[caption id="attachment_295981" align="aligncenter" width="638" caption="Ibu Risma tak dapat menahan rasa harunya, ketika ditanya Najwa Shihab, apakah mau berjanji untuk tidak meninggalkan rakyat Surabaya di acara Mata Najwa, Rabu, 12/02/2014 (Metro TV)"][/caption]
Bambang D.H mundur dari jabatannya sebagai wakil wali kota Surabaya pada Juni 2013, untuk ikut dalam Pilkada Jawa Timur (calon gubernur) Agustus 2013. Sejak itu jabatan wakil wali kota Surabaya lowong. Praktis Wali Kota Surabaya, Tri Rismaharini, atau biasa disapa dengan Ibu/Bu Risma memimpin sendirian Surabaya sampai dengan 24 Januari 2014. Yakni, ketika, Ketua DPC PDIP Surabaya Wisnu Sakti Buana dilantik secara kontroversial menjadi wakil wali kota Surabaya, mendampingi Ibu Risma, tanpa melibatkan Ibu Risma sama sekali.
Sejatinya dengan adanya wakil wali kota beban Ibu Risma akan menjadi lebih ringan dalam mengatasi berbagai masalah di Surabaya, tetapi faktanya kehadiran Wisnu sebagai wakil wali kota Surabaya ini justru menjadi beban dan masalah besar bagi Ibu Risma. Yang praktis juga mengganggu kinerja pemerintahan Ibu Risma di Surabaya.
Hal ini terjadi karena di dalam proses pelantikan Wisnu sebagai wakil wali kota Surabaya itu penuh dengan rekayasa dan intrik politik kotor, dan tidak adanya kecocokan karakter dan prinsip yang sangat singnifikan antara Ibu Risma dengan Wisnu Sakti Buana.
Ibu Risma memang piawai dalam mengurus Surabaya. Hal itu terbukti dengan hanya dalam tempo tiga tahun dia dan kota Surabaya yang dipimpinnya berhasil memperoleh berbagai penghargaan kelas nasional, maupun dunia, dan berhasil meningkatkan pertumbuhan ekonomi Surabaya menjadi tujuh persen (dari lima persen di masa pemerintahan sebelumnya/Bambang D.H.), dengan inflasi hanya empat persen setahun itu, padahal Surabaya adalah kota perdagangan dan jasa. Namun, dalam dunia politik, Ibu Risma tergolong “lugu,” tak heran dia kemudian menjadi “bulan-bulanan” intrik politik kotor dari para politikus oportunis, yang diduga juga manipulatif dan koruptif.
Ibu Risma sendiri meskipun menjadi wali kota Surabaya atas dukungan PDIP, dia bukan kader partai politik pimpinan Megawati Soekarnoputri itu. Itulah sebabnya Megawati pernah berkata, “Jangan tanyakan Ibu Risma di mana kartu anggota PDIP-nya, karena dia tak punya.” Sejak semula, Ibu Risma sudah berkomitmen bahwa dia bersedia didukung PDIP menjadi wali kota, dengan syarat, jika dia terpilih, tidak ada kompensasi apa pun bagi parpol tersebut. Komitmen ini dia pegah teguh sampai sekarang. Konsekuensinya dia harus menerima tekanan politik dari berbagai pihak, termasuk PDIP yang merasa kepentingan politiknya terganggu akibat kekerasan hati Ibu Risma.
*
Intrik politik tersebut diduga ada kaitannya dengan rencana pembangunan jalan tol tengah kota Surabaya yang sudah sejak Ibu Risma mulai menjabat sebagai wali kota menjadi konfrontasi hebat dengan pihak DPRD Surabaya, Pemprov Jawa Timur, dan Pemerintah Pusat.
Proyek jalan tol tengah kota beranggaran Rp. 9,2 triliun itu, yang rencananya membentang dari Bundaran Waru sampai di Tanjung Perak sepanjang 25 km itu sudah direncanakan sejak 2006. Tapi karena terkendala masalah keuangan, konsorsium proyek itu baru siap mengerjakannya pada 2010. “Sial” bagi mereka ketika proyek itu sudah bisa mulai mereka kerjakan wali kotanya sudah berganti ke Ibu Risma. Bertitik tolak dari pandangannya bahwa pembangunan jalan tol hanya menambah kemacetan kota, mengorbankan banyak warga yang rumahnya harus digusur, dan merusak estetika kota, Ibu Risma pun menolak proyek itu.
Selain itu juga diduga ada kaitannya dengan usaha untuk melengserkan Ibu Risma oleh para politikus dan pejabat daerah di lingkungan Kota Surabaya yang selama ini menjadi korban dan tidak nyaman hidupnya sebagai akibat dari gaya kepimpinan Ibu Risma yang tak mengenal kompromi, tegas, jujur, bersih, dan transparan itu.
Dugaan ini muncul karena sejak awal dari proses pemilihan dan penetapan Wisnu Sakti Buana di DPRD Kota Surabaya sudah terasa janggal. Baik berdasarkan hubungan antarpersonal Ibu Risma dengan Wisnu, maupun secara hukum (ketatanegaraaan).
Dendam Wisnu Sakti Buana (dan PDIP?)
Pada Januari 2011, suhu politik di Surabaya sempat memanas hebat. Itu dikarenakan adanya upaya DPRD Surabaya untuk melengserkan Ibu Risma yang baru empat bulan dilantik. Wisnu Sakti Buana yang Ketua DPC PDIP Surabaya itu adalah penggagas utama upaya pelengseran itu. Dia mengajak Ketua DPC Partai Demokrat, Wisnu Wardhana, untuk menggalang kekuatan di DPRD Surabaya demi tercapainya maksudnya tersebut. Dengan alasan Ibu Risma telah melanggar hukum dengan menerbitkan Perda yang menaikkan pajak reklame ukuran besar.
Upaya dua Wisnu ini untuk melengserkan Ibu Risma terus diupayakan mati-matian sampai Februari 2011, tetapi karena saking besarnya dukungan masyarakat Surabaya kepada Ibu Risma, DPP PDIP dan Demokrat akhirnya turun tangan dengan memerintahkan ketua DPC-nya masing-masing untuk menghentikan upaya pelengseran mereka itu. Wisnu pun terpaksa memendamkan upayanya itu, tetapi menyimpan dendamnya.
Wisnu punya dendam kepada Ibu Risma. Sebelum Risma menjadi wali kota, sebenarnya Wisnu adalah salah satu calon wali kota dari PDIP, tetapi akhirnya PDIP memutusakan Risma yang dicalonkan, dan menang.
Dilantik pada 28 September 2010, tiga bulan kemudian, Desember 2010, Ibu Risma berencana mengadakan mutasi besar-besaran di Pemkot Surabaya. PDIP yang diwakili Wisnu pun menggunakan kesempatan itu untuk mengajukan sejumlah nama dalam sebuah daftar yang cukup panjang kepada Ibu Risma. Nama-nama itu adalah mereka di jajaran kelurahan dan camat yang dianggap berjasa memenangkan PDIP dalam Pemilu 2009, direkomendasikan agar dipromosikan oleh Ibu Risma. Ada pula nama-nama yang dianggap merugikan PDIP direkomendasikan untuk disingkirkan. Daftar nama itu disebutkan dibuat oleh Wisnu.
Tetapi, sesuai dengan komitmennya semula, Ibu Risma tidak menganggap daftar nama yang dibuat Wisnu itu. Yang dilakukan Ibu Risma adalah berdasarkan pengamatan dan penilaiannya sendiri, dia melakukan promosi dan mutasi itu. Akibatnya banyak nama yang direkomendasi Wisnu untuk dipromosilkan, malah disingkirkan. Sebaliknya, yang direkomendasikan disingkirikan, ada yang dipromosikan.
Majalah Tempo edisi 17 Februari 2014 menulis berdasarkan sumber beritanya, sebagian nama-nama yang dibawa Wisnu untuk diprmosi Ibu Risma itu telah membayar sejumlah uang tertentu kepada Wisnu. Semakin tinggi jabatan diinginkan itu, semakin tinggi uang yang harus dibayarkan.
Kontradiksinya Karakter dan Prinsip Ibu Risma dengan Wisnu
Wisnu juga termasuk salah satu pejabat di Surabaya yang paling ngotot untuk pembangunan jalan tol tengah kota. Kepada Majalah Tempo, Wisnu, yang kelihatannya gregetan dengan sikap tanpa kompromi Ibu Risma yang tak setuju pembangunan tol tengah kota, mengatakan, jalan tol dalam kota itu sangat penting. Alasannya, Surabaya telah ditetapkan menjadi kota niaga. "Terserah, mau dibuat di bawah tanah biar tidak kelihatan atau ditinggikan setinggi langit. Yang penting, tol harus ada," katanya. "Kalau enggak, ya, ubah Surabaya dari kota niaga menjadi kota wisata saja." (Tempo, 17/02/2014).
Dengan latar belakang kontradiksi karakter dan prinsip dan, dengan misi dan visi yang saling bertolak belakang yang begitu signifikan antara Ibu Risma dengan Wisnu Sakti Buana seperti ini, sangat aneh jika DPRD Surabaya secara aklamasi memilih dan mengangkat Wisnu sebagai wakil wali kota Surabaya untuk mendampingi Ibu Risma.
Setelah dilantik sebagai wakil wali kota Surabaya, selama dua minggu, Wisnu tidak bertemu dengan Ibu Risma, tetapi begitu dia berhasil bertemu, belum apa-apa sudah menunjukkan karakternya yang sangat tidak cocok dengan dengan Ibu Risma yang dikenal tanpa kompromi itu. Begitu Ibu Risma bersedia bertemu dengannya, hal pertama yang dibicarakan Wisnu bukan sesuatu yang bersifat rekonsilidasi di antara dia dengan Ibu Risma, melainkan langsung bicara tentang proyek. Yaitu, proyek tukar guling lapangan Bogowonto di Surabaya Utara. Menurut Sekretaris Kota Surabaya Hendro Gunawan, lapangan milik TNI Angkatan Laut itu telah dilepas ke swasta. Pemilik baru ingin membangun hotel di situ. "Padahal itu jalur hijau," ujarnya. Jelas, Ibu Risma tak bersedia melayani wakilnya itu yang menghendaki jalur hijau itu diubah peruntukannya, disesuaikan dengan keinginan investor, agar di lapangan itu boleh dibangun hotel.
Mengenai dipilihnya Wisnu secara aklamasi ini juga, Tempo mempunyai catatan dari sumber rahasianya bahwa sejumlah saksi menyatakan sehari sebelum pemilihan itu (yang diadakan pada 8 November 2013), Wisnu mengumpulkan para anggota Dewan di Restoran Ria Galeria, Jalan Bangka, Surabaya. Seusai pertemuan, para anggota Dewan itu menenteng amplop coklat yang isinya, menurut saksi mata berisi masing-masing Rp. 50 juta.
Apabila sumber berita itu benar, pasti tidak semua anggota Dewan menghadiri pertemuan dan menerima uang itu, tetapi hanya mereka yang dari Fraksi PDIP, Demokrat, dan PDS. Karena mereka ini saja memilih Wisnu sebagai wakil wali kota Surabaya mengganti Bambang DH itu.
Di sinilah terdapat kejanggalan lain dari proses terpilihnya Wisnu itu.
Kejanggalan-kejanggalan Lainnya
Menurut politikus PAN, Sudirjo, sebagaimana diberitakan Majalah Tempo edisi 9 Februari 2014, gonjang-ganjing pemilihan wakil wali kota Surabaya itu bermula dari rapat Badan Musyawarah DPRD yang memajukan jadwal pemilihan menjadi 6 November 2013, hari yang sama dengan pembahasan RAPBD 2014. Padahal, dalam rapat 30 Oktober, panitia memutuskan pemilihan baru dilakukan pada 15 November. Panitia diberi informasi tentang perubahan jadwal hanya sehari sebelum pemilihan.
Sebagai bentuk protes fraksi-fraksi yang tidak setuju dengan proses pemilihan seperti itu sengaja absen dalam rapat paripurna dengan agenda pemilihan wakil wali kota Surabaya itu, 6 November 2013. Demikian juga pada keesokannya harinya. Akibatnya, agenda pemilihan tidak bisa dilakukan karena tidak memenuhi kuorum, sebagaimana ditetapkan di Tata Tertib DPRD Surabaya. Yakni, syarat sahnya rapat paripurna adalah harus dihadiri minimal ¾ dari seluruh anggota DPRD, yang jumlahnya ada 50 orang itu.
Karena tidak mencapai kuorum itu, Fraksi PDIP, Demokrat, dan PDS mengadu ke Gubernur Jawa Timur, Soekarwo. Pada 8 November 2013 sore, turunlah surat Gubernur, isinya syarat kuorum cukup 50 persen plus 1, sesuai dengan PP Nomor 49 Tahun 2008. Tata Tertib DPRD diabaikan karena lebih rendah daripada PP
Pada hari yang sama, pukul 18:10 WIB, pemilihan digelar dihadiri hanya 32 orang anggota DPRD Surabaya dari seharusnya 50 orang itu. Dan, hanya dalam tempo 10 menit Wisnu Sakti Buana terpilih secara aklamasi.
Padahal, jika kita periksa PP Nomor 49 Tahun 2008 itu, di setiap pasalnya yang mengatur tentang syarat kuorom sahnya suatu sidang paripurna DPRD adalah ¾ dari seluruh jumlah anggota DPRD. Jadi, sebetulnya, Tata Tertib DPRD Surabaya yang mengatur tentang kuorum itu sudah sesuai dengan PP Nomor 49 Tahun 2008. Justru surat Gubernur Soekarwo itu yang bertentangan dengan PP Nomor 40 Tahun 2008.
Bagaimana bisa hanya dengan sepucuk surat Gubernur bisa mengubah syarat kuaorum seperti ini. Tak heran, kalau publik pun curiga kalau pemilihan Wisnu sebagai wali kota Surabaya itu memang penuh dengan intrik dan rekayasa politik. Yang ujung-ujungnya ingin mendepak Ibu Risma, yang sudah selama tiga tahun ini menjadi ganjalan dalam melancarkan agenda politik dan bisnis mereka.
Pada 14 Januari 2014, dalam pidato pelantikan Wisnu Sakti Buana sebagai wakil wali kota Surabaya itu, Gubernur Jawa Timur, Soekarwo berkata, “Kalau orang tua bertengkar, anak-anak bisa ikut sakit.”
Perkataan ini jelas untuk menyindir Ibu Risma yang tidak hadir di acara pelantikan tersebut. Sedangkan Ibu Risma sendiri beralasan ketidakhadirannya itu karena sedang sakit. Banyak orang yang menduga sakit hanya alasan Ibu Risma untuk tidak datang. Tetapi, menurut penuturannya langsung kepada Tempo, dia benar-benar sakit ketika itu. Karena malam sebelumnya dia blusukan di kawasan-kawasan banjir di Surabaya. Hujan-hujanan di tengah malam, besoknya, dia merasa meriang.
Namun demikian, Ibu Risma merasa bersyukur dan sebagai tanda kuasa Tuhan, sampai karena dia sakit, tidak bisa menghadiri acara pelantikan Wisnu itu yang dicurigai diwarnai dengan politik uang itu. Kalau sampai dia ikut menghadiri acara itu, dan kelak terbukti ada politik uang di situ, bisa-bisa diaikut repot terseret kasus.
*
Apa pun alasan Soekarwo yang mengubah ketentuan kuorum itu tak bisa menjelaskan kejanggalan lain dalam proses pemilihan Wisnu sebagai wakil wali kota Surabaya itu, yang diabaikan sebagai dasar pertimbangan sebelum mengeluarkan suratnya yang mengubah ketentuan angka kuorum.
Kejanggalan itu adalah dalam proses pemilihan sampai dengan penetapan Wisnu sebagai wakil wali kota Surabaya itu tanpa melibatkan dan tanpa sepengetahuan Ibu Risma sebagai wali kotanya! Sangat aneh. Dapat dibayangkan pula, bagaimana rasa sakit hatinya Ibu Risma di-fait accompli seperti itu.
Padahal di dalam Peraturan Pemerintah Nomor 49 Tahun 2008 itu, itu, pada Pasal 131, angka 2c mengatur: Dalam hal terjadi kekosongan jabatan wakil kepala daerah yang berasal dari partai politik atau gabungan partai politik karena meninggal dunia, berhenti, diberhentikan, atau tidak dapat melakukan kewajibannya selama 6 (enam) bulan secara terus-menerus dalam masa jabatannya dan masa jabatannya masih tersisa 18 (delapan belas) bulan atau lebih, kepala daerah mengajukan 2 (dua) orang calon wakil kepala daerah berdasarkan usul partai politik atau gabungan partai politik yang pasangan calonnya terpilih dalam pemilihan kepala daerah.
Dari ketentuan ini jelas ada kewajiban kerjasama antara kepala daerah dengan partai politik dalam memilih calon wakil kepala daerahnya. Dengan kata lain kepala daerah yang bersangkutan wajib diikutsertakan dalam pemilihan calon pengganti wakilnya itu. Secara logika saja hal ini memang sudah seharusnya demikian. Sebagai pendampingnya selama memimpin suatu daerahnya, tentu saja kepala daerah bersangkutan harus tahu siapa wakilnya itu. Bukan hanya harus tahu, wakilnya itu harus mempunyai kecocokan visi dan misi dengan kepala daerah itu. Bagaimana mungkin suatu daerah bisa diurus dengan benar, efektif dan efesien jika tidak ada kecocokan antara kepala daerah dengan wakilnya itu.
Demikian juga hal ini tanpa kecuali berlaku untuk Kota Surabaya. Wali Kota Surabaya Trirismaharini seharusnya dilibatkan dalam memilih calon wakilnya itu. Tetapi memang misi mereka “menyelundupkan” Wisnu di Pemkot Surabaya adalah untuk mengganggu dan menekan secara politis Ibu Risma, maka semua ketentuan itu sengaja diabaikan.
Kejanggalan dan dugaan adanya manipulasi dan rekayasa dalam proses pemilihan Wisnu Sakti Buana ini kini sedang dipersoalkan parpol-parpol di luar PDIP, Demokrat, dan PDS. Mereka sudah mengirim surat kepada Menteri Dalam Negeri agar segera turun tangan mengusut kebenaran dugaan tersebut.
Semoga Bu Risma Ingat Kisah Nabi Yunus
Ibu Risma yang dengan segala ketulusannya mengurus kota Surabaya, sebagaimana tergambarkan lewat pernyataan-pernyataannya dan ekspresinya di acara Mata Najwa, Rabu, 12 Februari 2014, saat ini jelas memang sedang ditekan secara politik oleh para politikus profesional namun berhati kotor. Misi mereka jelas, membuat Ibu Risma tertekan hebat, sehingga harus memilih di antara dua pilihan: ikut arus, memenuhi keinginan-keinginan mereka, dan tetap menjadi Wali Kota Surabaya, atau mundur sebagai Wali Kota, dan menyerahkan tampuk pemerintahan kota Surabaya itu kepada “putra mahkota” mereka yang sudah “disusupkan” di Pemkot Surabaya, bernama Wisnu Sakti Buana itu.
Tentu saja, mereka sangat mengharapkan pilihan kedualah yang diambil Ibu Risma, dan Ibu Risma sendiri tampaknya sudah nyaris menyerah, dengan memberi isyarat untuk mundur. Pesta kemenangan tampak sudah mau mereka persiapkan.
Tetapi rakyat Surabaya siap pula turun untuk melawan, mendukung dan mendesak Ibu Risma untuk tetap tegar, jangan mundur. Karena sampai Ibu Risma mundur, sama dengan mengorbankan rakyat Surabaya yang dicintainya dan juga mencintainya untuk diserahkan kepada pimpinan yang kredebilitas dan integritasnya sangat diragukan.
Sangat ironis, dan konyol jika warga Surabaya rela melepaskan pimpinannya yang sudah sedemikian teruji integritasnya, diganti oleh pimpinan yang sangat diragukan integritasnya itu.
PDIP Pusat, Ibu Megawati, seharusnya bertindak cepat untuk mengatasi persoalan ini. Bilamana perlu menghentikan aksi PDIP Surabaya di bawah pimpinan Wisnu Sakti Buana itu untuk terus menekan Ibu Risma, sebagaimana pernah dilakukan pada Februari 2011 lalu. Itu kalau PDIP benar-benar memegang komitmennya untuk lebih mengutamakan kepentingan rakyatnya (dalam hal ini rakyat Surabaya), sebagaimana Ibu Risma yang telah memberi keteladanannya dalam konsistensinya berpegang teguh pada komitmennya itu.
Semoga Ibu Risma, seperti yang dikatakan sendiri, setelah istikharah, meminta petunjuk Tuhan, akan selalu diingatkan tentang kisah Nabi Yunus, yang meninggalkan umatnya, lalu dihukum Tuhan. Kalau Ibu Risma mundur, bisa jadi, di mata Tuhan, itu berarti Ibu meninggalkan rakyat, seperti yang dilakukan Nabi Yunus. Jangan sampai seperti itu, Bu Risma!
[caption id="attachment_296006" align="aligncenter" width="500" caption="Salah satu baliho konvensi calon presiden Partai Demokrat di Surabaya, yang di-pylox dengan tulisan SAVE RISMA (sumber;beritajatim.com)"][/caption]
***
Artikel relevan:
Baliho Partai Demokrat Di-pylox "Save Risma"
Ibu Risma, Kombinasi Jokowi dan Ahok
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H