Mohon tunggu...
Daniel H.T.
Daniel H.T. Mohon Tunggu... Wiraswasta - Wiraswasta

Bukan siapa-siapa, yang hanya menyalurkan aspirasinya. Twitter @danielht2009

Selanjutnya

Tutup

Catatan Artikel Utama

Ratu Atut dan Gamawan Fauzi

18 Desember 2013   10:10 Diperbarui: 24 Juni 2015   03:47 1809
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

[caption id="attachment_309566" align="aligncenter" width="624" caption="Ilustrasi/Admin (KOMPAS.com)"][/caption]

Di kala setiap orang – kecuali para koruptor – menyambut gembira penetapan Gubernur Banten Ratu Atut Chosiyah sebagai tersangka kasus korupsi oleh KPK pada Rabu, 17 Desember 2013 ini, bahkan warga Banten sampai merayakan "kemerdekaan" mereka, Menteri Dalam Negeri (Mendagri) Gamawan Fauzi justru kurang bersemangat ketika diminta pernyataannya tentang status Ratu Atut sebagai Gubernur Banten.

Menurut Gamawan, meskipun Ratu Atut telah ditetapkan sebagai tersangka oleh KPK, dia tetap masih sebagai Gubernur Banten, dan tetap berwenang atas pelaksanaan pemerintahan Provinsi Banten seperti biasa. Bahkan, kata Gamawan lagi, kalau sampai Ratu Atut ditahan oleh KPK pun, dia (Ratu Atut) masih tetap adalah Gubernur Banten dengan segala kewenangannya itu!

"Sesuai UU,  seorang kepala daerah baru dinonaktifkan apabila yang bersangkutan ditetapkan sebagai terdakwa," ujar Gamawan saat dihubungi Kompas.com, Selasa (17/12/2013).

"Sampai ditahan, (penanggung jawab pemerintahan) masih Atut. Seperti Rusli Zainal dulu (mantan Gubernur Riau, terdakwa kasus dugaan korupsi PON Riau)," kata Gamawan.

Jadi, yang mengira Rano Karno selaku Wakil Gubernur Banten akan segera mengganti Ratu Atut sebagai Gubernur Banten, harap bersabar dulu. Setidaknya sampai beberapa bulan ke depan, yaitu sampai Ratu Atut diajukan ke Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) sebagai terdakwa. Sebab pada saat itulah barulah Mendagri akan memroses tindakan pemberhentian sementara kepada Ratu Atut sebagai Gubernur Banten.

Sebelum itu Provinsi Banten akan tetap mempunyai Gubernurnya yang berstatus tersangka koruptor, dan tak lama lagi akan mempunyai Gubernur yang berkantor di dalam sel tahanan KPK. Jadi, Gubernur Banten Ratu Atut akan mengendalikan pemerintahan Provinsi Banten dari balik heruji besi, karena dia merangkap sebagai tahanan KPK. Kejadian seperti ini hanya bisa terjadi di negeri yang pemerintahnya terlalu tolerir terhadap para pelaku korupsi.

Penerapan Hukum Mendagri  Terlalu Kaku

Secara formal, pernyataan Mendagri itu dapat dibenarkan. Pernyataannya itu mempunyai dasar hukumnya, yaitu UU Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintah Daerah.

Pasal 31ayat (1):

Kepala daerah dan/atau wakil kepala daerah diberhentikan sementara oleh Presiden tanpa melalui usulan DPRD karena didakwa melakukan tindak pidana korupsi, tindak pidana terorisme, makar, dan/atau tindak pidana terhadap keamanan negara.

Pasal 31 ayat (2)

Kepala daerah dan/atau wakil kepala daerah diberhentikan oleh Presiden tanpa melalui usulan DPRD karena terbukti melakukan makar dan/atau perbuatan lain yang dapat memecah belah Negara Kesatuan Republik Indonesia yang dinyatakan dengan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap.

Dalam pelaksanaannya diatur lebih lanjut oleh Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 6 Tahun 2005 tentang Pemilihan, Pengesahan, Pengangkatan, dan Pemberhentian Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah.

Khusus tentang pemberhentian sementara/tetap kepala/wakil kepala daerah karena tersangkut kasus hukum diatur di dalam Pasal 126 PP tersebut.

Dalam konteks ini, kita hanya bicara tentang prosedur pemberhentian sementara kepala/wakil kepala daerah karena tersangkut kasus hukum korupsi, yaitu Ratu Atut. Untuk sampai ke taraf keputusan turunnya pemberhentian sementara Ratu Atut dari jabatannya sebagai Gubernur Banten itu akan memerlukan prosedur yang cukup berbelit dan lama.

Prosedur yang pertama yang harus dipenuhi adalah harus menunggu sampai berkas kasusnya dilimpahkan KPK ke Pengadilan Tipikor. Ini saja bisa memakan waktu sampai 60 hari (masa tahanan maksimal) ketika Ratu Atut sudah berada di dalam tahanan, akan lebih lama lagi kalau KPK tidak segera menahan Ratu Atut.

Kalau KPK sudah melimpahkan berkas kasus ini ke Pengadilan Tipikor, maka harus ada bukti register perkaranya. Berdasarkan bukti register perkara itu, Mendagri akan mengirim usulan tertulis kepada Presiden untuk melakukan pemberhentian sementara terhadap Ratu Atut. Dalam durasi itu Ratu Atut akan tetap berstatus sebagai Gubernur Banten yang sah dengan segala konsekuensi kewenangannya seperti yang dijelaskan oleh Gamawan Fauzi itu.

Pertanyaannya adalah apakah memang harus selalu demikian? Apakah harus selalu Mendagri menunggu sampai seorang kepala/wakil kepala daerah dijadikan terdakwa barulah dia boleh melakukan pemrosesan pemberhentian sementaranya? Jawabannya pasti, ya, kalau kita terlalu kaku, atau terlalu letterlijk dalam menjalankan UU. Seperti yang diterapkan Gamawan sekarang.

Gamawan Fauzi harus bisa membaca dan memahami kondisi negara sekarang ini,  yang semakin lama semakin parah dengan kasus korupsinya. Bukan tak mungkin jika dibiarkan, ditoleransi, atau diperlakukan secara lunak, bangsa ini akan hancur dikarenakan korupsinya yang semakin berurat dan berakar. Kekuatan korupsi itu bisa saja menjadi semakin kuat, dan justru berbalik menaklukkan institusi penegak hukum yang ada dan dipercaya masyarakat saat ini, KPK. Gamawan Fauzi tidak bisa, atau tidak mau memahami aspirasi rakyat tentang pemberantasan korupsi.

Mantan Ketua Umum Pimpinan Pusat (PP) Muhammadiyah Ahmad Syafii Maarif menyatakan praktek korupsi di negara ini sudah bagaikan kanker yang parah. Dia khawatir, jika tidak segera diatasi, penyakit ini akan terus mengerogoti bangsa sehingga menyebabkan kerusakan parah, bahkan kematian.

“Praktik korupsi sudah seperti kanker parah karena melibatkan pejabat tinggi sampai birokrasi di bawah. Jika dibiarkan, bisa membunuh bangsa karena keadilan tidak bisa ditegakkan,” ujar Syafii, Senin (16/12) (Harian Kompas, Selasa, 17/12/13).

Syafii memberi pernyataanny ini berkaitan dengan operasi tangkap tangan KPK terhadap Subri, Kepala Kejaksaan Negeri Praya, Lombok Tengah, NTB, pada Senin (16/12/13). Ketika itu belum terjadi KPK menetapkan Ratu Atut sebagai tersangka dua kasus korupsi sekaligus.

Ratu Atut menjadi gubernur Banten pada Oktober 2005, mengganti Gubernur sebelumnya, Djoko Munandar yang dinonaktifkan Presiden SBY karena didakwa terlibat kasus korupsi.  Kemudian pada 2007 melalui Pilkada Provinsi Banten, dia terpilih menjadi Gubernur bersama wakilnya M Masduki.

Sejak saat itulah Ratu Atut membangun dinastinya. Total, termasuk dirinya, ada 11 anggota keluarganya yang memegang jabatan politik di berbagai lembaga kenegaraan di bawah provinsi Banten, di DPD, DPR, DPRD, wakil bupati, wali kota, DPRD. Mulai dari suaminya, ibu tirinya, adik kandungnya, adik iparnya, saudara tirinya, menantu, sampai pada anak-anaknya.

Dan, sekarang dari sebelas orang anggota dinasti Ratu Atut itu, sudah tujuh (termasuk Ratu Atut) yang dijadikan tersangka/ditahan KPK. Besar kemungkinan anggota dinastinya yang kedelapan (adik iparnya), Walikota Tangerang Selatan Airin Rachmi Diany, tak lama lagi akan menyusul dijerat KPK.

Media pun mencatat betapa luar biasa kayanya Ratu Atut dengan berbagai koleksi barang-barang super mewahnya, mulai dari busana, sepatu, jam tangan, tas, dan lain-lain yang bernilai puluhan juta sampai ratusan juta rupiah per buahnya sampai dengan koleksi mobil-mobil super mewah dari berbagai jenis, seperti Ferrari, Bentley, dan Lamborhini yang bernilai beberapa miliar rupiah per unitnya. Tentu saja dengan rumah-rumah mewah mereka, yang secarakontradiksi- ironis dibandingkan kehidupan masyarakat Banten yang bertambah miskindengan minimnya pembangunan.

Ketua KPK Abraham Samad, dalam acara talk show Kompasianival, 22 November lalu, pernah menyindir dinasti Ratu Atut ini dengan mengatakan ada  koruptor yang sudah serakah (sudah bergaji besar, masih korupsi juga) masih ditambah lagi dengan sifatnya yang kejam. Yakni, mereka yang hidup bermewah-mewah dengan hasil korupsinya, sementara itu rakyatnya yang harus disejahterakan justru dibiarkan hidup merana dalam kemiskinan (selengkapnya tentang hal ini baca artikel saya di Kompasiana, dengan judul Ratu Atut, Tersangka Koruptor yang Serakah dan Kejam.

[caption id="attachment_284571" align="aligncenter" width="460" caption="Dinasti Keluarga Ratu Atut (sumber: kabarnet.worldpress.com)"]

13873362001818918457
13873362001818918457
[/caption]

Terobosan Hukum

Jadi, jika Gamawan benar-benar perduli dan mendukung upaya pemberantasan korupsi secara besar-besaran di negeri ini, maka seharusnya dia tidak terlalu begitu kaku dalam menerapkan UU tersebut. Dengan memperhatikan kondisi negara saat ini yang semakin digerogoti oleh kanker korupsi yang semakin parah, dia bisa melakukan terobosan hukum, dengan mengajukan usulan kepada Presiden agar segera melakukan pemberhentian untuk sementara Ratu Atut dari jabatannya sebagai Gubernur Banten. Tidak perlu menunggu sampai dia berstatus terdakwa.

Kalau itu dilakukan oleh Gamawan, masyarakat pasti mendukungnya. Juga sejatinya tidak terjadi pelanggaran hukum, karena toh UU tidak melarang kalau seorang kepala daerah yang terkena kasus hukum dilakukan pemberhentian sementara terhadapnya, meskipun statusnya masih sebagai tersangka. Apalagi dalam sejarahnya, setiap tersangka KPK pasti terbukti bersalah dan divonis penjara.

Di dalam ilmu hukum juga dikenal macam-macam penafsiran hukum (interpretasi). Salah satunya adalah penafsiran teleologis (sosiologis), yaitu, penafsiran yang dilakukan dengan memperhatikan maksud dan tujuan dari suatu undang-undang itu dibuat. Penafsiran ini dilakukan karena mengingat terjadinya perubahan kondisi dan kebutuhan sosial, ekonomi, dan hukum di masyarakat. Dalam penerapannya pada kasus ini, yang dimaksud dengan perubahan kondisi dan kebutuhan masyarakat saat ini adalah kebutuhan masyarakat terhadap pemberantasan korupsi secara radikal.

Ketentuan Hukum yang Tidak Masuk Akal

Selain itu, ketentuan di dalam pasal 31 ayat (1) dan (2) UU Nomor 32 Tahun 2004 itu juga harus segera diubah karena tidak sesuai dengan perkembangan masa kini, bertentangan dengan rasa keadilan masyarakat, juga karena tidak masuk akal.

Bayangkan saja seumpamanya nanti ada kepala/wakil kepala daerah yang terlibat dalam kasus terorisme, makar, dan/atau tindak pidana terhadap keamanan negara, berdasarkan ketentuan pasal tersebut, dan berdasarkan argumen Gamawan Fauzi tersebut di atas, selama dia belum didakwa, maka dia tetap menjabat jabatannya tersebut dengan segala kewenangannya! Bayangkan saja, tersangka teroris, tersangka pelaku makar, dan/atau pelaku tindak pidana terhadap keamanan negara tetap menjabat sebagai kepala/wakil kepala daerah, sampai menunggu berkas perkaranya masuk ke pengadilan! Itu kalau kita mau mengikuti logikanya Gamawan Fauzi yang terlalu kaku dalam menerapkan UU.

UU Kejaksaan Lebih Maju

Dalam hal prosedur pemecatan (sementara) pejabat negara yang tersangkut masalah hukum,  UU Nomor 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan dapat dikatakan lebih maju. Tanpa perlu prosedur yang berbelit dan panjang seperti yang diatur di UU tentang Pemerintahan Daerah untuk kepala/wakil kepala daerah, UU Kejaksaan mengatur, bagi jaksa yang tersangkut masalah hukum, begitu dia ditetapksan sebagai tersangka dan ditahan secara otomatis yang bersangkutan diberhentikan sementara oleh Jaksa Agung.

Hal tersebut diatur di dalam Pasal 15 ayat 1 UU tersebut. Bunyinya: Apabila terdapat perintah penangkapan yang diikuti dengan penahanan terhadap seorang jaksa, dengan sendirinya jaksa yang bersangkutan diberhentikan sementara dari jabatannya oleh Jaksa Agung.

Hal ini telah diterapkan kepada Kepala Kejaksaan Negeri Praya, Lombok Tengah, Subri. Karena dia telah ditetapkan sebagai tersangka dan ditahan oleh KPK, maka sejak 15 Desember 2013, yang bersangkutan telah diberhentikan untuk sementara dari jabatannya oleh Jaksa Agung, sebagaimana diumumkan oleh Kepala Pusat Penerangan Hukum Kejaksaan Agung Setia Untung Arimuladi, Selasa (17/12/2013) (jpnn.com)

[caption id="attachment_284589" align="aligncenter" width="476" caption="Ekspresi kegembiraan warga Banten setelah Ratu Atut ditetapkan sebagai tersangka oleh KPK (sumber: tribunnews.com)"]

1387340207682641813
1387340207682641813
[/caption]

Gamawan Tidak Serius Pro Pemberantasan Korupsi

Gamawan Fauzi juga jangan berkelit dengan alasan dia belum bisa memroses status nonaktif Ratu Atut karena di dalam UU diatur bahwa kepala daerah yang tersangkut kasus hukum baru bisa dinonaktifkan jika berkas perkaranya masuk ke pengadilan (menjadi terdakwa), sebab sejarah mencatat dalam beberapa kasus sebelumnya, menunjukkan bahwa Gamawan memang tidak serius mendukung pemberantasan korupsi, khususnya yang menyangkut keterlibatan kepala daerah.

Sebagai contohnya adalah kasus Bupati Kabupaten Kepulauan Aru, Provinsi Maluku,  Theddy Tengko yang sempat menimbulkan kehebohan hukum selama lebih dari satu tahun. Karena meskipun sudah divonis penjara karena terbukti korupsi, dan vonis itu telah mempunyai kekuatan hukum yang tetap (inkracht van gewijsde), keputusan itu tidak bisa dilaksanakan kejaksaan karena yang bersangkutan melakukan perlawanan. Di masa itulah Mandagri Gamawan Fauzi justru mengaktifkannya kembali sebagai Bupati Kepulauan Aru.

Theddy dinonaktifkan sebagai Bupati Kepulauan Aru pada 2 maret 2011 karena didakwa terlibat korupsi APBD Kepulauan Aru 2006-2007 sebesar Rp. 42,5 miliar, dia divonis oleh pengadilan negeri setempat selama 4 tahun penjara, denda Rp. 500 juta, dan mengganti kerugian negara sebesar Rp. 5,3 miliar. Theddy tak menerima vonis itu, dia melakukan upaya hukum sampai ke tingkat kasasi.

Pada 10 April 2012 MA menguatkan putusan PN tersebut, tetapi, seperti yang dikatakan di atas, Theddy tetap membangkang, dan melawan ketika hendak dieksekusi. Dalam statusnya sebagai terpidana ini (bukan lagi terdakwa), berdasarkan usulan DPRD Kepulauan Aru, pada 31 Oktober 2012, Gamawan Fauzi justru menerbitkan SK untuk mengaktifkan kembali Theddy sebagai Bupati Kepulauan Aru. Jadi, sejak itu Kepulauan Aru mempunyai bupati seorang narapidana koruptor.

Theddy baru berhasil diringkus dan diekskusi pada  29 Mei 2013 oleh tim eksekusi Kejaksaan yang bekerjasama dengan Danrem 151 Binaya Asep Kurnaidita. (Artikelnya pernah saya tulis di Kompasiana, silakan klik di sini untuk membacanya).

Dari sini sejarah mencatat bahwa Gamawan Fauzi, yang sekarang mengatakan Ratu Atut belum bisa dinonaktifkan karena belum bertatus terdakwa, pernah malah mengaktifkan seorang narapidana koruptor untuk menjabat sebagai seorang bupati di Kepulauan Aru.

Rakyat Banten jangan mau punya Gubernur yang tersangka koruptor, apalagi sampai kantornya “dipindahkan” ke sel tahanan KPK. ***

Artikel sebelumnya yang terkait:

Ratu Atut, Tersangka Koruptor yang Serakah dan Kejam

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Catatan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun