Mohon tunggu...
Daniel H.T.
Daniel H.T. Mohon Tunggu... Wiraswasta - Wiraswasta

Bukan siapa-siapa, yang hanya menyalurkan aspirasinya. Twitter @danielht2009

Selanjutnya

Tutup

Politik

Kegaduhan Perombakan Kabinet, Cermin Perilaku Para Politikus

15 Oktober 2011   18:35 Diperbarui: 26 Juni 2015   00:55 378
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Staf Khusus Kepresiden SBY, Daniel Sparingga, pada 10 Oktober lalu mengatakan bahwa proses reshuffle (perombakan) kabinet jangan dibuat gaduh, dan bukan seperti infotainment, ataupun politaiment.

"Yang saya mengerti Presiden sejak awal berkeinginan kuat untuk menjaga proses ini dari kegaduhan yang tidak perlu. Presiden tidak ingin menjadikan ini sebagai tontonan apalagi hiburan," ujar Daniel seperti yang dikutip banyak media massa.

"Ini bukan infotainment. Ini juga bukan politainment, bukan hiburan politik. Ini peristiwa kabinet. Semua proses adalah peristiwa internal kantor kepresidenan," tegas Staf Khusus Presiden SBY ini.

Kita pun menjadi bertanya-tanya, kepada siapa sebenarnya lebih tepat pernyataan ini ditujukan? Apakah kepada wartawan, dan/atau kepada rakyat?

Yang jelas justru dilihat dari begitu lambannya proses perombakan kabinet, yang kemudian menimbulkan kegaduhan politik sampai menjadi seperti sekarang bukan lain berasal justru dari Presiden SBY sendiri. Masakan untuk mengambil keputusan perombakan yang merupakan hak prerogatif dia sebagai presiden sepenuhnya sampai sedemikian lamanya?

Informasi bahwa SBY segera melakukan perombakan kabinet itu telah muncul dan bersumber dari pihak Istana sendiri sejak awal September 2011 lalu. Presiden SBY sendiri dalam menjawab pertanyaan wartawan tentang rencana perombakan kabinet itu sempat memberi jawaban seolah-olah rencana menggunakan hak prerogatifnya itu seperti sebuah pertunjukan drama saja alias infotainment, atau politainment.

Pada tanggal 20 September 2011, ketika sedang menunggu kedatangan rombongan Dewan Pengurus Yayasan Batik Indonesia di kantor Presiden, Jalan Medan Merdeka Utara, Jakarta, sewaktu disinggung tentang rencana perombakan kabinet, SBY dengan tersenyum mengatakan, “Tunggu saja tanggal mainnya!”

Ternyata tanggal mainnya itu sampai sekarang pun kita belum tahu kapan.

Rencana tersebut semakin dipastikan ketika SBY mulai memanggil beberapa menteri, beberapa tokoh masyarakat, dan para pimpinan partai politik ke kediamannya di Cikeas sejak tiga hari lalu. Namun sampai tiga hari berlalu, belum ada satu pun informasi tentang nama-nama menteri yang diganti, digeser, atau tokoh baru yang dipilih sebagai menterinya.

Sampai dengan tanggal 14 Oktober 2011, yang baru didapat adalah tentang penambahan tiga wakil menteri baru, dan penggantian satu wakil menteri. Dikabarkan nanti akan ada sedikitnya 10 departemen yang diangkat wakil menterinya. Bukan hanya satu, tetapi sampai dua wakil menteri.

Apakah sedemikian sibuknya menteri-menteri itu sampai-sampai tidak mampu menangani sendiri tugas dan wewenangnya sampai harus membutuhkan wakil menteri sedemikian banyak? Apakah akan efektif sesuai dengan beban yang pasti akan bertambah pada anggaran negara? Mengingat fasilitas yang mereka dapatkan tidak berbeda jauh dengan yang didapat menterinya.

Kenapa untuk mengambil keputusan tentang perombakan kabinet itu sampai sedemikian lama? Begitu lambannya? Apakah benar Presiden SBY tersandera oleh kepentingan partai-partai politik, takut kehilangan dukungan di parlemen, dan seterusnya, sehingga memerlukan waktu perundingan yang panjang, seperti dianalisis banyak pakar?

Seperti biasa, dan seperti yang sudah diduga, analisis tersebut dibantah sepenuhnya oleh pihak Istana. Sudah beberapa juru bicara presiden, dan staf khususnya yang membantah. Mereka mengatakan itu tidak benar. Presiden tidak punya kekhawatiran itu, dan bahwa ini adalah hak prerogatif Presiden yang digunakan tanpa dipengaruhi atau tergantung oleh pihak manapun.

Ketika beredar dugaan bahwa sikap ragu-ragu SBY yang menyebabkan begitu lambannya keputusan akhir (realisasi) tentang perombakan kabinet karena SBY masih menunggu sikap dari Golkar dan PKS, alias takut kehilangan dukungan dari kedua parpol koalisi itu, Istana pun dengan cepat membantahnya.

Juru Bicara Julian Aldrin Pasha, pada 14 Oktober 2011, membantahnya dengan mengatakan, "Itu tidak benar. Presiden mempunyai hak dan kewenangan penuh untuk mengganti menteri sesuai dengan fungsionalnya sebagai kepala pemerintahan ... "

Dan, ... Seperti biasa pula antara bantahan pejabat negara kita seringkali bertentangan dengan fakta sebenarnya.

Kalau memang benar Presiden SBY benar-benar menggunakan hak prerogatifnya itu sepenuhnya tanpa dipengaruhi atau khawatir atau takut dengan pihak manapun juga kenapa keputusan itu bisa sedemikian lambannya?

[caption id="attachment_135914" align="aligncenter" width="448" caption="Clekit, Jawa Pos, 15 Oktober 2011"][/caption] Memang betul keputusan ini merupakan keputusan yang sangat penting, oleh karena itu memerlukan waktu proses yang cukup. Tetapi, apakah memang harus sedemikian lamanya? Membuat suasana sosial politik menjadi gaduh karena penuh dengan spekulasi dari berbagai macam jenis pakar politik dan dari para politisi itu sendiri.

Perdebatan, wacana, saling sindir, saling ancam pun ramai berkecamuk mewarwanai suasana sepanjang mulai beredarnya informasi dari Istana tentang rencana Presiden SBY melakukan perombakan kabinet tersebut.

Kegaduhan ini tidak membuat SBY segera mengambil keputusannya, malah masih terus diulur-ulur waktunya. Kalau bukan karena ada tawar-menawar politik, lalu apa lagi? Apakah karena SBY seorang telmi? Atau dia memang sengaja tunggu tanggal main drama yang dibuatnya itu, pas tanggal 20 Oktober 2011. Tepat, sekaligus memperingai 2 tahun masa pemerintahannya yang kedua? Berarti, sudah tahu sedemikian banyak menteri yang tidak becus, tetapi hanya demi menunggu “tanggal cantik” dia rela mengorbankan banyak kepentingan rakyat yang menjadi tumbal akibat dari ketidakbecusan itu.

Misalnya, tentang ketidakbecusan Menteri Perhubungan yang membuat sedemikian banyak terjadinya kecelakaan baik di laut, darat, maupun udara dengan korban tewas sejak Lebaran lalu sampai dengan sekarang mencapai ratusan jiwa. Bukannya langsung memecat sang Menteri, tetapi ditunggu “tanggal mainnya” dulu, baru dipecat (kalau memang akan dipecat).

Selama ini SBY seolah-olah menikmati kegaduhan ini. Menikmati rasa penasaran dan ketegangan pihak-pihak tertentu yang menanti keputusan akhirnya itu.

Ketika beberapa menteri, tokoh masyarakat dan ketua parpol silih berganti datang dan pergi di Cikeas, semua pihak pun sibuk menganalisa dan menafsirkan sebagai pertanda ini-itu. SBY pun yang mengetahui hal ini, seolah-olah menikmatinya. Untuk bisa lebih nikmat, dia pun menambah suasana tegang itu dengan pernyataannya yang bernada “misteri”. Bahwa kedatangan para tokoh itu bisa berarti macam-macam. Tidak selalu berkaitan dengan perombakan kabinet.

SBY mengatakan tak semua menteri yang dipanggil ke Cikeas bakal dicopot. Begitu pula menteri yang tidak diundang, bukan berarti aman dari perombakan kabinet."Menteri ada yang saya panggil tidak semuanya terkait dengan reshuffle. Jangan dibilang Pak Marty ke sini kena reshuffle," ucap SBY setelah menerima Menteri Luar Negeri Marty Natalegawa (Tempo Interaktif, 15 Oktober 2011).

Dari sini kelihatan bahwa justru SBY-lah yang menjadi sumber dari kegaduhan “drama reshuffle” ini, dan sekaligus menjadikannya seperti infotainment, atau polittainment. Jadi, seharusnya pernyataan Daniel Sparingga di atas lebih tepat ditujukan kepada Presiden SBY sendiri.

Seandainya, tanpa banyak ribut, tanpa perlu lama-lama, tanpa merasa tersandera parpol, SBY melakukan tindakan cepat, singkat dan tegas, bukankah kegaduhan seperti yang masih berlangsung ini tidak akan pernah terjadi?

Bantahan pihak Istana bahwa SBY tersandera kepentingan parpol tidak sesuai dengan fakta yang terjadi. Dari pernyataan-pernyataan kemudian dari juru bicara dan staf kepresidenan kepresidenan sendiri justru mengatakan hal yang sebaliknya.

Misalnya, berkaitan dengan isu SBY menunda perombakan kabinet karena masih menunggu sikap PKS, Daniel Sparingga justru mengatakan: "Menurut saya agak penting bahwa pengecualian harus diberikan kepada salah satu anggota koalisi yang hari ini sedang bertemu untuk menentukan posisi akhir mereka," ujar Daniel di Cikeas, Bogor, Jumat 14 Oktober 20 (Tempo Interaktif)

Kenapa harus memberi pengecualian khusus itu? Jawabannya datang dari Anis Matta, Sekjen PKS, bahwa PKS harus mendapat perlakuan khusus karena antara SBY dengan PKS telah dilakukan kontrak politik khusus. Dengan senjata kontrak politik itu, PKS mengancam SBY bahwa apabila SBY berani mencopot (mengurangi) satu saja menteri mereka, PKS akan membuka rahasia kontrak politik itu.

Inikah yang disebut pihak Istana bahwa Presiden SBY mempunyai hak prerogatif yang digunakan sepenuh olehnya tanpa tergantung dan dipengaruhi oleh pihak mana pun? Ini kah makna bahwa SBY tidak tersandera parpol?

Kecurigaan pun muncul, kok bisa Presiden dalam menjalankan hak prerogatifnya itu melakukan suatu kontrak politik khusus yang anehnya isinya dirahasiakan? Ada apa ini, kok pakai rahasia-rahasia segala? Kok, seperti ada suatu persengkongkolan rahasia? Sehingga bisa dijadikan senjata untuk mengancam membongkarnya kalau SBY mencopot satu saja menteri asal PKS itu?

Kalau kontrak rahasia itu tidak merugikan siapapun, terutama rakyat. Kenapa SBY harus takut dengan ancaman PKS itu?

Semua ini membuktikan bahwa SBY memang sangat tersandera oleh kepentingan parpol. Hak prerogatif presiden di tangan SBY telah dibiarkan tergerogoti oleh kepentingan, lebih tepat disebut oleh kerakusan dan keserakahan parpol-parpol. Sekaligus membuktikan bahwa mereka itu menjadi pejabat negara, menjadi politikus, bukan demi kepentinagn bangsa dan negara, tetapi demi kepentingan-kepentingan politik mereka sendiri.

Negara ini benar-benar dijadikan obyek anjang dari pelampiasan nafsu-nafsu kerakusan dan ketamakan politik itu. Mereka seperti tikus-tikus yang tidak pernah kenyang, yang saling memperebutkan kekuasaan demi nanti untuk dimanfaatkan untuk memperebutkan atau berkoloborasi menggerogoti kekayaan negara dengan berbagai macam ragam teknik korupsinya. Saling melindungi di antara sesama pejabat koruptor itu adalah wajib, atau terpaksa mengorbankan salah satu di antara mereka kalau sampai perbuatan itu mulai terbongkar (seperti dalam kasus Nazaruddin)..

Dan, SBY pun membiarkan semuanya itu terjadi demi kepentingan politiknya juga. Demi menyelamatkan kedudukannya sebagai presiden di parlemen. Kemenangan mutlaknya di pilpres 2009 lalu, dengan hasil di atas 60 persen benar-benar tidak berarti apa-apa. Membuat kita menjadi ragu, benarkah angka kemenangan sampai di atas 60 persen itu?

Dengan demikian ada juga manfaatnya dari munculnya kegaduhan ini. Karena dengan terjadinya kegaduhan ini semakin kelihatan perilaku sesungguhnya para pejabat negara dan politikus kita.

Mereka semua, termasuk Presiden sendiri saling berkoloborasi melalui berbagai taktik dan intrik-intrik politik kotor untuk bisa sebanyak mungkin menguasai aset negara, untuk kemudian dikorupsi, untuk dipakai sebagai modal dalam pilpres 2014 mendatang.

Perilaku memuakkan tersebut kelihatan dengan berbagai manuver dan pernyataan para politisi itu yang merasa gerah dengan kemungkinan SBY akan mencopot atau mengurangi orang mereka di Kementerian.

Selain dengan ancaman membongkar rahasia dan kontrak politik dengan SBY, PKS juga mengancam, kalau SBY berani mengurangi satu saja menteri mereka dari empat yang kini ada, mereka akan menarik semua menterinya. Yang berarti pula, mereka akan menarik dukungannya terhadap SBY pula. Inilah yang membuat SBY gemetar.

Sungguh ini yang namanya ngambek politik ala PKS.

PKS, seperti juga perilaku parpol lainnya tidak perduli dengan bagaimana kualitas dari orang-orangnya yang dijadikan menteri. Yang nota bene kualitas menteri yang rendah mengorbankan kepentingan bangsa dan negara. Rakyat menjadi tumbal karena tidak kompetennya seorang seseorang menjadi menteri itu. Ini mereka tidak ambil pusing, yang penting harus ada orangnya duduk sebagai menteri, apakah dia berkompeten ataukah tidak, itu urusan kesekian. Yang penting bisa jadi menteri, yang tentu saja punya pamrih di baliknya.

Maka tidak heran demi memenuhi ambisi, maksud dan tujuan, serta pamrih politiknya itu para parpol pun tak punya malu lagi, secara terang-terangan memperebutkan posisi menteri di beberapa Kementerian yang basah. Seperti yang diberitakan bahwa saat ini Golkar dengan PPP pun saling berupaya memperebutkan jabatan Menko Kesra (Jawa Pos, 14 Oktober 2011).

Nama Kabinet Indonesia Bersatu yang sekarang dipakai, sebaiknya diganti saja dengan nama Kabinet Parpol Bersatu. Supaya cocok dengan faktanya.

Dengan demikian, masih bisakah kita berharap banyak dengan hasil perombakankabinet yang akan dilakukan SBY itu? Mencoba mengatasi masalah dengan cara melakukan kesalahan yang sama untuk keduakalinya (memberi porsi yang sedemikian besar kepada parpol)? ***

Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun