Mohon tunggu...
Daniel H.T.
Daniel H.T. Mohon Tunggu... Wiraswasta - Wiraswasta

Bukan siapa-siapa, yang hanya menyalurkan aspirasinya. Twitter @danielht2009

Selanjutnya

Tutup

Catatan Artikel Utama

Di Balik Sengketa Izin Reklamasi Pantai Utara Jakarta oleh Ahok

18 April 2015   23:16 Diperbarui: 17 Juni 2015   07:56 3239
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

KOMPAS.COM/KURNIASARI AZIZAH (dari kiri ke kanan) Asisten Sekda bidang Keuangan DKI Andi Baso Mappapoleonro, Gubernur DKI Jakarta Basuki Tjahaja Purnama, ?Bupati Kepulauan Seribu Tri Djoko Sri Margianto, dan Asisten Sekda bidang Kesejahteraan Masyarakat DKI Fatahillah di Pulau Onrust, Kepulauan Seribu, Selasa (7/4/2015).

Pada 23 Desember 2014 Gubernur DKI Jakarta Basuki Tjahaja Purnama alias Ahok menerbitkan Keputusan Gubernur Nomor 2238 Tahun 2014 yang memberi izin reklamasi kepada PT Muara Wisesa Samudra. Anak perusahaan grup Agung Podomoro Land (APL) itu diberi izin untuk melakukan reklamasi laut seluas 161 hektare, melingkupi 17 pulau, di Pantai Muara Karang, Pluit, Jakarta Utara.

Persis 3 bulan kemudian, pada 23 Maret 2015 sebuah LSM yang menamakan dirinya Jakarta Monitoring Network (JMN) melayangkan gugatannya ke PTUN Jakarta. Yang digugat LSM ini adalah landasan hukum terbitnya Keputusan Gubernur Nomor 2238 Tahun 2014 tersebut. Direktur Eksekutif JMN Masnur Marzuki menilai keputusan gubernur itu dibuat tanpa kewenangan gubernurnya karena di dalam Peraturan Presiden Nomor 122 Tahun 2012 yang berlaku sejak 6 Desember 2012 izin reklamasi seperti itu bukan merupakan wewenang gubernur, tetapi pemerintah pusat, dalam hal ini Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP).

Sedangkan, masih menurut Masnur, Keputusan Gubernur yang diteken Ahok itu berdasarkan peraturan lama, yaitu Keputusan Presiden Nomor 52 Tahun 1995 tentang Reklamasi Pantai Utara Jakarta – yang memang memberi wewenang kepada gubernur untuk memberi izin reklamasi seperti itu, padahal yang berlaku sekarang adalah Peraturan Presiden Nomor 122 Tahun 2012 tentang Reklamasi di Wilayah Pesisir dan Pulau-pulau Kecil itu.

Peraturan Presiden ini menentukan yang berwenang menerbitkan izin reklamasi terhadap wilayah yang termasuk strategis nasional adalah Kementerian Kelautan dan Perikanan. Ketentuan tersebut diturunkan dalam Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan Nomor 17/Permen-KP/2013 tentang Perizinan Reklamasi Wilayah Pesisir dan Pulau-pulau Kecil. Peraturan Menteri ini menyebutkan kawasan pesisir utara Jakarta termasuk wilayah strategis nasional.

Berdasarkan semua dalil itulah Masnur melayangkan gugatannya atas nama JMN ke PTUN Jakarta, meminta hakim membatalkan Keputusan Gubernur Nomor 2238 Tahun 2014 tersebut. Mereka juga meminta hakim mengeluarkan putusan sela untuk menghentikan sementara proyek reklamasi oleh PT Muara Wisesa sampai ada putusan pengadilan yang berkekuatan hukum tetap.

Dari kasus inilah lalu ada Kompasianer yang menamakan dirinya “Sang Pujangga” didukung oleh “Go Teng Shin (GTS)” meng-blow-up-nya menjadi seolah-olah ini kasus yang luar biasa besarnya, lalu berdasarkam pemikirannya yang sangat apriori cenderung melancarkan fitnah bahwa di balik surat keputusan gubernur itu, ada permainan kongkalikong korupsi dan kolusi antara Ahok dengan pihak APL, dikait-kaitkan pula dengan rencana Ahok untuk maju lagi di Pilkada DKI Jakarta 2017 (maksudnya nanti APL akan menjadi penyokong dana kampanyenya). Padahal kita tak pernah mendengar Ahok ada niat Ahok untuk mencalonkan diri lagi di Pilkada DKI Jakarta 2017.

Juga, diangan-angankan seolah-olah jika putusan PTUN Jakarta itu mengabulkan permohonan penggugat, maka Ahok bisa dipidana, dan pasti masuk penjara.

Benarkah demikian?

Penggugat dan Mohammad Taufik

Sesungguhnya kasus ini hanyalah sebuah sengketa perbedaan tafsir implementasi suatu peraturan perundang-undangan, tetapi kemudian dijadikan alat untuk menyerang Ahok secara politik. Bisa jadi ada kaitannya dengan pengungkapan Ahok tentang adanya anggaran siluman di APBD DKI Jakarta. Tetapi, malah diputarbalikkan seolah-olah karena adanya kasus pelanggaran hukum berat oleh Ahok di dalam pemberian izin reklamasi kepada anak perusahaan APL itu, lalu Ahok dengan liciknya mengalihperhatian publik dan media ke kasus APBD DKI dengan perseteruan terbukanya dengan DPRD DKI Jakarta itu.

Disebutkan “serangan politik” karena ternyata pihak penggugat Ahok itu, Masnur Marzuki dengan JMN-nya itu, disokong penuh oleh Wakil Ketua DPRD DKI dari Fraksi Partai Gerindra Mohammad Taufik, “musuh bebuyutan” Ahok, sejak Ahok membongkar adanya anggaran siluman di APBD DKI Jakarta itu. Seperti yang diberitakan majalah Tempo, direktur JMN Masnur Marzuki dan kawan-kawannya selalu sesegera mungkin melaporkan langsung perkembangan gugatan itu kepada Taufik. Mereka datang langsung ke kantor Taufik di DPRD DKI untuk melaporkan perkembangan gugatan itu.

Kepada Tempo yang menemukan fakta itu, Taufik membenarkan pihaknya sangat mendukung Masnur Marzuki mengajukan gugatan kepada Ahok di PTUN Jakarta itu, namun dia menolak bila gugatan itu diartikan sebagai bagian dari serangan politiknya terhadap Ahok.

KKP Tak Punya Rencana Menggugat Ahok

Meskipun awalnya, pasca terbitnya Surat Keputusan Gubernur DKI Jakarta itu (Januari-Februari 2015) hubungan antara Gubernur Ahok dengan KKP sempat memanas, lebih disebabkan karena belum adanya titik temu cara pandang dalam kasus perizinan reklamasi tersebut, namun sekarang ini kedua belah pihak sedang melakukan pembicaraan-pembicaraan demi menjernihkan perselisihan tersebut. Permasalahan tersebut adalah karena adanya perbedaan tafsir implementasi peraturan presiden tentang reklamasi itu.

Sang Pujangga dalam artikel-artikelnya yang menyerang Ahok itu terus-menerus menggunakan data-data lama (Januari-Februari 2015, saat perselisihan sedang panas-panasnya) untuk menunjukkan bukti tentang adanya perselisihan antara Ahok dengan KKP itu. Dia tampaknya sengaja melakukan hal itu dengan mengaburkan data bahwa kejadian-kejadian yang disebutkan itu adalah kejadian di antara bulan Januari-Februari, dengan cara tidak menyebutkan kapan kejadian tersebut terjadi. Sehingga orang menyangka kejadian (perselisihan Ahok dengan KKP) itu sedang terjadi sekarang ini juga.

Sudirman Saad, Direktur Jenderal Kelautan Pesisir dan Pulau-pulau Kecil menjelaskan bahwa gugatan atas izin reklamasi di pantai utara Jakarta itu bisa muncul karena perbedaan penafsiran atas sejumlah ketentuan pada Keputusan Presiden Nomor 52 Tahun 1995 dan Peraturan Presiden Nomor 122 Tahun 2012 itu.

Pihak KKP sendiri, menurut keterangan langsung dari Sudirman Saad, tidak punya rencana untuk membawa perbedaan tafsir ini ke ranah hukum. Meskipun demikian, KKP mengajak Pemprov DKI Jakarta duduk bersama. “Untuk menjernihkan masalah ini”, ucap Sudirman. Kesepahaman antarlembaga pemerintah, menurut dia, penting untuk mengantisipasi sengketa di kemudian hari akibat perbedaan persepsi (Majalah Tempo, 19 April 2015).

Terasa janggal, karena pihak KKP yang berkepentingan langsung dengan masalah kewenangan tersebut tidak punya rencana untuk menggugat Ahok, karena mereka sadar kasus ini sesungguhnya hanya terkait perbedaan tafsir peraturan hukum, yang menggugat masalah kewenangan tersebut malah Masnur Marzuki dengan JMN-nya itu.


Ahok Melawan Konstitusi?

Sang Pujangga, GTS, dan kawan-kawannya pun merasa sangat senang karena merasa bisa membuktikan bahwa Ahok yang sebelumnya selalu sesumbar hanya taat kepada konstitusi, ternyata telah nyata-nyata melakukan pelanggaran konstitusi demi memberi keuntungan besar kepada APL, dengan cara melakukan melakukan penyalahgunaan wewenangnya itu.

Menurut Sang Pujangga, setelah perselisihannya dengan pihak KKP muncul dan datangnya berbagai kritik dari lawan-lawan politiknya, Ahok pun dengan liciknya melemparkan tanggung jawab masalah ini kepada Presiden Jokowi.

Di salah satu artikelnya dia menulis: “Tapi bukan Ahok namanya jika bersedia tunduk pada konstitusi. Meskipun sudah jelas-jelas melanggar aturan perundang-undangan di atasnya, Ahok lebih memilih menyerahkan tanggungjawabnya pada Presiden Jokowi. Menurut Ahok, dirinya tidak bisa mencabut SK Gubernur Provinsi DKI Jakarta Nomor 2238 Tahun 2014 yang ditandatangani Ahok pada tanggal 23 Desember 2014 tersebut.”

Sebenarnya apa yang dikatakan Ahok ini wajar saja, dan memang benar adanya.

Dia merasa berwenang dalam menerbitkan surat keputusan gubernurnya itu, tetapi toh kalau pihak-pihak tertentu  seperti KKP masih terus mempermasalahkannya, maka satu-satu solusinya memang Presiden harus turun tangan. Kalau Keputusan Presiden Nomor 52 Tahun 1995 yang menjadi dasar kewenangan Ahok menerbitkan surat keputusan gubernurnya itu, maka yang bisa mencabut Keputusan Presiden itu hanyalah Presiden sendiri, yaitu Presiden Jokowi.

Apakah benar Ahok yang selama ini sesumbar hanya taat pada konstitusi, kini ternyata nyata-nyata telah melakukan pelanggaran konstitusi?

Dasar Hukum Kewenangan Ahok sebagai Gubernur DKI Jakarta

Pihak Pemprov DKI Jakarta (Gubernur Ahok) berpendirian bahwa surat izin reklamasi yang diterbitkan itu tidak menyalahi aturan dan tidak menyalahi wewenang, meskipun Peraturan Presiden Nomor 122 Tahun 2012 juncto Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan Nomor 17/Permen-KP/2013 itu menyebutkan izin reklamasi seperti di pantai utara Jakarta itu merupakan kewenangan KKP, karena termasuk wilayah strategis nasional.

Dasar hukumnya adalah Pasal 32 Peraturan Presiden Nomor 122 Tahun 2012 itu, yang menyebutkan bahwa permohonan izin reklamasi sebelum peraturan presiden itu terbit mengikuti aturan yang lama. Sedangkan PT Muara Wisesa mengajukan permohonan izin reklamasi itu jauh sebelum peraturan presiden ada, dan dikabulkan.

Ini adalah pasal yang dimaksud dari Peraturan Presiden Nomor 122 Tahun 2012:

BAB VI

KETENTUAN PERALIHAN

Pasal 32

(1) Permohonan izin lokasi reklamasi dan izin pelaksanaan reklamasi yang diajukan sebelum ditetapkannya Peraturan Presiden ini

diproses sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku sebelum ditetapkannya Peraturan Presiden ini.

(2) Izin lokasi reklamasi dan izin pelaksanaan reklamasi yang telah diterbitkan sebelum ditetapkannya Peraturan Presiden ini

dinyatakan tetap berlaku sampai dengan jangka waktu izin berakhir.

Termasuk ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku sebelum ditetapkannya Peraturan Presiden itu adalah terutama Keputusan Presiden Nomor 52 Tahun 1995 menentukan:

Pasal 1

Dalam Keputusan Presiden ini, yang dimaksud dengan:

1. Reklamasi Pantai Utara Jakarta, selanjutnya disebut Reklamasi

Pantura, adalah kegiatan penimbunan dan pengeringan laut di bagian

perairan laut Jakarta;

2. Kawasan Pantai Utara Jakarta, selanjutnya disebut Kawasan Pantura,

adalah sebagian wilayah Kotamadya Jakarta Utara yang meliputi areal

daratan pantai utara Jakarta yang ada dan areal Reklamasi Pantai

Utara Jakarta.

Pasal 4

Wewenang dan tanggung jawab Reklamasi Pantura berada pada

Gubernur Kepala Daerah Khusus Ibukota Jakarta.

Kepala Bidang Pelayanan Hukum DKI Jakarta Solefide Sihite juga menambahkan, ketentuan peutup Peraturan Presiden Nomor 122 Tahun 2012 itu pun tidak menyebutkan pencabutan Keputusan Keputusan Presiden Nomor 52 Tahun 1995. Artinya, menurut penafsiran Pemprov DKI Jakarta, kewenangan memberi izin reklamasi pantai utara Jakarta itu masih di tangan Gubernur DKI.

Keppres ini ditindaklanjuti dengan Perda DKI Nomor 8 Tahun 1995 tentang Penyelenggaraan Reklamasi dan Rencana Tata Ruang (RTRW) Pantai Utara Jakarta.

Sementara itu, Perda DKI Jakarta Nomor 6 Tahun 1999 tentang RTRW Jakarta 2010 juga ikut memberikan panduan kebijakan terhadap penyelenggaraan reklamasi Jakarta.

Ahok berpatokan pada peraturan-peraturan tersebut di atas dalam memberi izin reklamasi kepada PT Muara Wisesa Samudra.

Jadi, ternyata Ahok masih taat konstitusi.

Terungkapnya penjelasan ini, bisa bikin kecewa lagi para pembencinya, yang sudah telanjur senang mengira Ahok telah melanggar konstitusi (hukum) itu.

**

Dari uraian ini sudahlah jelas persoalan sebenarnya, bahwa sejatinya memang yang dipersengketakan di sini adalah masalah perbedaan tafsir implementasi peraturan presiden. Anehnya, seperti yang saya sebutkan di atas, pihak KKP sendiri yang berkepentingan langsung menyangkut kewenangan tersebut tak punya niat untuk menggugat Pemprov DKI Jakarta (Ahok), yang ngotot malah Masnur Marzuki dan kawan-kawannya itu, yang disokong sepenuhnya oleh M Taufik.

Lalu, ada pihak-pihak anti-Ahok di Kompasiana ini (“Sang Pujangga”, “GTS”,  dan kawan-kawannya) menyebarkan kasus tersebut dengan cara meng-blow-up-kannya dan diramu sedemikian rupa untuk menggiring opini publik bahwa Ahok telah melakukan penyalahgunaan wewenang, melanggar hukum, dan di balik semua itu ada permainan korupsi dan kolusi Ahok dengan pihak APL.

Secara logika saja kita berpikir, apakah Ahok sedemikian bodohnya sampai mau melakukan pelanggaran hukum dan penyalahgunaan wewenangnya secara sedemikian  transparannya, dan mau melakukan kolusi dan korupsi di mega proyek seraksasa itu, sehingga dengan sedemikian mudah bisa diketahui?

Jika Ahok memang bermental korup, mau korupsi, kenapa ia tidak diam-diam saja berkongkalikong berkompromi dengan para anggota DPRD DKI itu berbagi dana dari anggaran siluman yang mencapai belasan triliun tiap bulan itu? Toh, kalau tak diungkapkan seperti sekarang, publik tidak bakal mengetahuinya?

AMDAL

Sedangkan menyangkut AMDAL, sebagaimana pemberitaan Kompas.com, 31 Juli 2013, sudah diperoleh pihak APL, melalui PT Muara Wisesa Samudera.

Kompas.com edisi itu antara lain memberitakan:

PT Agung Podomoro Land Tbk (APLN) melalui PT Muara Wisesa Samudera boleh bernafas lega. Pasalnya, izin Analisis Mengenai Dampak Lingkungan (AMDAL) atas proyek Pluit City di depan garis pantai utara Jakarta, hari ini sudah turun. Dengan demikian, mereka tinggal menunggu izin reklamasi yang ditargetkan rampung setelah Lebaran. Bila semua perijinan keluar, APLN akan segera memulai pembangunan reklamasi pada Oktober 2013.



Direktur Keuangan APLN Cesar De La Cruz mengatakan, AMDAL yang didasarkan pada Peraturan Pemerintah  No. 27 Tahun 2012 tentang Ijin Lingkungan Hidup, sangat penting. AMDAL inilah yang menentukan apakah pembangunan reklamasi pantai utara Jakarta dapat dilakukan atau tidak

Ahok Pengecut?

”Sang Pujangga” adalah  kompasianer yang akhir-akhir ini paling bersemangat, didukung oleh “Go Teng Shin (GTS)”, menyerang Ahok dengan berbagai artikel berserinya tentang analisa  yang terlalu dipaksakan bahwa ada praktek kongkalikong korupsi dan kolusi Ahok dengan pihak APL di balik proyek reklamasi dan pembanguan properti di atasnya yang akan memakan biaya sekitar 50 triliun itu.

Sama dengan Masnur Marzuki, ia juga dengan sangat bersemangat memusatkan serangannya kepada Ahok mengenai ketidakwenangan Ahok sebagai Gubernur menerbitkan izin reklamasi, padahal sebetulnya Ahok berwenang, sebagaimana sudah saya uraikan di atas.

Pihak KKP yang berkepentingan langsung tentang kewenangan tersebut tidak lagi mempermasalahkan kewenangan Ahok keputusan gubernur itu, yang terus mempermasalahkan malah orang-orang seperti “Sang Pujangga” dan kawan-kawannya ini. Jangan-jangan mereka ini ada kaiatan langsung dengan Masnur Marzuki dengan JMN-nya itu?

Sedangkan “GTS” adalah Kompasianer yang sejak mendaftar sebagai anggota Kompasiana memang hanya punya satu misi sebagai “Kompasianer spesialis anti-Jokowi dan Ahok”, terutama sekali Ahok. Disebut demikian karena seluruh artikel dan komentarnya, dari pertama kali sampai sekarang hanya berisi keburukan-keburukan Jokowi dan Ahok menurut versinya.

Sang Pujangga menyatakan Ahok telah melakukan pelecehan terhadap pengadilan (PTUN) dan sebagai seorang pengecut karena mangkir di dua agenda persidangan PTUN yang akan memeriksa gugatan Masnur Marzuki itu. Padahal saya yakin Ahok dan kuasa hukumnya punya alasan untuk tidak hadir saat itu.

Ketidakhadiran salah satu pihak dalam suatu agenda persidangan sudah merupakan hal biasa, dengan berbagai alasannya. Sama sekali tidak ada hubungannya dengan pengecut atau tidak pengecut. Secara hukum mereka yang tidak hadir di suatu persidangan justru bisa merugikan pihaknya sendiri, karena jika sampai tiga kali mangkir, hakim bisa membuka sidang dengan tidak mendengar keberatan dan pembelaan diri dari pihaknya. Apalagi jika pihaknya mempunyaidasar argumen dan bukti yang kuat untuk bisa mengalahkan lawannya di pengadilan itu.

Di dalam sidang gugatan di PTUN itu Ahok sebagai pihak tergugat tidak perlu datang sendiri ke persidangan tersebut, cukup dengan mewakilkannya kepada kuasa hukumnya. Selama ini memang demikian. Gugatan terhadap keputusan presiden, misalnya, tidak berarti presiden sendiri yang harus datang ke persidangan itu. Dia cukup diwakili oleh kuasa hukumnya untuk menghadapi gigatan tersebut.

Pemprov DKI Jakarta (Ahok) memang pnuya bukti hukum yang sangat kuat untuk membuat hakim PTUN menolak gugatan Masnur Marzuki dengan JMN-nya itu, sebagaimana saya uraikan di atas, yaitu sebagai Gubernur DKI Jakarta, berdasarkan ketentuan Pasal 4 Keputusan Presiden Nomor 52 Tahun 1995 menyebut secara eksplisit: Wewenang dan tanggung jawab Reklamasi Pantura berada pada Gubernur Kepala Daerah Khusus Ibukota Jakarta.

Memang betul pada 6 Desember 2012 telah berlaku Peraturan Presiden Nomor 122 yang menentukan bahwa tentang reklamasi yang mencakup wilayah strategis nasional wewenang pemberian izinnya ada di pihak KPP, dan berdasarkan Peraturan Menteri KKP Nomor 17/Permen-KP/2013 menyebutkan bahwa kawasan pesisir utara Jakarta termasuk wilayah strategis nasional. Dengan demikian yang berwenang adalah pihak KKP.

Tetapi di Keppres terbaru itu ada Bab mengenai Ketentuan Peralihannya, yang di Pasal 32-nya secara tegas menyebutkan mengenai izin reklamasi yang dimohon dan ditangani sebelum Keppres itu berlaku, maka yang berlaku ada peraturan lama, yaitu Keppres Nomor 52 Tahun 1995 itu: wewenang ada di tangan Gubernur DKI Jakarta.

Dibandingkan Ahok, saya pikir mereka yang bersembunyi di balik nama samaran, tidak mengverisikasi dirinya ke Admin Kompasiana, tetapi dengan posisi demikian bebas menyebarkan berbagai tuduhan negatif (fitnah) kepada Jokowi dan/atau Ahok, lebih pas menyandang “gelar” yang disematkan Sang Pujangga kepada Ahok itu.

Berhadapan "head to head" dengan 106 anggota DPRD DKI sekaligus saja Ahok tak gentar sedikit pun, apalagi hanya dengan gugatan super lemah dari sebuah LSM yang bernama Jakarta Monitoring Network itu, yang entah kapan didirikan itu.

**

Sebagai pelengkap berikut ini saya sertakan kronologis dari permasalahan izin reklamasi di pesisir utara Jakarta itu sejak era Soeharto sampai sekarang, yang saya ambil dari Majalah Tempo edisi 13-19 April 2015:

Mulanya, pada 1995, terbit sebuah keputusan presiden. Lalu keluarlah undang-undang dan sejumlah peraturan pendukungnya. Namun rencana megaproyek untuk memperluas daratan Ibu Kota itu tersendat-sendat, antara lain karena sering digugat.

1995

JULI

Terbit Keputusan Presiden Nomor 52 Tahun 1995 tentang Reklamasi Pantai Utara Jakarta.

AGUSTUS

Keluar Peraturan Daerah Nomor 8 Tahun 1995 tentang Penyelenggaraan Reklamasi dan Rencana Tata Ruang Kawasan Pantura Jakarta.

2000

26 SEPTEMBER

Terbit Surat Keputusan Gubernur DKI Jakarta Nomor 138 Tahun 2000 tentang Tata Cara Penyelenggaraan Reklamasi Pantai Utara Jakarta. Menurut keputusan gubernur ini, ada 17 pulau reklamasi dengan total luas 5.100 hektare. Izin prinsipnya diberikan kepada 10 pengembang:

" PT Muara Wisesa Samudra

" PT Taman Harapan Indah

" PT Bhakti Bangun Eramulia

" PT Kawasan Berikat Nusantara

" PT Pembangunan Jaya Ancol

" PT Kapuk Naga Indah

" PT Jaladri Kartika Eka Paksi

" PT Manggala Krida Yudha

" PT Dwi Marunda Makmur

" PT Jakarta Propertindo

2007-2010

17 JULI

" Terbit Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2007 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-pulau Kecil.

" Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2007 dimintakan uji materi oleh Koalisi Tolak Hak Pengusahaan Perairan Pesisir. Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 3/ PUU-VIII/2010 mengabulkan sebagian uji materi aturan tersebut.

2012

12 JANUARI

Terbit Peraturan Daerah Nomor 1 Tahun 2012 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah 2030.

19 SEPTEMBER

Muncul Peraturan Gubernur 121 Tahun 2012 tentang Penataan Ruang Kawasan Reklamasi Pantai Utara Jakarta.

Desain pulau berubah, tapi tetap berjumlah 17. Jumlah pengembang menyusut menjadi:

" PT Pelindo

" PT Manggala Krida Yuda

" PT Pembangunan Jaya Ancol

" PT Jakarta Propertindo

" PT Muara Wisesa Samudra

" PT Jaladri Ekapaksi

" PT Kapuk Naga Indah

21 SEPTEMBER

Terbit Surat Gubernur Nomor 1291/-1.794.2 yang memberikan izin prinsip kepada PT Muara Wisesa Samudra.

6 DESEMBER

Terbit Peraturan Presiden Nomor 122 Tahun 2012 tentang Reklamasi di Wilayah Pesisir dan Pulau-pulau Kecil.

2013

5 JULI

Terbit Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan Nomor 17/Permen-KP/2013 tentang Perizinan Reklamasi di Wilayah Pesisir dan Pulau-pulau Kecil.

2014

15 JANUARI

Terbit Perubahan atas Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2007 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-pulau Kecil.

10 JUNI

Terbit Surat Gubernur Nomor 542/-1.784.2 yang memperpanjang izin prinsip tahun 2012 kepada PT Muara Wisesa.

23 DESEMBER

Keluar Keputusan Gubernur Nomor 2238 Tahun 2014 yang memberikan izin pelaksanaan reklamasi kepada Muara -Wisesa.

2015

MARET

Keputusan Gubernur Nomor 2238 Tahun 2014 yang memberikan izin pelaksanaan reklamasi kepada Muara Wisesa digugat ke Pengadilan Tata Usaha Negara.

2017

DESEMBER

Batas waktu izin reklamasi Muara Wisesa. Jika reklamasi belum selesai, akan ditinjau kembali.

*****

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Catatan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun