Mohon tunggu...
Daniel H.T.
Daniel H.T. Mohon Tunggu... Wiraswasta - Wiraswasta

Bukan siapa-siapa, yang hanya menyalurkan aspirasinya. Twitter @danielht2009

Selanjutnya

Tutup

Catatan Pilihan

Corby, Terpidana Narkoba Paling Istimewa di Seluruh Dunia

12 Februari 2014   23:53 Diperbarui: 24 Juni 2015   01:53 1195
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

[caption id="attachment_295209" align="aligncenter" width="624" caption="Terpidana kasus narkoba Schapelle Leigh Corby yang sekitar pukul 8.40 WITA, Senin (10/2/2014) keluar dari Lembaga Pemasyarakatan Kerobokan, Denpasar, Bali, tampak menutupi wajahnya dengan mengenakan topi berwarna krem. // KOMPAS.com/ Eviera Paramita Sandi "][/caption]

Kejahatan penyalahgunaan narkotika dan obat-obat terlarang (narkoba)  adalah kejahatan luar biasa. Kejahatan ini bersama dengan kejahatan terorisme dan korupsi dipredikatkan sebagai kejahatan luar biasa oleh dunia internasional, termasuk Indonesia. Oleh karena itu setiap pelakunya juga harus dihukum dengan cara yang luar biasa. Artinya, harus jauh lebih berat daripada kejahatan biasa.

Presiden SBY pun dalam pidatonya dalam rangka memperingati  Hari Antinarkoba Internasional, pada 26 Juni 2011 mengatakan, penyalahgunaan narkoba yang terus meningkat menjadi ancaman sangat serius bagi bangsa Indonesia. Pencegahan dan pemberantasan kejahatannya tidak cukup dengan cara biasa. “Kita harus lebih agresif, dan lebih ambisius lagi memberantas narkoba,” katanya ketika itu. “Zero tollerance” dalam pemberantasan korupsi, katanya lagi.

Namun, ternyata, seperti juga pidato-pidatonya tentang semangat antikorupsi, tetapi malah di era pemerintahannya korupsi tumbuh sangat subur dari pusat sampai di daerah-daerah, maka demikian juga dalam semangat pemberantasan kejahatan penyalahgunaan narkoba ini. Bukannya bertindak tegas dan keras terhadap pelaku kejahatan narkoba, malah obral pemberian grasi dan remisi buat para terpidana kejahatan luar biasa tersebut.

Sikap pemerintahan SBY yang terkesan lunak terhadap terpidana narkoba ini menjadi sangat menonjol dalam kasus Shcapelle Leigh Corby, warganegara Australia, yang pada 8 Oktober  2004 tertangkap tangan membawa mariyuana seberat 4,2 kg di Bandara Internasional Ngurah Rai, Denpasar, Bali.

Dia kemudian divonis penjara selama 20 tahun oleh PN Denpasar, ditingkat banding vonisnya menjadi 15 tahun penjara, dan di tingkat Kasasi, Mahkamah Agung memutuskan Corby dipenjara selama 20 tahun. Corby mencoba upaya hukum terakhir dengan mengajukan Peninjauan Kembali (PK), tetapi ditolak.

Gagal mendapat keringanan hukuman di jalur hukum, Corby pun mencoba menyentuh hati Presiden SBY dengan mengajukan permohonan grasi kepadanya. Padahal seharusnya dia gentar kepada SBY kalau sempat pernah mendengar pidato SBY di Hari Peringatan Antinarkoba sedunia itu. Faktanya, justru SBY mengabulkan permohonan grasinya itu,  berupa pengurangan hukuman menjadi 15 tahun penjara, pada 2012.

Selain grasi, semasa di penjara, Corby pun mendapat renteten remisi, sehingga hukumannya yang seharusnya baru berakhir pada tahun 2024, didiskon lebih dari separohnya, yakni menjadi sampai 27 Mei 2016. Setelah masa itu Corby hanya masih harus menjalani satu tahun masa percobaan, yaitu sampai dengan 27 Mei 2017. Setelah itu dia menjadi manusia bebas seutuhnya, boleh meninggalkan Indonesia.

Perlakuan istimewa terhadap Corby dari pemerintah tidak hanya berhenti sampai di situ. Seolah-olah bagi pemerintah yang dipimpin oleh Presiden SBY ini, yang dimaksud dengan pelaku kejahatan luar biasa itu diperlakukan pula dengan cara luar biasa itu berarti dia harus diistimewakan lebih daripada pelaku kejahatan biasa lainnya. Maka, terhitung mulai tanggal 10 Februari 2014, lagi, Corby mendapat hadiah istimewa lagi dari pemerintah, yaitu Pembebasan Bersyarat! Artinya, selama Pembebasan Bersyarat sampai dengan  27 Mei 2017, Corby tidak perlu lagi mendekam di dalam penjara. Dia boleh tinggal di rumah, bekerja, jalan-jalan, dan lain-lain, sebagaimana layaknya orang bebas lainnya. Bedanya hanya dia tidak boleh meninggalkan Bali (boleh ke kota-kota lain di Bali), dan wajib sebulan sekali melaporkan diri ke Lembaga Pemasyarakatan Klas IIA, Denpasar, Kerobokan, Kabupaten Badung, tempat dia dipenjara selama ini.

Maka, dari semula dihukum penjara 20 tahun lamanya, setelah mendapat hadiah grasi dan remisi, plus Pembebasan Bersyarat, Corby hanya menjalani penjara selama 9 tahun 4 bulan dan 4 hari.

Di surat Pembebasan Bersyaratnya itu dicantumkan bahwa Corby wajib tinggal di rumah saudara iparnya, yang juga sebagai penjaminnya, Wayan Widharta, di Banjar Pande, Kuta. Namun, belum apa-apa kewajiban itu sudah dilanggar, tanpa mendapat sanksi apapun.

Sejak hari pertama Pembebasan Bersyaratnya sampai hari ini, Corby belum tinggal di rumah Wayan itu, dia malah langsung menuju dan tinggal di Vila Sentosa, di Seminyak, di Jalan Pura Telaga Waja, yang harga sewanya Rp 9 juta per malam. Ketika hal ini dipertanyakan wartawan, pihak LP Denpasar menjelaskan, Corby tinggal di sana karena masih mengalami depresi pasca pembebasan bersyaratnya itu, dan untuk menghindari wartawan.

[caption id="attachment_295211" align="aligncenter" width="648" caption="Salah satu bagian dalam Villa Sentosa, di Seminyak, Bali. Villa mewah bertarif Rp. 9 juta per malam ini menjadi tempat tinggal Corby sejak 10 Februari 2014 (sumber: www.sewavilladibali.com)"]

13922238111622827895
13922238111622827895
[/caption]

Maka kita pun melihat lagi hukum khas Indonesia, tegas di atas kertas, tetapi bisa ditekuk-tekuk semaunya di dalam prakteknya. Bagaimana bisa, yang berwenang sendiri membuat persyaratan itu (wajib tinggal di rumah Wayan Widharta), tetapi ketika ketentuan itu dilanggar, bukan sanksi yang didapatkan Corby, malah dibela oleh pihak LP sendiri dengan alasan tersebut.

Kalau belum apa-apa sudah begini, siapa yang menjamin di kemudian hari, dalam masa pembebasan bersyaratnya, satu per satu syarat yang harus dipatuhi oleh Corby akan dilanggar juga, dan dibiarkan begitu saja oleh pengawasnya? Misalnya, pergi meninggalkan Bali, dan hanya balik ke Bali, ketika waktu melapornya tiba? Jangan-jangan malah wajib lapornya itu bisa diwakili, meskipun di atas kertas tertulis, tidak boleh diwakili. Demikian juga dengan kewajibanya untuk mengkuti bimbingan masyarakat yang tercantum di surat Pembebasan Bersyaratnya itu, siapa yang menjamin itu akan terus ditaati sampai 27 Mei 2017?

Selain menikmati kenyamanan Villa Sentosa yang mewah itu, -- konon di villa itu dia bersama keluarganya melakukan pesta perayaan atas pembebasan bersyaratanya itu, Corby pun mendapat rezeki besar yang bakal membuatnya menjadi kaya-raya.

Menurut berita dari news.com.au, televisi Australia, Channel Seven, dikabarkan telah meneken kontrak dengan Corby untuk sebuah wawancara eksklusif. Untuk wawancara ekslusif itu Corby akan dibayar sebesar 5 juta dollar Australia, atau setara dengan Rp. 54,1 miliar!

Jangan-jangan ini juga merupakan bagian dari trik Corby, sengaja menjauh dari para wartawan, “mengucilkan diri” di Villa Sentosa, sehingga membuat dirinya begitu sangat berharga di mata pers. Siapa yang mau mewawancarainya harus bayar dengan harga selangit.

Bukan hanya itu, dia pun akan mendapat honor dari pembuatan film kisah hidupnya dari sebuah perusahaan film di Australia, yang membuat film kisah hidupnya. Di dalam film itu, katanya, ceritanya dibuat menguntungkan Corby (tentu saja, kalau tidak demikian mana mau Corby bersedia kisahnya itu difilmkan?), dan mendiskreditkan Indonesia. Di antaranya ada adegan aparat Bali yang memaksa Corby mengaku, mariyuana seberat 4,2 kg itu miliknya, padahal sebenarnya tidak demikian.

Maka, sunguh tepat apa yang ditulis di “Tajuk Rencana” Harian Kompas, Rabu, 12 Februari 2014: “Belum ada terpidana narkoba sebahagia dan seistimewa Schapelle Leigh Corby. Hari pembebasannya mengglobal. Kisahnya akan difilmkan.”

Sepengetahuan saya, belum adanya terpidana narkoba seistimewa Corby itu, bukan hanya di Indonesia, tetapi bahkan di seluruh dunia.

Pihak Kementerian Hukum dan HAM membela diri, lewat Menteri Amir Syamsuddin. Katanya, semua prosedur yang diberlakukan pada Corby itu sudah sesuai dengan peraturan hukum yang berlaku, tetapi sang Menteri tidak menjelaskan apakah itu sudah sesuai dengan rasa keadilan masyarakat, dan  apakah sudah sesuai dengan semangat perang melawan narkoba tanpa ampun yang pernah diserukan sendiri oleh Presiden SBY.

Wakil Menteri Hukum dan HAM Denny Indrayana membantah Pemerintah (Presiden SBY) lunak terhadap terpidana narkoba, dengan mengobral grasi dan remisi. Kata dia, buktinya, dari sekian permohonan grasi  para terpidana narkoba, hanya ada 15 persen yang dikabulkan Presiden SBY, sisanya 85 persen ditolak.

Jadi, rupanya menurut Denny, 15 persen grasi untuk terpidana narkoba itu angka yang sangat kecil. Padahal, angka itu sudah luar biasa besarnya mengingat para terpidana itu adalah pelaku-pelaku suatu kejahatan yang tergolong luar biasa. Yang sudah pasti adalah slogan “zero tollerance” bagi penjahat narkoba yang pernah dilontarkan oleh SBY sendiri, ternyata hanya “tipu-tipu” saja.

Kelak, mungkin akan ada banyak orang  asing yang tertarik melakukan kejahatan narkoba di Indonesia, siapa tahu dia akan mendapat perlakuan yang begitu istimewa dari pemerintah Indonesia, dan mendapat rezeki besar seperti halnya Shcapelle Leigh Corby, diwawancarai dengan bayaran puluhan miliar rupiah, dan kisahnya difilmkan dengan bayaran mahal pula.  Mumpung presidennya masih SBY! ***

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Catatan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun