[caption id="attachment_150162" align="aligncenter" width="619" caption="Samantha Cameron terlihat berbelanja, dan mengakat sendiri barang-barang belanjaannya sendirian di sebuah supermarket di Inggris sendirian (kompas.com)"][/caption]
Baru-baru ini, tepatnya pada 11 Desember 2011, istri Perdana Menteri Inggris David Cameron, Samantha Cameron, mengejutkan banyak orang ketika terlihat berbelanja seorang diri di Ikea, London. Tanpa didampingi oleh seorang pun pengawal, atau pembantu yang siap membantunya membawa barang-barang belanjaannya. Tanpa terlihat canggung, istri orang nomor satu di pemerintahan Inggris itu terlihat mengangkat sendiri barang-barang belanjaan keperluan rumah tangga, lalu meletakkannya di troli (Kompas.com, 12 Desember 2011).
Samantha terlihat membawa catatan belanjaannya. Ketika ditanya apa saja yang dibeli, dia menjawab sambil tersenyum, “Wah, pokoknya banyak.”
Ketika ada seorang pengunjung yang hendak membantunya membawa trolinya, dengan ramah dia menolaknya, dengan mengatakan, “Tidak apa, terima kasih. Saya bisa sendiri, kok.”
Samantha kemudian mendorong trolinya ke parkiran. Sebuah minibus hitam dan seorang pengemudi perempuan sudah menunggunya di situ.
Kejadian itu banyak membuat rakyat Inggris terkesan. “Dia tampak wajar, dan hendak berbaur dengan orang kebanyakan,” komentar salah seorang pengunjung toko tersebut yang menyaksikan sendiri Samantha yang sedang berbelanja itu.
Ternyata, sudah lama dan merupakan tradisi keluarga David Cameron – sejak dia belum menjadi Perdana Menteri Inggris bahwa semua orang didorong untuk melakukan segala sesuatu sendiri. Kalau bisa melakukan sendiri, jangan minta tolong orang lain melakukannya. Kira-kira begitu prinsipnya.
Maka itu, meskipun sudah menjadi orang nomor satu di pemerintahan Inggris, David Cameron dan keluarganya juga sering melakukan apa-apa sendiri.
Sepasang suami-istri PM Inggris ini juga sering terlihat bepergian sendiri kalau tidak dalam waktu kerja. Tak beda dengan orang biasa pada umumnya.
Seperti terlihat di foto di bawah ini, ketika mereka berdua bepergian di di suatu hari Minggu berbelanja di sebuah toko ikan di dekat sebuah pantai.
[caption id="attachment_150157" align="aligncenter" width="594" caption="PM Inggris dan istrinya, Samantha terlihat sedang berbelanja sendiri di sebuah toko ikan segar, di Port Isaac, 21 Agustus 2011. Tidak terlihat pelayan toko yang wajib melayani mereka secara khusus (Sumber: http://www.huffingtonpost.co.uk)"][/caption] [caption id="attachment_150160" align="aligncenter" width="550" caption="David Cameron dan istrinya, meninggalkan toko ikan setelah berbelanja di sana. Tanpa ajudan, tanpa pengawal (http://www.huffingtonpost.co.uk)"][/caption]
(Tapi, rasanya mereka tetap diawasi oleh para pengawalnya dari jarak jauh, ya?)
Akibat dari kebiasaannya itu David Cameron pernah “kena batunya”. Yaitu ketika dia bersama dengan Samantha mengisi dua minggu liburan musim panas mereka di di Tuscan, Italia.
Pada Minggu, 31 Juli 2011, Cameron dan istrinya ditemani seorang ajudan pergi ke kota Montecarchi,masuk ke Kafe Dolcenero. Mereka memesan dua cangkir cappuccino dan secangkir kopi jenis lain. David Cameron meminta tolong seorang pelayan perempuan untuk membawa minuman pesanan mereka itu untuk istrinya dan ajudannya yang duduk sendiri di teras kafe.
Tetapi dia terkejut, ketika si pelayan dengan tegas menolaknya. Mengatakan bahwa dia senang sibuk, dan “Anda seharusnya bisa melakukannya sendiri ...”
Spontan Perdana Menetri Inggris itu pun membawa sendiri minuman pesanan mereka itu ke meja mereka, dan kemudian keluar membawa satu lagi untuk ajudannya.
Semua orang yang berada di kafe itu sama sekali tidak tahu bahwa tamu kafe itu adalah bukan orang sembarangan. Tetapi Perdana Menteri Inggris dan istrinya.
Pelayan kafe itu baru tahu kalau orang yang baru ditolak permintaan bantuannya itu adalah Perdana Menteri Inggris, ketika ada seorang wartawan lokal yang mengenali mereka, dan memberitahu kepadanya.
"Kemudian saya diberi tahu siapa mereka, dan sekarang saya benar-benar malu," kata Francesca Ariani (27), si pelayan. "Saya harus berkeliling, benar-benar sibuk, sehingga ketika dia meminta saya untuk membawa kopi-kopi itu, saya mengatakan kepadanya bahwa dia harus melakukannya sendiri."
Kalau di Indonesia, si pelayan akan berkata: "... Saya benar-benar TAKUT sekarang."
[caption id="attachment_150164" align="aligncenter" width="460" caption="David dan Samantha Cameron di sebuah kafe d Italia (kiri). Pelayan kafe yang menolak permintaan tolong PM Inggris membawa kopi istrinya ke mejanya (kanan)"][/caption]
Perlakuan Ariani yang seperti itu terhadap Sang Perdana Menteri mungkin telah menyebabkan dia kehilangan rezekinya hari itu. Cameron membayar tagihan sebesar 3,10 Euro dengan uang pecahan 50 Euro dan tidak meninggalkan uang tip. "Saya sedikit terkejut tentang itu karena saya diberi tahu bahwa dia cukup kaya," kata Ariani lagi.
"Tidak ada seorang pun tahu siapa dia," kata Giustino Bonci, wartawan televisi lokal. "Dia mengenakan kemeja biru dan celana biru. Dia tampak seperti turis Inggris pada umumnya."
Keluarga Cameron tinggal di sebuah villa abad ke-18 yang terletak beberapa mil dari Montevarchi bersama keluarga pemilik vila itu. Para pejabat Downing Street mengatakan, ia tidak punya agenda yang berkaitan dengan publik selama dua minggu liburannya. Biaya vila sebesar 9.700 poundsterling seminggu dan para ajudan mengatakan, Cameron membayar tagihan untuk keluarganya, 5.800 pounds, dari kantongnya sendiri (Kompas.com).
Dengan kata lain, biaya liburan mereka yang ditanggung negara hanyalah biaya untuk David Cameron dan istrinya saja. Sedangkan selebihnya untuk anak-anaknya, dia membayar dari kocek pribadinya sendiri.
Bagaimana dengan perilaku pejabat tinggi negara kita sendiri? Termasuk orang nomor satu saat ini di Republik ini?
*
Anda pernah melihat istri pejabat Indonesia kalau lagi jalan-jalan sambil belanja di mall, atau bepergian di mana saja? Pemandangan yang lazim terlihat adalah, menggunakan mobil mewah lengkap dengan sopirnya. Ajudan merangkap bodyguard selalu setia di sampingnya. Juga merangkap sebagai pelayan, yang menenteng barang-barang belanjaan sang “Nyonya Besar.”
Sedangkan untuk pejabatnya sendiri, mulai level bupati sampai menteri, biasanya ke mana-mana selain dengan sopir dan ajudan, juga jalan raya untuk sesaat seolah-olah menjadi milik mereka ketika melintas di sana. Rakyat biasa harus mengalah di tengah-tengah kemacetan jalan demi sang pejabat lewat dengan voorijder-nya dengan sirene meraung-raung.
Di tempat-tempat publik pun para pejabat dan istrinya itu biasanya selalu minta dilayani dan diistimewakan. Bilamana perlu melangkahi hak orang lain, misalnya ketika harus mengantri.
Memang tidak semua pejabat dan istrinya seperti itu. Profil pejabat tinggi negara semacam Dahlan Iskan adalah suatu pengecualian.
Tetapi secara umum itulah gambaran karakteristik pejabat tinggi negara kita yang masih kuat dengan budaya feodalismenya. Selalu minta diistimewakan dan dilayani.
Seperti raja-raja kecil adalah merupakan fenomena yang biasa terjadi di daerah-daerah pada pejabat setingkat bupati atau walikota. Rakyat yang dianggap berani melawan, atau menghalangi, siap-siap menerima akibatnya diperlakukan secara kasar dan tidak manusiawi.
Misalnya, wartawan yang dianiaya, karena meliput berita yang dianggap tidak menguntungkan sang kepala daerah tertentu. Kameranya dirampas dan dirusak oleh pengawal si bupati. Tanpa ada perasaan bersalah sedikitpun. Seolah-olah mereka memang berhak melakukan hal itu.
Rakyat yang dianggap menghalangi “sang raja” ketika sedang melintas di jalan raya, juga harus siap menerima akibatnya. Minimal dibentak oleh petugas yang mengiringi “raja”-nya, atau mobilnya digebrak karena dianggap kurang minggir.
Saya sendiri pernah mengalami, bodi mobil saya ditendang dan kaca spionnya dipukul petugas voorijder karena dianggap kurang minggir. Padahal saya sudah tidak mungkin lebih ke pinggir lagi karena di sebelah saya ada mobil lain.
[caption id="attachment_150165" align="aligncenter" width="400" caption="Voorijder mengawal pejabat negara menembus jalanan yang macet. Pemandangan biasa. (kompas.com)"][/caption]
Belum lama ini, tepatnya pada 7 November 2011, ada insiden seorang pengendara sepeda motor ditabrak oleh salah satu kendaraan yang mengiringi rombongan Wakil Bupati Sumenep Sungkono Sidik. Ironisnya, rombongan dengan voorijder tersebut tetap melaju meskipun tahu kalau ada pengendara sepeda motor yang tertabrak sampai jatuh terkapar di jalanan.
Padahal, seperti yang disampaikan saksi mata. Korban sebenarnya sudah menepi ketika suara sirene terdengar, dan rombongan pejabat tinggi Sumenep itu mulai tampak akan lewat. Tapi mungkin karena kurang minggir, sepeda motornya tertabrak. Korban terpental dan menabrak tiang telepon sehingga menderita luka di kepala, dan dada lembam.
Mungkin saja perilaku feodalisme para pejabat di daerah ini juga dikarenakan contoh yang diberikan oleh pejabat tinggi negara di pusat. Terutama contoh yang diberikan oleh Presiden SBY sendiri ketika melintas di jalan raya. Rakyat diharuskan mengalah, jalur jalan yang akan dilintasi Presiden SBY sudah ditutup 1-2 jam sebelumnya. Tidak perduli sampai mengakibatkan kemacetan luar biasa. Rakyat harus siap menderita demi kenyamanan sang paduka yang mulia.
Anda tentu masih ingat dengan hebohnya berita pengalaman Hendra NS yang mobilnya digebrak dan diancam tembak oleh seorang pasukan pengawal presiden (paspampres) SBY di bulan Juli 2010 lalu.
Gara-garanya, seperti yang ditulis di surat pembaca di Kompas, 17 Juli 2010,Hendra NS yang waktu itu membawa anak-anaknya yang masih kecil-kecil itu dianggap tidak mematuhi perintah ketika disuruh meminggirkan mobilnya karena rombongan Presiden SBY hendak lewat. Padahal Hendra sedang bingung karena ada dua perintah yang saling bertentangan. Yang satu menyuruh mobilnya ke kanan, yang lain memerintahkan mobilnya ke kiri.
Anggota Paspampres yang sedang mengawal SBY dalam perjalanan ke kediamannya di Cikeas itu, mengebrak keras mobil Hendra, sambil membentak: “Hai, apa kamu mau saya bedil?”
Hendra, warga Cibubur, yang acapkali berpapasan dengan rombongan Presiden SBY dalam perjalanannya dari/ke kediaman pribadinya di Cikeas, mengalami traumatik bersama anak-anaknya. Kemudian menghimbau kepada SBY agar lebih baik menginap saja di Istana Negara. Daripada harus membuat sengsara rakyat pengguna jalan yang terjebak kemacetan selama berjam-jam, setiap kali SBY melintas di sana, bolak-balik dari/ke Cikeas/Istana
Pada waktu itu publik pun heboh dan ikut-ikutan mengecam perilaku arogan dari anggota paspanpres tersebut. Di dunia maya, terutama sorotan pun di arahkan kepada SBY, yang kalau pergi melintas jalan raya selaludengan iring-iringan yang panjang. Arus lalu-lintas biasa distop 1-2 jam sebelum rombongan lewat. Membuat kemacetan lalu-lintas semakin parah. Rakyat pun harus mengalah dengan segala konsekuensinya. Menunggu berjam-jam, dan telat ke tempat kerja/tujuannya.
Mengrespon kecaman tersebut, pada waktu itu, pihak Istana berjanji akan mengevaluasi sistem pengawalan Presiden SBY beserta rombongannya di jalan raya.
Tetapi kenyataannya, kelihatannya itu hanya basa-basi saja. Karena fenomena sosial tersebut masih terjadi sampai sekarang.
Bukan hanya ketika bekerja saja, bahkan ketika SBY dan keluarganya berlibur pun, sistem pengawalan tersebut sama saja.
Seperti yang pernah terjadi pada hari Minggu, 6 Maret 2011, di jalur Puncak, Bogor. Dalam keadan normal saja kemacetan parah biasa terjadi, tetapi pada hari itu kemacetan tersebut menjadi jauh lebih parah lagi karena sampai mencapai seharian!
Lalu-lintas baik yang menuju Puncak, maupun Ciawi dari Jakarta tidak bisa bergerak sama sekali. Titik kemacetan antara lain terdapat di Cisarua, Gadog, dan Ciawi. Kemacetan terjadi sejak Sabtu (5/3/2011) pukul 17.00 WIB sampai keesokan harinya, Minggu (6/3/2011), pukul 01.00 dini hari (detik.com)
Ternyata, penyebab kemacetan adalah ada rombongan Presiden SBY dan keluarganya yang berliburan ke Puncak. Tepatnya, ke kawasan Taman Safari, Cisarua. Setelah itu, rombongan Presiden SBY ke Istana Kepresidenan Cipanas, untuk menginap. Tiba di sana pukul 18.30 WIB. Membiarkan rakyatnya terperangkap dalam kemacetan sangat parah sampai pukul 01.00 WIB dini hari. Ketika SBY dan keluarganya sudah tidur nyenyak di Istana Kepresidenan di Cipanas itu, rakyatnya yang dipaksa harus mengalah memberi jalan kepada Presidennya masih berjuang menahan kesengsaran dalam kemacetan sampai dini hari.
Salah seorang yang terjebak kemacetan sampai 12 jam di Puncak itu berseru kepada SBY, seperti yang kutip detik.com: "Pak SBY, lain kali kalau ke Puncak naik helikopter saja. Kasihan rakyat mengeluh 12 jam macet hanya karena ngurus iring-iringan anda. Pejabat sama Jenderal Anda juga seenaknya pakai pengawal. Mohon, ya, Pak!”
Mengapa, ya, para pejabat negara kita ini tabiatnya rata-rata seperti ini? Seolah-olah tidak punya rasa empati sama sekali. “Persetan dengan rakyat, yang penting saya bisa nyaman. Dan, sebagai pejabat negara, Anda harus mengalah dan melayani saya!” Mungkin begitu prinsip mereka.
Kita juga masih ingat pada 24 Oktober 2011, di Nusa Dua, Bali, bagaimana perlakuan yang diterima oleh seorang tukang kebun miskin yang sudah kakek-kakek, Nyoman Minta, ketika dengan sepeda pancal buntutnya pulang melewati rute sehari-harinya. Tanpa sadar bahwa ada acara kenegaraan dan Presiden SBY di situ. Dia mengalami shock dan trauma karena harus diinterogasi seharian penuh oleh Paspampres. Padahal karena kecerobohan merekalah yang membuat si kakek yang lugu itu bisa lolos begitu saja lewat di depan Presiden.
[caption id="attachment_150168" align="aligncenter" width="600" caption="Kakek tukang kebun Nyoman Minta, tanpa sengaja melintas di depan podium Presiden SBY akibat kecerobohan Paspampres, harus menjalani interogasi dari Paspampres yang membuatnya shock (antaranews.com)"][/caption]
Juga bagaimana perlakuan tidak manusiawi yang diterima seorang mahasiswa yang bernama Iqbal Sabarudin dari beberapa orang anggota Paspamwapres di Bandung pada 28 Oktober 2011. Karena dia nekad menerobos masuk ke tengah lapangan di depan podium Wapres Boediono sambil membawa spanduk aspirasinya. Kalau dia kemudian ditangkap untuk kemudian diinterogasi merupakan hal yang wajar dan seharusnya begitu. Tetapi apa yang dia dapatkan lebih daripada itu. Iqbal dikeroyok, dipukul, terjatuh, dan diinjak-injak di depan publik.
[caption id="attachment_150167" align="aligncenter" width="604" caption="Iqbal Sabarudin, mahasiswa yang menerobos sampai di depan podium Wapres Budiono untuk menyampaikan aspirasinya. Dikeroyok dan dianiaya secara brutal oleh anggota Paspamwapres di depan publik. Apakah tidak cukup dia ditangkap dan diinterogasi saja?"][/caption]
Mengapa para pejabat negara kita rata-rata tidak mempunyai rasa simpatik dan empati dengan rakyatnya? Selain masih kuatnya budaya feodalisme: merasa seperti raja yang harus disembah dan diperlakukan istimewa. Mungkin juga karena mereka sebenarnya sadar bahwa kelakuan mereka itu tidak disukai rakyat, apalagi kemudian ditambah dengan stigma koruptor terpatri, maka mereka juga merasa seolah-olah rakyat itu selalu memusuhi mereka. Oleh karena itu ke mana-mana harus bawa ajudan merangkap bodyuard.
Pejabat negara setingkat presiden dan wakil presiden tentu saja harus mendapat pengawalan yang cukup ketat. Tetapi tidak perlu harus sampai berlebih-lebihan. Sampai membuat rakyatnya malah merasa selalu harus menderita karena harus dipaksa berkorban seperti kalau berada di jalan raya itu. Kecuali mereka memang paranoid terhadap rakyatnya sendiri.
Orang dekat Gus Dur, Hermawi Taslim, pernah mengungkapkan bahwa Gus Dur tak pernah mau memakai iring-iringan pengawal jika bepergian. Seperti lazim dijumpai di jalanan, para pejabat negara, apalagi mantan presiden, biasanya diikuti beberapa mobil maupun motor pengawal dari pihak kepolisian (Kompas.com, 30 Desember 2009).
Presiden Philipina, Benigno Aquino (Noy Noy) dikabarkan sering terjebak macet di jalan raya bersama pengguna jalan lainnya. Dia juga melarang penggunaan sirene kalau tidak benar-benar dibutuhkan, misalnya kalau ada tamu negara. Iringan-iringan Kepresidenannya juga tidak pernah sampai panjang-panjang, dan kalau lampu merah rombongan presiden juga harus ikut berhenti.
Gus Dur dan Noy Noy dapat bersikap begitu karena dia bukan seorang pejabat negara (presiden) yang paranoid dengan rakyatnya sendiri.
Pejabat yang paranoid kepada rakyatnya sendiri tentu pasti ada apa-apanya. Misalnya, karena dia diam-diam sebenarnya adalah seorang koruptor besar, yang kemudian membuatnya selalu berada dalam keadaan ketakutan. Ketika berada di tengah-tengah rakyatnya, misalnya, ada petasan berbunyi saja, sudah cukup membuatnya ketakutan.***
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H