Mohon tunggu...
Daniel H.T.
Daniel H.T. Mohon Tunggu... Wiraswasta - Wiraswasta

Bukan siapa-siapa, yang hanya menyalurkan aspirasinya. Twitter @danielht2009

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Sikap Pemerintah pada Bencana Wasior, akan Semakin Memupuk Semangat Separtisme Papua

9 Oktober 2010   16:38 Diperbarui: 26 Juni 2015   12:34 1027
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Hari kedua bencana banjir bandang yang begitu dahsyat dan mengerikan di Distrik Wasior dan Wondiwoi, Kabupaten Teluk Wondama, Papua Barat, yang terjadi pada 04 Oktober 2010, dari nun jauh di sana, pemerintah AS melalui Menlu Hillary Clinton segera menyatakan turut berduka cita, prihatin dan empatinya kepada para korban dan keluarga korban. Sampai pada hari keempat bencana (07/10),  pada waktu mengadakan rapat di kantornya, Presiden SBY sama sekali tidak menyinggung tentang bencana Wasior yang pada hari itu telah mencapai korban tewas 90 orang. Pada kesempatan itu SBY malah mengulangi curhatnya, menyatakan rasa tersinggungnya atas penyelenggaraan sidang pengadilan HAM di Den Haag, Belanda, yang antara lain menuntut penangkapan terhadap dirinya, beberapa hari lalu, yang bertepatan dengan jadwal kunjungannya ke sana, yang akhirnya dibatalkan itu. Pada kesempatan itu juga digunakan SBY untuk curhat rasa tersinggungnya atas pemberitaan pers yang isinya menyatakan bahwa dia telah menggunakan uang negara untuk pembelian pakaiannya dan penggantian mebel rumah tangga kepresidenan yang mencapai Rp 42,8 miliar. Butuh empat hari kemudian setelah bencana, atau setelah hari kelima bencana, atau dua hari setelah Hillary  (08/10),  Presiden SBY baru menyatakan hal yang serupa kepada rakyatnya sendiri yang sedang tertimpa bencana besar itu. Entah kenapamemerlukan waktu yang sedemikian lama “hanya” untuk menyatakan rasa turut berduka citanya itu, apakah karena diamenunggu korban jiwa mencapai 100 orang baru dia merasa perlu untuk menyampaikan perasaannya itu?   Entah kebetulan atau tidak setelah empat hari kemudian ketika korban dilaporkan mencapai lebih dari 100 orang barulah SBY menyampaikan perasaannya itu. Apakah itu tulus ataukah tidak? Jangan tersinggung kalau orang kemudian merasa semacam ketidaktulusan dalam pernyataan ucapan tersebut, atau sekadar basa-basi saja, karena sudah termasuk terlambat. Pernyataan duka cita, simpatik dan empati diperlukan segera datang dari seorang pimpinan bangsa ketika rakyatnya menjadi korban bencana besar seperti di Wasior itu. Untuk menunjukkan perhatiannya sekaligus menjadi semacam support para korban hidup untuk berjuang di tengah suatu bencana besar. Pada tanggal 8 Oktober itu Presiden SBY baru bikin rencana bahwa baru pada tanggal 10 Oktober (satu minggu bencana) dia akan mengunjungi langsung ke Waisor untuk menyaksikan sendiri bagaimana kondisi di sana. Kenapa harus dua hari lagi? Padahal kondisi di sana dilaporkan sangat parah laksana tsunami Aceh dalam skala cakupan wilayah yang lebih kecil. Rupanya beliau mau menonton langsung pertandingan sepakbola persahabatan antara Indonesia versus Uruguay terlebih dahulu. Ketika rakyatnya sedang menderita lahir bathin, kotanya musnah ditelan lumpur, Sang Paduka tega-teganya memilih menonton sepakbola terlebih dahulu. Dapat dibayangkan betapa sakit hatinya rakyat Papua kalau mengetahui hal ini. Dengarkan suara teriakan putus asa salah satu rakyat Papua yang dikirim via mailing list “mediacare,” Jumat, 08 Oktober 2010 berikut ini: PEMERINTAH, PEJABAT DAN PENGUSAHA...!!! Selama ini, kalian telah mengeruk priuk kami. Kalian telah merusak alam kami. Kalian telah menguras alam kami. Alam pun marah, dan, KAMI YANG MENJADI SASARANNYA.... Kemanakah kalian semua??? Jangan jadi pengecut! Sadarkah, kalian telah mengambil semuanya dari tanah papua ini. Kini, kami, saudara/i kami, orang tua kami, kaka-adik kami, teman-teman kami, om-tante kami dan sahabat-sobat kami.... KAMI SEMUA MEMBUTUHKAN BANTUAN SEGERA... KALIAN JANGAN HANYA BERKOAR, MENIKMATI HASIL KAMI SEMENTARA KAMI, "SUDAH JATUH TERTIMPA TANGGA" 'TUHAN, TOLONGLAH.....!" Pius Klobor ---- Sudah begitu, jadwal kunjungan yang sudah termasuk sangat telat itu, ternyata ditunda lagi! Tidak jadi tanggal 10 Oktober. Tapi ditunda sampai dengan tanggal 13 Oktober! Ada apa ini? Apakah “Paduka Yang Mulia” juga hendak menonton sepakbola lagi? Yakni pada tanggal 12 Oktober antara Indonesia versus Maladewa? Alasan resmi penundaan yang dikemukakan terasa sekali terlalu dibuat-buat. Seperti yang disampaikan Juru Bicara Julian Aldrin Pasha: "Ya benar, Presiden menunda mengunjungi korban bencana banjir bandang Wasior karena Presiden ingin memberi kesempatan bagi tim untuk menyelesaikan tahap awal pascabencana tersebut. Presiden tidak ingin kedatangannya justru menjadi beban bagi aparat yang sedang bekerja keras untuk menangani korban yang tertimbun ataupun yang sedang dalam pencarian serta proses evakuasi.” (Kompas.com, 09/10/2010). Kenapa dia harus merasa khawatir menjadi beban bagi tim penanggulangan bencana? Kenapa pada bencana-bencana lainnya yang pernah terjadi tidak ada alasan seperti ini? Bahkan termasuk bencana maha dahsyat Tsunami Aceh di tahun 2004 lalu? Kalau pun ini kekhawatiran yang asli, bukankah semua bisa diatur atas perintahnya untuk tim tersebut tetap bekerja seperti biasa waktu dia ke sana? Benar-benar alasan omong kosong yang tidak patut berasal dari seorang Presiden. Sungguh menyakitkan hati. Bandingkan dengan tulisan di Kompas.com 08/10/2010 ini: Ketika gempa Padang terjadi pada 30 September 2009 silam, Presiden langsung meninjau lokasi satu hari setelahnya. Bersama rombongan, SBY tiba di Padang pada 1 Oktober 2010. Saat itu, infrastruktur Padang rusak parah. Begitu pula ketika gempa mengguncang Tasikmalaya pada 2 September 2010. Presiden langsung meninjau lokasi keesokan harinya. Pada hari itu, korban tewas gempa Tasikmalaya tercatat sekitar 50 orang. Sementara itu, belasan lainnya dinyatakan menderita luka berat dan ratusan lainnya mengungsi. Infrastruktur di Tasikmalaya dan di sekitarnya juga diberitakan rusak berat. Saksikan juga bagaimana pernyataan Ketua DPR Marzuki Alie, yang bagi saya semakin lama semakin tidak pantas, dan  terkesan menjilat SBY. Marzuki Alie malah membela sikap SBY tersebut, seperti yang dikutip Kompas.com: Ketua DPR Marzuki Alie mengatakan, tak ada sesuatu yang luar biasa dengan belum adanya pernyataan resmi Presiden Susilo Bambang Yudhoyono atas bencana banjir bandang di Wasior, Papua. Menurutnya, tak semua hal diurusi oleh Presiden. "Untuk urusan dalam negeri sudah ada. Masak Presiden semua yang mengurus. Urusan bencana ada Menko Kesra, Menteri Sosial," kata Marzuki, Jumat (8/10/2010) di Gedung DPR, Jakarta. Dalam berbagai urusan negara, lanjut politisi Demokrat ini, sebaiknya sistem yang bekerja. Hingga hari ini, Presiden SBY selaku kepala negara belum memberikan pernyataan terkait bencana tersebut. Sementara pernyataan keprihatinan sudah lebih dulu disampaikan Menlu AS Hillary Clinton. "Negara harus dikerjakan dengan sistem. Kalau hanya menggantungkan pada satu orang, negara tidak berjalan. Semua sudah ada bagiannya," ujarnya. Kenapa kalau bencana alam terjadi di Jawa, dan wilayah negara lainnya, Presiden relatif cepat bereaksi, sedangkan kalau di Wasior, Papua Barat ini “tidak seharusnya diurus langsung oleh Presiden”, sebagaimana dikatakan oleh Ketua DPR ini? Maka jangan salahkan  orang Papua kalau mereka terus-menerus merasa dianaktirikan, merasakan bahwa rupanya nyawa mereka dinilai lebih murah oleh Pemerintah Pusat. Yang diingini dari mereka hanyalah kekayaan alamnya saja. Kalau sikap pemerintah terus seperti ini, sebaiknya SBY membatalkan saja kunjungannya tersebut. Karena kalau tanggal 13 Oktober, atau hari KESEPULUH bencana baru dia ke sana, kedatangannya itu sudah tidak diperlukan rakyat Papua, khususnya masyarakat Wasior. Karena sudah tidak ada efeknya, menjadi seperti kunjungan basa-basi saja. SBY juga sempat menyatakan bahwa bencana banjir bandang di Wasior itu bukan karena pembalakan liar, ataupun ilegal logging, tetapi karena curah hujan yang terlalu tinggi. "Laporan dari Pak Syamsul Muarif (Kepala BNPB), sementara tidak ada kaitannya dengan pembalakan liar, ataupun ilegal logging, yang disebut-sebut beberapa kalangan," katanya saat jumpa pers di Kantor Presiden, Jl Medan Merdeka Utara, Jakarta, Jumat,08/10/2010. Dengan pernyataan ini dia seolah-olah mau membela diri, membantah pernyataan sebelumnya dari Walhi dan Institut Hijau Indonesia yang mengatakan bahwa berdasarkan citra satelit 2005 - 2009, dapat disimpulkan bahwa bencana banjir bandang di Wasior itu diakibatkan oleh kerusakan hutan karena pembalakan, termasuk konsesi HPH yang berlebihan dan tumpang-tindih. (http://cetak.kompas.com/read/2010/10/08/04244464/.bencana.wasior.adalah.bencana.ekologis) SBY takut citra dirinya rusak sebagai, -- katanya, -- “pahlawan lingkungan hidup” yang pernah menerima penghargaan yang berkaitan dengan itu, sehingga lebih memilih percaya BNPB daripada citra satelit. Layakkah SBY lebih percaya laporan BNPB daripada laporan dari Walhi dan Instut Hijau Indonesia itu yang dalam memberi laporannya itu berdasarkan citra satelit? Sedangkan laporan BNPB kepada SBY itu berdasarkan apa? Masakan dalam beberapa hari saja bisa diambil kesimpulan demikian, tanpa jelas berdasarkan bukti apa? SBY kelihatannya juga tidak terlalu yakin dengan laporan Kepala BNBP tersebut, terbukti dengan dia mengatakan “sementara tidak ada kaitannya ...” Nah, kalau memang belum pasti, karena ada dua laporan yang bertentangan, kenapa SBY justru mengggunakan laporan dari BNBP itu? Bukankah sebaiknya dia tidak membuat pernyataan terlebih dahulu, sebelum berkunjung dan melihat sendiri langsung ke lokasi? Apabila benar bencana banjir bandang di Wasior tersebut terjadi karena pembalakan liar, perusakan hutan, karena hutannya telah dijadikan konsesi industri ekstra aktif sebagimana disampaikan Walhi, apakah SBY masih tidak malu untuk menyimpan terus penghargaan lingkungan hidup, “Avatar Home Tree Award” yang pernah diterimanya pada April 2010 lalu? Jika berkenan, baca kembali tulisan saya tentang ini : http://green.kompasiana.com/group/penghijauan/2010/06/25/sby-pahlawan-lingkungan-hidup/ Setelah hari keenam bencana (09/10) barulah Menkokesra Agung Laksono dan Mensos Salim Segaf Aljufri datang langsung ke lokasi banjir bandang di Wasior. Itu pun hanya sebentar saja. Pagi berangkat, sore kembali ke Jakarta. Alasannya untuk memberi laporan langsung kepada Presiden SBY. Sementara itu tanggal 9 Oktober ini juga 13 anggota / Ketua Komisi VIII DPR membidangi masalah sosial dan agama, termasuk membidangi masalah bencana justru merasa lebih penting meneruskan rencana “studi banding” mereka tentang Corporate Social Responsibility  ke Amerika Serikat, selama 10 hari (sampai dengan tanggal 16 Oktober) ketimbang membatalkannya dan mengalihkan perhatiannya ke Wasior. Bayangkan Komisi VIII DPR yang salah satu tugasnya membidangi bencana alam, ketika bencana alam nyata-nyata sedang berlangsung di tanah air, mereka justru tetap ngotot berangkat ke Amerika Serikat dengan alasan studi banding yang selama ini terindikasi kuat sebenarnya merupakan kamuflase dari pesiar itu. Argumen yang disampaikan pun selalu bersifat normatif, yang tak bisa diterima: "Tanpa mengesampingkan aspek bencana alam, secara prinsip (studi banding) sudah sesuai dengan tata tertib dan mekanisme," kata Wakil Ketua DPR Korbid Kesejahteraan Rakyat, Taufik Kurniawan (detikcom, Jumat,8/10/2010). Dasar muka badak, bisa-bisanya sebelumnya, Wakil Ketua Komisi VIII Chairun Nisa ikut mengkritik SBY yang telat memberi pernyataan duka citanya kepada masyarakat di Wasior itu.  "Masak bisa keduluan Hillary? Pemerintah seharusnya lebih dulu memberikan pernyataan dan menyampaikan apa saja kebijakan yang diambil untuk penanggulangan dan penanganan bencana itu. Bagaimanapun, ini bencana besar," ujar Chairun Nisa (Kompas.com, Jumat, 08/10/2010). Padahal dia sendiri? Termasuk yang berangkat studi banding ke Amerika Serikat sana meninggalkan tugas komisinya yang membidangi masalah bencana alam itu.   Demikianjuga sama saja dengan Megawati. Yang ikut-ikutan mengkritik tentang lambannya pemerintahan SBY dalam menangani bencana alam di Wasior. Padahal dia sendiri waktu menjadi presiden juga sangat lamban dalam menangani gempa bumi di Nabire, Papua,  pada Februari 2004. Sama dengan SBY, waktu itu sebagai Presiden dia terlambat bahkan tidak menyatakan duka cita dan keprihatinannya kepada masyarakat Nabire, didahului oleh Sekjen PBB Kofi Annan. Pada waktu itu pemerintahan Megawati juga dinilai sangat lamban dalam penanganan bencana alam di Nabiri itu. Silakan melihat kembali komentar saya dan diskusinya waktu itu tentang lambannya Presiden Megawati beserta jajarannya dalam menangani gempa bumi Nabire, Papua, di Februari 2004 tersebut, sbb: http://www.forums.apakabar.ws/viewtopic.php?f=1&t=14077 Dari beberapa kejadian bencana, memang ada semacam fenomena adanya perbedaan perlakuan dan reaksi pemerintah pusat terhadap terjadinya bencana alam di wilayah tertentu di Indonesia. Kalau itu terjadi di Jawa, atau wilayah Indonesia Barat lainnya, pemerintah pusat, termasuk presiden cenderung relatif lebih cepat tanggap daripada kalau itu terjadi di belahan Indonesia Timur. Terutama sekali di Papua (yang dimaksud “Papua” di sini adalah Papua secara keseluruhan, baik Privinsi Papua, maupun Papua Barat). Fenomena ini juga seolah terjadi di kalangan media massa. Timbul pertanyaan dalam hati saya: Kenapa sampai hari ini belum ada satu pun media massa pun, termasuk Kompas yang biasanya paling cepat, yang membuka dompet bantuan sosialnya untuk publik menyalurkan bantuan kemanusiaan sebagaimana lazim terjadi ketika bencana alam di negeri ini? Karena ini bukan baru satu kali terjadi, maka tidak berlebihan jika orang Papua menjadi antipati, dan sering apriori dengan pemerintah pusat dan para pendatang yang berdiam dan berusaha di sana, terutama dari Pulau Jawa.  Kumulatif dari ketidakpuasan perlakuan pemerintah pusatterhadap mereka seperti inilah yang membangkitkan semangat separtisme. Menuntut kemerdekaan.

Apabila pemerintah berani mengulangi kebodohan seperti yang pernah dilakukan Habibie dengan Timor Timur, mengadakan referandum di Papua sekarang ini, saya yakin 100%, opsi pisah dari NKRI akan menang mutlak di atas 90% ! ***

Sumber gambar ilustrasi dari Kompas.com

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun