Mohon tunggu...
Daniel H.T.
Daniel H.T. Mohon Tunggu... Wiraswasta - Wiraswasta

Bukan siapa-siapa, yang hanya menyalurkan aspirasinya. Twitter @danielht2009

Selanjutnya

Tutup

Lyfe

Jero Wacik, "Sang Pahlawan" (Pahlawan Siapa?)

23 Agustus 2011   11:31 Diperbarui: 26 Juni 2015   02:32 523
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

[caption id="attachment_126435" align="aligncenter" width="640" caption="Antrian panjang penonton Harry Potter sampai di luar lobby bioskop XXI Supermall Surabaya (Juli 2011)"][/caption] Diawali dengan diputarnya film seri terakhir Harry Potter, Harry Potter and the Deathly Hallows: Part 2 disusul Trasformers: Dark of the Moon, mulai pertengahan Juli 2011 bioskop-bioskop Indonesia khususnya milik Grup XXI 21 Cineplex, mulai tampak hidup lagi. Sebelumnya telah mulai menunjukkkan gejala-gejala sekarat. Akibat dari absennya film-film Hollywood sejak 17 Februari 2011 sampai dengan medio 27 Juli 2011.

Fenomena ini menunjukkan bahwa bisnis bioskop di Indonesia benar-benar sangat tergantung dengan film-film Hollywood. Begitu film-film Hollywood distop, perlahan namun pasti bioskop-bioskop itu mulai ditinggalkan mayoritas penontonnya. Hanya dalam tempo sekitar satu bulan seluruh bioskop milik Grup 21 Cineplex itu mengalami sepinya penonton yang sangat drastis. Omzetnya pun sudah pasti terjun bebas. Belum pernah terjadi selama sekitar 30 tahun mereka merajai bisnis perbioskopan di negeri ini.

Segala macam jenis hantu, mulai dari Suster Ngesot sampai dengan Kuntilanak Kesurupan sama sekali tidak bisa diharapkan. Beberapa film independen yang sebenarnya cukup berkualitas juga tidak mampu menolong.

Apabila film-film Hollywood belum juga bisa diputar di sini, kemungkinan besar dalam waktu beberapa bulan lagi, bioskop-bioskop Grup 21 itu benar-benar akan menjadi ruang-ruang yang dihuni segala macam hantu. Alias ditutup karena bangkrut.

(Untuk mengingatkankembali tentang suasana bioskop-bioskop Grup 21 setelah film Hollywood diboikot, silakan baca kembali tulisan saya di Kompasiana, 28 Februari 2011, di sini)

[caption id="attachment_126437" align="aligncenter" width="466" caption="Bioskop XXI Supermall, Surabaya, 26 Februari 2011, pukul 14.00 WIB "][/caption] [caption id="attachment_126440" align="aligncenter" width="448" caption="Penonton Kung Fu Panda 2 mengantri panjang di XXI Supermall, Surabaya (14/8/2011). Pukul 14.00 WIB"][/caption]

Untunglah sebelum maut datang menjemput, Sang Penyihir Harry Potter datang menolong.

Lewat kebijakan dan upaya keras Menteri Budaya dan Pariwisata Jero Wacik, antara lain dengan ikut melobi dan mengintervensi Kementerian Keuangan menyangkut masalah perpajakan, akhirnya lewat sebuah perusahaan importir baru, PT Omega Film, pemerintah memberi izin impor film Hollywood lagi. Seri terakhir Harry Potter, Harry Potter and the Deathly Hallows: Part 2 mengawali masuk kembalinya film Hollywood tersebut.

Maka setelah berbulan-bulan semua bioskop Grup 21 Cineplex seperti kuburan sepinya – mungkin karena itu untuk menyesuaikannya dengan situasi mereka memutar film-film hantu J , kini kembali ramai dan penuh sesak dengan penonton lagi. Antrian panjang di loket-loket penjual tiket,dan lobi yang penuh sesak dengan mereka yang mau menonton film pun kembali terlihat.

Sebagian penggemar film Hollywood menganggap Jero Wacik sebagai pahlawannya. Dengan bangga Menteri ini mengatakan bahwa ketika dia berkunjung ke bioskop XXI di Plaza Senayan, Jakarta, dia disambut dengan penuh antusias oleh ratusan remaja yang mengelu-elukannya. Mengucapkan terima kasih kepadanya, dan menyebutkannya sebagai “Pahlawan Harry Potter” (detik.com.). GR-juga, nih Menteri.

Benarkah JeroWacik pantas dianggap sebagai “pahlawan”?

Jero memang pantas disebut sebagai “pahlawan”. Tetapi bukan pahlawan penonton, bukan pahlawan siapa-siapa, melainkan pahlawan dari Grup 21 Cineplex. Tentu saja.

Penonton hanya dipinjam namanya untuk membenarkan kebijakannya yang mengizikan diimpornya film-film Hollywood kembali. Sama dengan taktik Juru Bicara Grup 21 tempo hari, Noorca Masardi, yang memprovokasi penggemar film Hollywood, dengan mengatakan bahwa film Hollywood distop karena salahnya pemerintah, dalam hal ini Dirjen Pajak, Bea dan Cukai, yang memberlakukan tarif pajak baru yang tidak masuk akal. Sehingga Hollywood ngambek, dan mengentikan peredaran semua filmnya di sini.

Padahal, di balik “suksesnya” Jero mengembalikan film Hollywood ini sesungguhnya ada beberapa masalah yang sangat serius, menyangkut kepentingan negara. Yakni masalah perpajakan film impor dan masalah monopoli bisnis. Bukan tidak mungkin malah ada unsur KKN, di baliknya.

Ironisnya kepentingan negara, khususnya mengenai perpajakan, dan penegakan hukum, khususnya menyangkut monopoli bisnis yang dilarang UU justru diabaikan. Sedangkan kepentingan pemilik bioskop justru yang dikedepankan.

PT Omega Film adalah perusahaan yang baru saja didirikan pada Januari 2011. Tak lama setelah mulai terkuak tiga perusahaan importir film milik Grup 21 Cineplex melakukan tunggakan pembayaran pajak berikut denda sebesar lebih dari Rp 310 miliar. Yakni PT Camila Internusa Film, PT Satrya Perkasa Esthetika Film, dan PT Amero Mitra Film.

Dari tiga perusahaan tersebut PT Camila Internusa dan PT Satrya Perkasa Esthetika Film adalah dua perusahaan yang mengimpor semua film-film Hollywood. Sedangkan PT Amero Film hanyalah pengimpor film-film independen, yang omzetnya jauh lebih kecil.

Oleh karena itu untuk PT Amero Film tidak ada masalah. Tunggakan pajaknya dilunasi, perusahaan dapat berjalan terus.

Sebaliknya dengan PT Camila dan PT Satrya, karena pengimpor utama film-film impor Hollywood, maka omzetnya tentu saja sangat besar. Maka besarpula tunggakan pajaknya, besar pula masalahnya. Dua perusahaan inilah yang menunggak pajak berikut dendanya sebesar Rp 310 miliar. Maka keduanya pun dibekukan izinnya untuk sementara. Dilarang mengimpor film, sampai tunggakan pajaknya itu dilunasi.

Permasalahannya pun dibawa ke Pengadilan Pajak. Ini tentu saja memerlukan waktu yang lama. Bisa-bisa sebelum masalahnya selesai, bioskop-bioskop milik Grup 21 Cineplex itu sudah mati duluan.

Untuk mengantisipasi hal itulah Grup 21 Cineplex diduga kuat mengakalinya dengan mendirikan perusahaan importir film baru. Seolah-olah itu perusahaan importir yang murni baru, dan tidak berafiliasi dengan Grup 21.

Perusahaan baru tersebut itulah yang bernama PT Omega Film. Hebatnya, hanya dalam tempo 5 bulan sejak didirikan, mendapat izin untuk mengganti peran PT Camila Internusa dan PT Satrya Perkasa Esthetika Film sebagai pengimpor film-film Hollywood.

Jadi, biarlah dua perusahaannya itu menghadapi masalah. Bilamana perlu ditutup saja. Sedangkan mereka sudah mempunyai perusahaan baru pengganti yang akan bebas melakukan impor film Hollywood lagi.

Namun pihak Bea dan Cukai kemudian mengendus ada ketidakberesan dengan perusahaan importir film baru ini, yakni masih berafiliasi dengan Grup 21, yang berarti melanggar ketentuan hukum tentang antimonopoli.

Indikasi terafiliasinya Omega dengan Grup 21 tersebut cukup kuat. Itulah alasan Bea dan Cukai pada 5 Juli 2011 memblokir perusahaan yang baru berumur beberapa bulan tersebut. Pemblokiran itu diperlukan untuk diadakan penyelidikan tentang kebenaran dugaan adanya afliasis antara Omega dengan Grup 21 itu.

Pada fase inilah turunlah pahlawan yang bernama Jero Wacik. Dia dikabarkan menelepon Direktur Jenderal Bea dan Cukai Agung Kuswandono. Sang Pahlawan meminta supaya Agung mempermudah urusan Omega. Sebuah gaya bahasa eufemisme yang biasa digunakan para birokrat kita.

Katanya, biarlah, Omega itu berjalan dulu. Sedangkan masalah lainnya, termasuk masalah dugaan terafiliasinya Omega dengan Grup 21 itu biarlah diurus tersendiri. Begitulah kira-kira pesan Jero Wacik, seperti yang ditulis majalah Tempo, 14 Agustus 2011.

Maka berkat lobi kuat dari Sang Pahlawan itulah, Omega pun bisa melenggang, dan berhasil mendatangkan si Penyihir Harry Potter itu menyelamatkan nyawa bioskop-bioskop milik Grup 21 itu. Disusul kemudian beberapa film Hollywood lainnya.

Blokir Bea dan Cukai itu dibuka pada 21 Juli 2011, dan hanya dalam tempo 6 hari kemudian film Harry Potter seri terakhir itu bisa diputar di semua jaringan bioskopGrup 21.

Jero membenarkan bahwa ada beberapa perbedaan pandangan antara pihaknya dengan pihak Kementerian Keuangan. Menteri Keuangan Agus Martowardojo, katanya, punya tugas untuk memupuk perolehan pajak bagi negara, sedangkan tugasnya sebagai Menteri Kebudayaan dan Pariwisata adalah memajukan perfilman dan memperbanyak bioskop dengan film-film bermutu.

Dari kata-katanya ini, seolah-olah Jero hendak mengatakan bahwa antara tugas Kementerian Keuangan dengan tugas Kementerian Kebudayaan dan Pariwisata bisa saja bertentangan. Dalam hal ini, terjadi padakasus impor film Hollywood.

Tentu saja ini pernyataan yang terlalu mengada-ada. Seharusnya dia sebagai bagian dari pemerintah mendukung kebijakan yang menguntungkan negara. Oleh karena itu dia seharusnya mendukung kebijakan Kementerian Keuangan, dalam hal ini Dirjen Pajak untuk mendorong kelancaran pembayaran pajak dan dicegahnya monopoli dalam bisnis perfilman. Bukan malah sebaliknya, mendukung Grup 21 untuk mengakali hukum yang berlaku.

Ketika mulai semakin kelihatan bahwa benar PT Omega Film adalah afiliasi dari Grup 21 Cineplex, Jero tak mau ambil pusing. Dia malah melontarkan pernyataannya yang kontroversial dan mengundang banyak kecaman.

Kata dia, “Sebetulnya satu grup tidak apa-apa. ‘Kan mereka yang punya bioskop. Biarkan, karena rakyat ingin melihat film. Yang penting supaya filmnya masuk dulu.” (detik.com)

Padahal sangat jelas praktek tersebut merupakan bentuk pelanggaran undang-undang. Yakni UU Nomor 33 Tahun 2009 tentang Perfilman. Pasal 11 ayat 1-nya mengatur: Pelaku usaha perfilman sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 ayat 2, dilarang memiliki usaha perfilman lain yang dapat mengakibatkan terjadinya integrasi vertikal, baik langsung, maupun tidak langsung.

Mustahil sebagai Menteri kebudayaan dan Pariwisata tidak tahu dan tidak mengerti tentang ini.

Setelah dikecam kiri-kanan, Sang Pahlawan pun berdalih bahwa sebetulnya dia mendukung penegakkan hukum antimonopoli. Bahwa pernyataannya sebelumnya itu sebenarnya demi kepentingan penonton. “Kita dengar suara-suara anak-anak muda. Terserah perusahaannya siapa saja yang bisa (mengimpor film),” katanya.

Kualitas pernyataan ini tidak berbeda jauh dengan sebelumnya. Ini hanya merupakan cara khas pejabat Indonesia yang mengelak dari tanggung jawab. Termasuk mengelak dari tanggung jawab atas pernyataannya yang nyeleneh.

Bagaimana bisa seorang menteri lebih memilih berpihak pada perusahaan swasta yang sedang bermasalah dengan perpajakan dan masalah hukum pelanggaran larangan monopoli bisnis ketimbang menjalankan tugasnya sebagai seorang pejabat negara (menteri)?

Kalau memang Grup 21 Cineplex itu benar-benar belum mau melunasi tunggakan pajaknya, dan belum ada perusahaan pengimpor film yang benar-benar berdiri sendiri, biarlah saja untuk sementar film-film Hollywood itu absen. Rakyat tidak abakalan jatuh miskin, atau matikalau tidak menonton film-film itu.

Tapi yang pasti adalah negara dan rakyat dirugikan karena ada wajib pajak yang tidak mau membayar pajak dengan sebenarnya, dan melakukan bisnis dengan cara curang melalui praktek monopoli.

Lebih rugi lagi kalau negara punya menteri yang tingkah-lakunya seperti ini. ***

Mohon tunggu...

Lihat Konten Lyfe Selengkapnya
Lihat Lyfe Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun