Mohon tunggu...
Daniel H.T.
Daniel H.T. Mohon Tunggu... Wiraswasta - Wiraswasta

Bukan siapa-siapa, yang hanya menyalurkan aspirasinya. Twitter @danielht2009

Selanjutnya

Tutup

Catatan

Perilaku Hakim Agung yang Tidak Agung

6 Desember 2012   18:05 Diperbarui: 24 Juni 2015   20:05 732
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

[caption id="attachment_213213" align="aligncenter" width="500" caption="Gedung Mahkamah Agung (sumber:storyza.wordpress.com)"][/caption] Kelas Ekonomi di pesawat, dianggap untuk warga kelas kambing. Bukan untuk mereka yang agung!

----

Akhir-akhir ini hakim-hakim agung di Mahkamah Agung (MA) kian menjadi sorotan negatif publik. Namanya saja “hakim agung” yang mengadili perkara di Mahkamah Agung, tetapi perilaku hakim-hakim agung itu sungguh jauh dari budi pekerti yang agung.

Padahal mereka itu semuanya sebelum menjadi hakim agung harus melalui berbagai seleksi yang ketat di Komisi Yudisial, dan filter terakhirnya adalah melalui uji kepatutan dan kelayakan (fit and proper test) oleh DPR. Apakah ini karena filternya sendiri tidak patut dan tidak layak untuk menjalankan tugas dan wewenangnya tersebut? Ibarat mengfilter sesuatu dengan filter yang kotor? Mana mungkin bisa mendapat sesuatu yang bersih?

Beberapa kasus yang mencoreng keagungan dari Mahkahah Agung tersebut antara lain, kasus-kasus permohonan Peninjauan Kembali (PK) oleh beberapa terpidana narkoba yang dikabulkan oleh MA, hakim agung Ahmad Yamanie yang diduga memalsukan putusan vonisterhadap PK terpidana gembong narkoba Henky Gunawan, disertai dengan tidak transparannya MA atas kasus-kasus itu sendiri.

Contoh, sebenarnya Ahmad Yamanie itu diminta mengundurkan diri karena kasus pemalsuan keputusan PK tersebut, tetapi secara resmi MA mengumumkan bahwa Ahmad mengundurkan diri dengan alasan sakit. Setelah media melakukan investigasi, bahwa ternyata kesehatan hakim agung yang tak agung itu tidak bermasalah, barulah MA berterus terang bahwa memang benar Ahmad Yamanie diminta mundur karena kasus pemalsuan PK itu.

Sekali anda berbohong, siapa yang yakin  selanjutnya anda tidak berbohong?

Kini, muncul lagi berita mengejutkan. Bahwa di balik dikabulkan permohonan PK politisi PKS Mukhamad Misbakhun dalam kasus L/C palsu di Bank Century, pada 5 Juli 2012 lalu, ternyata diduga ada terjadi penyuapan terhadap dua hakim agung yang memeriksa perkara PK tersebut oleh pihak Misbakhun. Oleh karena itulah permohonan PK dikabulkan, dan Misbakhun dibebaskan.

Dua hakim agung itu adalah Zaharuddin Utama yang diduga telah menerima uang suap Rp. 2,5 miliar dan hakim agung Mansur Kartayasa sebesar Rp. 1,5 miliar plus US$ 25.000. Sedangkan satu hakim agung lagi yang telah melakukan dissenting opinion pada kasus PK Misbakhun tersebut, Artidjo Alkostar karena dikenal memang tidak bisa dibeli, tidak didekati oleh penyuap   (Majalah Tempo, 9 Desember 2012).

Apakah kedua hakim agung itu benar telah disuap dan menerima suap tersebut, tentu masih harus menunggu hasil pemeriksaan yang akan ditangani oleh pihak yang berwenang (KY, polisi, atau KPK). Namun dari hasil investigasi Tempo, ditemukan indikasi-indikasi kuat bahwa informasi yang disampaikan oleh   Sofyan Arsyad itu adalah benar.

Bagaimana kondisi di internal MA sendiri?

Ternyata, di Gedung Mahkamah Agung itu sekarang ada Sekretaris MA, namanya Nurhadi, yang terkenal paling kaya dan “berjiwa sosial tinggi.” Terutama di antara para hakim agung.

Bayangkan saja, untuk ruang kerja, ruang tunggu tamu, ruang rapat, dan ruang 20 anggota staf sang Sekretaris MA itu semua telah direnovasi menjadi ruang-ruang yang nyaman, dengan seluruhnya biayanya ditanggung sepenuhnya oleh Nurhadi pribadi. “Habisnya Rp. 300 jutaanlah,” ujar Nurhadi kepada Tempo (Majalah Tempo, 18/11/2012).

Selain itu, Nurhadi juga mengaku bahwa dia juga telah membiayai renovasi ruang-ruang kantor para koleganya. Di antaranya ruang kantor Kepala Biro Hukum dan Humas. Lalu, menghibahkan semua perabot kantor yang dibeli dengan uang pribadinya kepada penggantinya.

Mobil dinasnya, Camry buatan 7 tahun yang lalu, dioper ke hakim agung lain, sedangkan dia membeli sendiri Camry keluaran terbaru. Demikian juga rumah dinasnya, tidak ditempati. Dia membeli rumahnya sendiri di Jalan Hang Lekir, Kebayoran Lama, Jakarta Selatan.

Dia juga berjiwa “dermawan” ketika membiayai pesta perpisahan mantan Ketua MA Harifin Tumpa, 29 Februari 2012 lalu. Menurut sumber Tempo, itu adalah pesta termewah sepanjang sejarah Mahkamah Agung.

Para hakim agung pun dibuat, seperti yang dikatakan sendiri oleh Nurhadi, “luar biasa senangnya” dengan berbagai servis yang mereka nikmati atas biaya dari Nurhadi seluruhnya: “Saya menempatkan diri sebagai pelayan. Saya melayani hakim agung sebaik-baiknya. Dulu hakim agung tidak mendapat fasilitas makan siang, sekarang mereka dapat. Dulu mereka tidak mendapat sopir dari kantor, sekarang pakai sopir honorer. Mereka luar biasa senangnya,” kata Nurhadi ketika diwawancarai Tempo.

Selain itu, Nurhadi juga mengaku bahwa dia membantu banyak hakim agung di luar urusan dinas mereka (dalam hal kesulitan keuangan). “Kalau masih dalam batas kewajaran dan saya bisa melakukannya, mengapa tidak?” Dalih Nurhadi.

Dari mana semua harta kekayaan Nurhadi yang dipakai “mengservis” Mahkamah Agung dengan para hakim agungnya itu? Tentu saja, bukan dari hasil gajinya di MA, yang Rp 18 juta per bulan itu. Menurut pengakuan Nurhadi sejak dulu dia itu sudah kaya. Kekayaannya itu didapat dari bisnis sarang burung walet. Dia, seperti yang diakuinya, mempunyai rumah sarang burung walet di beberapa kota. Yakni, Mojokerto, Tulungagung, Kediri, dan Karawang.

Hasil investigasi Tempo antara lain menghasilkan bahwa di Tulungagung, memang ada dua rumah sarang burung walet. Tetapi, salah satunya sudah lama tidak beroperasi. Lubang-lubang tempat masuk-keluar burung walet sudah lama ditutup dengan semen. Menurut warga setempat rumah itu milik orang Surabaya.

Sedangkan rumah walet satunya lagi, masih kelihatan burung-burung walet yang berseliweran di rumah itu, tetapi tidak banyak. Tetangganya menyebutkan rumah walet itu milik Haji Kongsul, bukan Nurhadi.

Sedangkan, mengenai bisnis sarang burung walet yang memang tidak menentu itu, saat ini, Nurhadi sendiri mengaku harganya lagi jatuh. Sekarang harganya sekitar Rp 3 juta per kilo. Di masa keemasannya dulu, di tahun 1997 sampai 1999 harganya mencapai Rp. 30 juta per kilo. Dia mengaku, waktu itu bisa jual minimal 50 kilogram setiap dua bulan.

Meskipun Nurhadi mengaku bisnis andalannya yang membuatnya kaya-raya itu sedang lesu harga, ternyata tidak membuatnya berubah. Dia tetap  menjadi “dermawan” untuk Mahkamah Agung. Khususnya untuk para koleganya.

Ada apa, atau kenapa sampai Nurhadi bisa begitu “dermawan” kepada para hakim agung itu? Apakah dengan kekayaannya itu dia memang cukup kuat untuk terus bertahan memberi berbagai sumbangannya kepada Mahkamah Agung itu?

Seharusnya, Nurhadi segera pro-aktif untuk memperjelas semua ini. Meskipun, (seandainya benar) semua kedermawaannya itu berasal dari duit pribadinya, kita tetap saja bertanya-tanya: Bolehkah semua itu dilakukan oleh seorang pejabat negara seperti ini? Menyumbang, membiayai berbagai fasilitas kantor, dan membantu keuangan dari para hakim agung yang memerlukannya, semuanya dari kantong pribadinya. Karena ini pasti menimbulkan hutang budi oleh hakim-hakim agung yang menerima “kedermawaan” Nurhadi ini. Potensi timbulnya konflik kepentingan sangat besar. Kenapa, lembaga-lembaga yang berkompeten, sepertinya diam saja? Tidak antusias melakukan investigasi, dan segera menghentikan “aksi-aksi sosial” sang Sekretaris MA itu.

Apakah dengan dasar “kedermawaannya” ini pula Nurhadi memanfaatkannya untuk membantu kerabat atau temannya yang berperkara di MA? Nurhadi dengan tegas menyangkalnya. Bahkan dia menantang, kalau ada yang menuduhnya seperti itu, silakan buktikan.

Katanya, KPK sudah dua tahun ini sedang mengusut asal-usul kekayaan Nurhadi, tetapi sampai sekarang kita belum tahu perkembangnya.

Kemungkinan besar karena selama ini sudah merasakan nikmat dan nyamannya berbagai fasilitas dan bantuan yang diterima dari Nurhadi itu, maka ketika Gayus Topane Lumbun bergabung di MA sebagai hakim agung yang baru. Para hakim agung di sana mulai merasa terganggu dan resah. Mungkin khawatir akibat ulah Gayus Lumbun itu berbagai fasilitas dan kenyamanan yang mereka rasakan selama ini akan terhenti. Itu karena Gayus mulai bersuara, antara lain mempersoalkan keterbukaan dan “kedermawaan” Nurhadi tersebut.

Setelah menjadi salah satu hakim agung di MA, Gayus menyuarakan kevolakannya. Dia menuntut adanya keterbukaan di MA. Misalnya, soal pengelolaan keuangan, perekrutan pegawai, serta pengadaan barang dan proyek.

Gayus juga meminta hakim agung terbuka menjelaskan putusan kepada masyarakat. Hakim agung tidak cukup mencantumkan pertimbangan dalam putusan kasasi dan PK. Pencari keadilan, kata Gayus, perlu tahu mengapa hukuman ditambah, dikurangi, atau dibatalkan.

Akibat dari kevolakannya itu, Gayus Lumbun pun dimusuhi oleh banyak hakim agung di sana. Bahkan Ketua Muda Terpidana MA Djoko Sarwoko pun sampai geram. Melalui media, Djoko Sarwoko berseru kepada Gayus, sebaiknya mundur saja dari MA, daripada menebarkan permusuhan di kalangan internal MA.

Tetapi, bagaimana sikap Gayus Lumbun sendiri di MA?

Ternyata, Gayus Lumbun ini juga merasa setelah menjadi hakim agung, dia harus diagungkan pula. Setidaknya, kalau naik pesawat terbang harus, tidak ada tawar-menawar, harus duduk di kursi kelas bisnis. Apapun terjadi.

Maka, ketika pada jadwal keberangkatannya ke Manado bersama para hakim agung lainnya, 28 Oktober 2012, lalu, dalam rangka Rapat Kerja Nasional Mahkamah Agung di ibukota Sulawesi Utara itu, Gayus sempat ngamuk gara-garanya hanya karena dia bersama beberapa koleganya mendapat jatah kursi duduk di kelas ekonomi. Sedangkan, kolega lainnya mendapat jatah di kelas bisnis.

Gayus langsung mempersoalkanya, karena menurutnya adalah tidak pantas, -- sesuai dengan peraturan protokoler perjalanan dalam negeri, --  hakim agung harus duduk di kelas bisnis. Faktanya, Gayus melihat sebagian besar hakim agung, termasuk dirinya sendiri, mendapat jatah di kelas ekonomi. Gayus tidak terima. Dia menuntut agar dipindahkan ke kelas bisnis, karena menurutnya kelas ekonomi itu untuk warga kelas kambing!

“Kami (yang ditempatkan di kelas ekonomi) dianggap warga kelas kambing! ujar Gayus. Dari ketidakpuasannya ditempatkan di kelas ekonomi itulah, lalu dia melebar ke persoalan lain di MA, seperti masalah pengelolaan keuangan, rekrutman pegawai, dan sebagainya itu.

Padahal Gayus sudah dijelaskan bahwa tidak mungkin semua hakim agung yang berjumlah 54 orang itu mendapat jatah duduk di kelas bisnis semuanya. Karena pada hari keberangkatan mereka itu, hanya ada dua pesawat yang ke Manado. Di pesawat pertama, hanya ada 12 kursi kelas bisnis, sedangkan di pesawat kedua, hanya ada 16 kursi kelas bisnis.

“Siapapun tidak mungkin bisa mengatasi kesulitan teknis itu,” kata Nurhadi sebagai Ketua Panitia Pelaksana Rakernas pada waktu itu.

Dari sinilah muncul permusuhan di antara para hakim agung itu.

Jadi, meskipun sudah berpredikat sebagai hakim agung, kelakukannya ternyata,  masih seperti anak kecil. Atau, karena merasa telah berpredikat agung, maka mereka harus ke mana-mana wajib mendapat berbagai keistimewaan. Apapun terjadi, kalau naik pesawat harus di kelas bisnis.

Gayus Lumbun itu mungkin berpikir waktu itu, bilamana perlu demi memenuhi aturan protokoler yang menyatakan, kalau di pesawat,  hakim agung tempatnya di kelas bisnis, maka MA harus mencarter pesawat lagi? Kalau tidak demikian, kenapa dia terus mempersoalkan kelas ekonomi ini?

Kenapa Gayus Lumbun ini mempermasalahkan tempat duduk kelas bisnis ini dengan berpatokan kepada peraturan protokoler itu?

Apakah peraturan protokoler itu memang wajib dilaksanakan secara sedemikian kaku? Maksud dari peraturan itu pasti dalam hal keberangakatan yang bukan sekaligus rombongan seperti itu. Jadi, peraturannya hanya berlaku, kalau yang berangkat itu hanya satu-dua, atau beberapa orang hakim agung saja. Kalau jumlah anggota rombongan yang mau berangkat melebihi kapasitas kursi bisnis, sangat mustahil semua mendapat jatah kelas bisnis itu. Sebagain harus bisa mengerti dan mengalah. Ini toh situsional. Kecuali di antara mereka punya ilmu sihir seperti Harry Potter.

Yang mengherankan adalah, kenapa peraturan protokoler tentang perjalanan dinas hakim agung dibuat seperti itu? Kenapa hakim agung harus duduk di kelas bisnis? Apa salahnya kalau duduk di kelas ekonomi? Seperti Jokowi, yang meskipun sudah menjadi Gubernur DKI Jakarta, tetap saja kalau naik pesawat terbang, duduknya di kelas ekonomi. Selalu menyapa para penumpang lainnya. Juga, tidak pernah menggunakan ruangan VIP di bandara.

Jokowi tidak pernah menganggap kelas ekonomi di pesawat itu hanya untuk warga kelas kambing. Meskipun Jokowi selalu duduk di kelas ekonomi, publik pun tidak memandang rendah Jokowi. Sebaliknya, justru dia semakin dihormati dengan perilaku rendah hatinya itu, tetapi mempunyai semangat dan kinerja yang sangat tinggi. Membuat rakyat, khususnya warga Jakarta mencintainya sebagai pimpinan mereka.

Sebaliknya, dengan hakim agung, yang kalau naik pesawat maunya harus duduk di kelas bisnis itu? Publik tetap tidak akan menghargai mereka, kalau perilakunya itu tidak seagung namanya. Seperti hakim agung Ahmad Yamanie, pemalsu putusan PK itu. ***

Bacaan:

- Majalah Tempo, 18 November 2012.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Catatan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun