[caption id="attachment_175924" align="alignleft" width="370" caption="Ilustrasi (Sumber: Harianjogja.com)"][/caption] Dibandingkan tersesat di jalan raya dengan tersesat di jalan kampung bagi saya jauh lebih menakutkan dan menegangkan kalau tersesat di jalan kampung. Apalagi kalau di malam hari. Kalau pakai sepeda motor, relatif bukan masalah. Tapi kalau pakai mobil, wah, bisa lebih menegangkan daripada menonton film suspense atau thriller sehebat apapun. Mungkin yang tidak tahan bisa menangis karena ketakutan. Saya pernah mengalaminya, maka itu saya bilang begitu.
Pengalaman ini terjadi kira-kira dua tahun yang lalu. Kejadiannya di kota Gresik. Setelah selesai dengan suatu urusan di kota Gresik, saya hendak kembali ke Surabaya dengan mengemudikan Toyota Krista yang saya bawa dari Surabaya. Saya hanya seorang diri.
Waktu itu, sekitar pukul lima lima belas menit petang, saya lewat Jalan R.A. Kartini, salah satu jalan raya utama kota tersebut. Entah kenapa, waktu itu saya berpikir hendak mencoba mengambil jalan pintas agar bisa lebih cepat sampai di tujuan. Saya pun membelokkan mobil saya ke sebuah jalan yang lebih kecil. Saya pikir jalan ini pasti ujungnya akan tembus ke jalan yang lebih besar yang dekat dengan gerbang tol Gresik-Surabaya.
Setelah beberapa menit melaju kelihatannya kok ujung jalan tersebut belum kelihatan juga. Sebaliknya, semakin jauh semakin menyempit. Semakin dalam semakin masuk kampung. Tapi, saya masih tetap yakin kalau akhirnya jalan tersebut tembus pasti ke sebuah jalan raya. Namun ternyata tidak, atau setidak-tidaknya saya menduga demikian. Karena akhirnya saya tiba bagian jalan yang hanya bisa dilewati satu buah mobil. Keyakinan saya itu pun pudar, saya pikir wah, ini pasti saya sudah tersesat. Jangan-jangan ujung jalan ini buntu. Saya pun memutuskan kembali saja ke Jalan R.A. Kartini, mengikuti rute yang sudah rutin saya lakukan.
Saya pun memutar balik mobil saya. Untuk menuju kembali ke Jalan R.A. Kartini. Sementara itu hari sudah semakin gelap. Sinar matahari sudah hampir lenyap diganti dengan gelapnya malam dengan cahaya lampu-lampu jalan dan rumah-rumah kampung di kiri-kanan jalan.
Beberapa saat dalam perjalanan kembali itu kemudian pemandangan di depan mata saya itu membuat saya kaget dan mulai tegang. Ternyata, ruas jalan yang tadi saya lalui itu telah berubah menjadi pasar malam! Sudah penuh dengan tenda-tenda/kios-kios kaki lima yang menyita lebih dari separoh badan jalan yang asalnya sudah cukup sempit itu. Ditambah dengan banyak sekali orang yang menggelar jualannya di jalanan! Nyaris tidak ada lagi ruang untuk mobil lewat. Hanya cukup untuk sepeda-sepeda motor. “Waduh, bagaimana ini?!” Saya berpikir dalam hati dengan perasan tegang sekali. Bagaimana jika saya tidak bisa lewat lagi? Apakah saya harus menunggu sampai pasar malam itu bubar? Berarti sampai besok pagi, atau dini hari? “Mati aku!”
Meskipun demikian saya tetap memberanikan diri menjalankan mobil saya dengan sangat perlahan menerobos pasar malam itu. Syukur masih bisa, meskipun harus dengan sangat hati-hati. Takut juga kalau sampai melindas barang-barang jualan, atau menyenggol tiang tenda sampai tendahnya rubuh, atau kios-kios yang terdapat di kiri-kanan jalan itu. Meskipun demikian orang-orang di situ tidak kelihatan marah. Sesuatu yang juga membuat saya khawatir dan tegang. Sebaliknya, malah beberapa orang di situ membantu saya memberi arahan untuk terus jalan supaya tidak merusak barang dagangan atau tenda-tenda/kios-kios itu.
Tetapi, semakin jauh semakin sulit. Tenda-tenda, kios-kios dan jualan yang ditebar di jalan semakin padat. Mobil tidak bisa lewat lagi! Tubuh saya terasa lemas saking tegangnya. Ini lebih parah lagi daripada tadi. Kalau sekarang saya tidak bisa jalan lagi, berarti saya benar-benar terjebak di tengah-tengah pasar malam itu. Terkepung kios-kios dan barang-barang dagangan yang ditebar di jalanan itu. Tidak bisa maju, tidak bisa mundur. Membayangkan hal itu saja sudah membuat saya mulai berkeringat dingin. Apalagi kalau sampai para pedagang dan orang-orang lain di pasar malam itu marah karena merasa terganggu, melihat mobil kok ada di tengah-tengah pasar malam seperti itu. Bagaimana jika sampai saya menjadi korban tindakan anarkis?
[caption id="attachment_175926" align="aligncenter" width="550" caption="Kira-kira kondisi di pasar malam seperti inilah yang harus saya lewati dengan penuh keteganngan dengan mobil Kijang Krista saya di sebuah kawasan perkampungan di Gresik, Jawa Timur (Sumber ilustrasi diambil dari portalcirebon.blogspot.com)"]
Tetapi, di momen inilah saya menyaksikan sendiri kebaikan hati orang-orang di kampung itu. Tidak ada yang marah kepada saya. Mungkin mereka berpikir saya tersesat. Tetap ada saja yang membantu memberi arahan jalan kepada saya. Kalau mobil saya tidak bisa lewat karena terhalang barang jualan di jalanan, maka dengan spontan dan ikhlas pemilik atau penjualnya menyingkirkan sementara barang-barangnya itu supaya mobil saya bisa lewat. Begitu pula kalau mobil tidak bisa lewat lagi karena terhalang tiang-tiang tenda. Mereka meramai-ramai menarik tiang itu sampai melengkung supaya mobil saya bisa lewat. Bahkan, ada yang melepaskan beberapa tiang tendanya. Setelah mobil saya lewat, baru dipasang kembali.
Saya sejak tadi sudah membuka jendela mobil, sambil terus minta maaf, dan terima kasih. Tetapi orang-orang itu tetap berwajah ramah. Mereka hanya bilang, “Iya, iya, ayo, Pak, cepat lewat... cepat lewat. Nanti tambah ramai pasarnya ... !!” Kata-kata terakhir itu membuat saya semakin berkeringat dingin.
Beberapa orang yang memandu saya pun memberi petunjuk arah jalan lain, tepatnya ke sebuah gangsempit, kepada saya. Karena bagian jalanan tersisa lainnya yang tadi saya lewat itu sudah benar-benar tertutup dengan tenda-tenda/kios-kios. Tidak ada celah untuk dilewati sepeda motor sekali pun.
Ketika saya mau memberi uang persenan kepada orang-orang itu, saya kaget. Meraka menolaknya. Katanya, “Nggak usah, Pak. Terima kasih, Pak. Bapak lewat gang ini saja, nanti tembus di Jalan Veteran!” Jalan Veteran adalah jalan raya lain seperti Jalan R.A Kartini di Gresik. Saya pun mengikuti petunjuk orang-orang itu. Dan, ternyata benar. Akhirnya saya berhasil lolos dari “jebakan” pasar malam itu. Tembus ke Jalan Veteran. Saya pun merasa sangat lega luar biasa. Dan, sejak itu saya benar-benar kapok untuk mencoba-coba jalan melewati jalan kampung yang belum pernah saya lewati atau sama sekali tidak tahu tembusnya ke mana. Saya trauma sekali. Tidak mau mengalami untuk kedua kalinya lagi pengalaman yang "mengerikan" itu.
Saya pun merenung, dan kagum kepada orang-orangdi kampung itu. Yang sedemikian tulus membantu saya, tanpa pamrih, untuk lolos dari “jebakan” pasar malam yang “menakutkan” itu. ***
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H