Sampai sekarang pun kantor-kantor polisi tidak melakukan upaya tersebut. Saya yakin setelah kasus ini pun, tidak. Cobalah anda mendatangi kantor polisi tertentu, kemungkinan besar di sana tidak dilakukan pemeriksaan terhadap setiap pengunjung yang datang.
Saya pernah ke kantor Polrestabes Surabaya, sama sekali tidak ada tindakan pemeriksaan apapun kepada setiap pengunjung yang masuk. Baik yang berjalan kaki, maupun dengan kendaraan bermotor (mobil). Sampai di dalam kantor-kantornya pun tidak ada pemeriksaan apapun. Cuma kalau tempo hari ada dua pintu masuk dan keluar (depan dan belakang), sekarang tinggal yang di depan. Yang di belakang sudah ditutup sejak beberapa bulan lalu.
Waktu itu saya bertanya-tanya dalam hati, kok begitu longgar, ya? Bagaimana kalau ada serangan (bom)Â teroris? Tentu mereka akan dengan mudah masuk dan melakukan aksinya di dalam kantor polisi, "musuh bebuyutan" mereka ini!
Sekarang, terbukti (lagi). Karena begitu longgarnya pengunjung bisa bebas masuk-keluar di Malporesta Cirebon, bom bunuh diri dengan mudahnya diselundupkan dan diledakkan di tengah-tengah para polisi yang sedang melakukan sholat Jumat itu.
Entah bagaimana dengan tingkat pengamanan di markas-markas polisi di level yang lebih tinggi? Apakah juga tidak ada pengamannya seperti di kantor-kantor polisi pada umumnya seperti yang saya sebutkan di atas? Masih "untung" tidak ada yang tewas kecuali pelaku bom bunuh diri itu. Kapolresta-nya pun "hanya" menderita luka-luka terkena serpihan bom.
Peristiwa bom buku/paket yang belum lama ini santer terjadi, bisa jadi sebenarnya merupakan signal-signal yang diberikan teroris sebelum melancarkan aksi teror mereka yang sesungguhnya. Saya pernah mengatakan ini di tulisan saya yang lain di Kompasiana; Bahwa bisa jadi teroris sengaja melakukan teror-teror bom buku/paket tersebut dengan bom yang kecil, dan bahkan dengan barang-barang yang sebenarnya bukan bom. Sampai secara psikologis polisi mulai merasa jenuh dan lengah, barulah mereka melakukan serangan dengan bom yang sebenarnya.
Sangat mungkin, serangan bom bunuh diri di Malporesta Cirebon ini baru merupakan awal dari sebuah serangan(-serangan) yang lebih besar skalanya, dan dengan sasarannya yang lebih fital lagi. Seumpamanya Mabes Polri, atau bahkan Presiden.
Kenapa polisi sedemikian tidak awasnya? Bahkan di markas mereka sendiri? Apakah ini bagian dari budaya bangsa ini yang selalu saja tidak pernah terbiasa atau serius melakukan langkah-langkah preventif? Nanti sudah terjadi, barulah ribut. Berbagai pihak, mulai dari polisi, pengamat, sampai dengan presiden memutar ulang lagu lama nan klise mereka, berupa pernyataan-pernyataan yang itu-itu saja. Seperti mengutuk keras, menganalisa jenis bom, ciri-ciri pelaku, dari kelompok mana yang bertanggung jawab, dan seterusnya.
Seperti lagu favorit yang diputar ulang saja setiap ada peristiwa sejenis, Presiden SBY lewat Juru Bicaranya, Julian Aldrin Pasha kepada Kompas.com mengatakan bahwa Presiden SBY mengutuk pelaku di balik ledakan bom di Masjid At-Takwa yang terletak di dalam Malporesta Cirebon yang telah menimbulkan korban jiwa tewas itu (Kompas.com, 15/4/2011).
Akibat dari hanya memutar ulang lagu yang sama itu, pernyataan kutukan Presiden SBY seperti yang disampaikan Juru Bicara Julian tersebut terkesan tidak sinkron dengan peristiwa sebenarnya. Dikatakan bahwa SBY mengutuk pelakunya. Untuk apa mengutuk lagi, kalau pelakunya sudah tewas bunuh diri? Adalah lebih tepat kalau bunyi kutukan tersebut ditujukan kepada otak di balik serangan bom bunuh diri tersebut.
Demikian juga dengan pernyataan menyesalkan telah jatuhnya korban jiwa oleh Presiden itu. Faktanya, belum ada korban jiwa (tewas) dari pihak korban (polisi). Yang tewas hanyalah pelaku bom bunuh diri itu. Apakah SBY mau menyatakan penyesalannya bahwa pelaku bom bunuh diri itu tewas?