagyo, Jasman Panjaitan, dan Suhardi.
Secara formal tidak ada yang salah dari sembilan orang calon dari Polri dan Kejagung ini, karena memang tidak ada undang-undang yang melarangnya. Semua orang berhak mencalonkan dirinya asalkan memenuhi syarat-syarat sebagaimana tersebut di Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK).
Tetapi, jika kita menelisik sejarah dan pertimbangan pembentukan KPK, maka keberadaan calon-calon pimpinan KPK dari Polri dan Kejagung sebenarnya merupakan suatu kontradiksi. Apalagi dalam programnya pelaksana tugas Ketua KPK Taufiequrachman Ruki dalam masa tugasnya yang sampai Desember 2015 ini akan membuka pintu lebar-lebar untuk semakin banyak masuknya penyidik dari Polri.
Padahal sejarah latar belakang pembentukan KPK itu sendiri adalah justru karena selama ini kedua lembaga tersebut: Polri dan Kejagung dianggap gagal dalam melaksanakan kewajibannya dalam pemberantasan korupsi. Sebaliknya dari tahun ke tahun dari berbagai survei dan pemeriksaan keuangan kedua lembaga ini justru selalu termasuk dalam daftar lembaga negara terkorup di Indonesia.
Di dalam konsideran Undang-Undang KPK hal tersebut dengan sangat jelas disebutkan:
Menimbang : a. bahwa dalam rangka mewujudkan masyarakat yang adil, makmur, dan sejahtera berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, pemberantasan tindak pidana korupsi yang terjadi sampai sekarang belum dapat dilaksanakan secara optimal. Oleh karena itu pemberantasan tindak pidana korupsi perlu ditingkatkan secara profesional, intensif, dan berkesinambungan karena korupsi telah merugikan keuangan negara, perekonomian negara, dan menghambat pembangunan nasional;
Â
- bahwa lembaga pemerintah yang menangani perkara tindak pidana korupsi belum berfungsi secara efektif dan efisien dalam memberantas tindak pidana korupsi;Â
- bahwa sesuai dengan ketentuan Pasal 43 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, perlu dibentuk Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi yang independen dengan tugas dan wewenang melakukan pemberantasan tindak pidana korupsi;Â
- bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud dalam huruf a, huruf b, dan huruf c perlu membentuk Undang-Undang tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. ...
Â
Kinerja dan predikat lembaga Polri dan Kejagung yang disebutkan di atas itu dari dahulu (sebelum ada KPK) sampai sekarang belum juga menunjukkan perubahan.
Pada 15 Juli 2012, Forum Indonesia untuk Transparansi Anggaran (FITRA) menyebutkan berdasarkan hasil pemeriksaan BPK tahun 2008-2010, lembaga Kejaksaan adalah lembaga paling korup se-Indonesia. Di lembaga penegak hukum itu, terdapat potensi kerugian negara sekitar Rp 5,43 triliun dari total potensi kerugian negara senilai Rp 16,4 triliun di 83 kementerian atau lembaga negara (Kompas.com).
Sedangkan Satuan Tugas Khusus Penanganan dan Penyelesaian Perkara Tindak Pidana Korupsi (Satgas P3TPK) yang terdiri dari 100 jaksa yang dibentuk dan dilantik Jaksa Agung M Prasetyo pada 8 Januari 2015, yang katanya khusus untuk memburu para koruptor kelas kakap, sampai sekarang nyaris tak terdengar prestasinya. Belum ada satu pun koruptor kakap yang berhasil mereka tangkap dan dipenjara. Sehingga lebih terkesan hanya formalitas gagahan semata.