Saya sendiri pernah mengalami, bodi mobil saya ditendang dan kaca spionnya dipukul petugas voorijder karena dianggap kurang minggir. Padahal saya sudah tidak mungkin lebih ke pinggir lagi karena di sebelah saya ada mobil lain.
[caption id="attachment_150165" align="aligncenter" width="400" caption="Voorijder mengawal pejabat negara menembus jalanan yang macet. Pemandangan biasa. (kompas.com)"][/caption]
Belum lama ini, tepatnya pada 7 November 2011, ada insiden seorang pengendara sepeda motor ditabrak oleh salah satu kendaraan yang mengiringi rombongan Wakil Bupati Sumenep Sungkono Sidik. Ironisnya, rombongan dengan voorijder tersebut tetap melaju meskipun tahu kalau ada pengendara sepeda motor yang tertabrak sampai jatuh terkapar di jalanan.
Padahal, seperti yang disampaikan saksi mata. Korban sebenarnya sudah menepi ketika suara sirene terdengar, dan rombongan pejabat tinggi Sumenep itu mulai tampak akan lewat. Tapi mungkin karena kurang minggir, sepeda motornya tertabrak. Korban terpental dan menabrak tiang telepon sehingga menderita luka di kepala, dan dada lembam.
Mungkin saja perilaku feodalisme para pejabat di daerah ini juga dikarenakan contoh yang diberikan oleh pejabat tinggi negara di pusat. Terutama contoh yang diberikan oleh Presiden SBY sendiri ketika melintas di jalan raya. Rakyat diharuskan mengalah, jalur jalan yang akan dilintasi Presiden SBY sudah ditutup 1-2 jam sebelumnya. Tidak perduli sampai mengakibatkan kemacetan luar biasa. Rakyat harus siap menderita demi kenyamanan sang paduka yang mulia.
Anda tentu masih ingat dengan hebohnya berita pengalaman Hendra NS yang mobilnya digebrak dan diancam tembak oleh seorang pasukan pengawal presiden (paspampres) SBY di bulan Juli 2010 lalu.
Gara-garanya, seperti yang ditulis di surat pembaca di Kompas, 17 Juli 2010,Hendra NS yang waktu itu membawa anak-anaknya yang masih kecil-kecil itu dianggap tidak mematuhi perintah ketika disuruh meminggirkan mobilnya karena rombongan Presiden SBY hendak lewat. Padahal Hendra sedang bingung karena ada dua perintah yang saling bertentangan. Yang satu menyuruh mobilnya ke kanan, yang lain memerintahkan mobilnya ke kiri.
Anggota Paspampres yang sedang mengawal SBY dalam perjalanan ke kediamannya di Cikeas itu, mengebrak keras mobil Hendra, sambil membentak: “Hai, apa kamu mau saya bedil?”
Hendra, warga Cibubur, yang acapkali berpapasan dengan rombongan Presiden SBY dalam perjalanannya dari/ke kediaman pribadinya di Cikeas, mengalami traumatik bersama anak-anaknya. Kemudian menghimbau kepada SBY agar lebih baik menginap saja di Istana Negara. Daripada harus membuat sengsara rakyat pengguna jalan yang terjebak kemacetan selama berjam-jam, setiap kali SBY melintas di sana, bolak-balik dari/ke Cikeas/Istana
Pada waktu itu publik pun heboh dan ikut-ikutan mengecam perilaku arogan dari anggota paspanpres tersebut. Di dunia maya, terutama sorotan pun di arahkan kepada SBY, yang kalau pergi melintas jalan raya selaludengan iring-iringan yang panjang. Arus lalu-lintas biasa distop 1-2 jam sebelum rombongan lewat. Membuat kemacetan lalu-lintas semakin parah. Rakyat pun harus mengalah dengan segala konsekuensinya. Menunggu berjam-jam, dan telat ke tempat kerja/tujuannya.
Mengrespon kecaman tersebut, pada waktu itu, pihak Istana berjanji akan mengevaluasi sistem pengawalan Presiden SBY beserta rombongannya di jalan raya.