Mohon tunggu...
Daniel H.T.
Daniel H.T. Mohon Tunggu... Wiraswasta - Wiraswasta

Bukan siapa-siapa, yang hanya menyalurkan aspirasinya. Twitter @danielht2009

Selanjutnya

Tutup

Politik Artikel Utama

Koalisi Tanpa Bagi-Bagi Kursi ala Jokowi, Mungkinkah Dilakukan?

5 Mei 2014   08:26 Diperbarui: 23 Juni 2015   22:52 2867
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Salah satu syarat bagi suatu partai politik (parpol) agar bisa diterima berkoalisi dengan PDIP adalah parpol yang bersangkutan harus sepakat dalamkoalisi tersebut tidak ada perjanjian bagi-bagi  kursi/kekuasaan.

Gerindra dan PKS Tidak Mungkin Bisa Berkoalisi dengan PDIP

Apakah mungkin koalisi itu bisa diwujudkan tanpa bagi-bagi kursi? Bukankah praktek bagi-bagi kursi itu sudah lama merupakan sesuatu yang lumrah? Bukankah motivasi parpol mendukung parpol tertentu dalam koalisi itu adalah memang untuk mendapat jatah kekuasaan, supaya bisa ikut menikmati nimatnya kekuasaan itu? Kalau tidak untuk bagi-bagi kursi, untuk apa koalisi? Jadi, sekali lagi, apakah mungkin koalisi tanpa bagi-bagi kursi?

Jika pertanyaan ini ditanyakan kepada Partai Gerindra, jawabannya pasti, tidak mungkin. Tidak mungkin koalisi bisa terjadi tanpa bagi-bagi kursi. Karena orientasi sesungguhnya dari partai seperti Gerindra ini adalah fokus pada bagaimana bisa mendapat kekuasaannya itu, dan menikmatinya. Oleh karena itu kompromis antarpartai pasti bukan hal terlarang, kalau memang hanya dengan cara itu bisa mendapat kekuasaan. Dengan demikian visi dan misi yang digembar-gemborkan dalam setiap kampanye bisa dinomorduakan, atau diabaikan.

Maka itu, kita tak heran dengan pernyataan Sekretaris Jenderal Partai Gerindra Ahmad Muzani, yang mengatakan bahwa koalisi antarpartai politik pasti dibangun dengan berbagi kursi dan kekuasaan. Menurutnya, akan sangat sulit jika koalisi hanya dilandaskan oleh kesamaan visi-misi tanpa ada kesepakatan-kesepakatan yang menguntungkan kedua belah pihak.

"Tentu saja ada power sharing karena itu sebuah hukum alam. ... Ya, memang tentunya koalisi harus bagi-bagi kursi, kami tidak munafik," kata Muzani dalam sebuah acara diskusi di Jakarta, Senin (28/4/2014) (Kompas.com).

Motivasi dan orientasi yang sama juga merupakan salah satu ciri khas PKS, partai yang paling suka mengemukakan nama agama untuk tujuan politiknya. Katanya, tidak gila kuasa, tidak mengejar kursi. Tetapi, bersamaan dengan itu sudah memutuskan, PKS tidak akan menjadi partai oposisi. Dengan kata lain, PKS akan senantiasa merapat ke parpol yang paling menguntungkan baginya, yang memungkinkan dia juga ikut menikmati kue kekuasaan, kecuali jika Jokowi yang menang, karena memang Jokowi/PDIP tak mungkin bisa menerima PKS sebagai mitra koalisinya disebabkan adanya perbedaan platform, ideologi, visi dan misi yang tajam (sumber di sini dan di sini).

Pada Oktober 2011, ketika terbersit isu bahwa Presiden SBY akan melakukan perombakan kabinet dengan mengurangi kursi menteri jatah PKS, karena PKS sering berseberangan dengan kebijakan Presiden SBY, padahal mereka anggota koalisi pemerintah, anggota Majelis Syuro PKS Hidayat Nur Wahid yang sebelumnya menyatakan PKS tidak gila kuasa, tidak mengejar kursi, langsung melancarkan ancamannya.

Kala itu dia berujar, "Kalau empat menteri, koalisinya lima tahun. Kalau tiga menteri, koalisinya berarti tidak harus lima tahun misalnya. Itu bagian yang akan diputuskan oleh Majelis Syuro PKS pada waktunya” (Kompas.com).

Dengan demikian, sudah pasti Partai Gerindra dan PKS tidak memenuhi syarat untuk bisa berkoalisi dengan PDIP.

Berbicara soal kemunafikan, sebenarnya Gerindra yang munafik, karena di kampanye janjinya muluk-muluk, visi dan misinya demi memperjuangkan keadilan dan kesejahteraan rakyat, tetapi ketika suara yang diperolehnya di dalam Pileg tidak memungkinkan untuk bisa mengajukan calon presidennya sendiri, maka berbagai cara pun dilakukan agar parpol lain mau berkoalisi dengan mereka. Dalam kondisi demikian kecil kemungkinan akan terjadi kesepakatan kolisi tanpa terjadi kompromi. Komprominya adalah bersatu demi mendapat kekuasaan itu, meskipun sebenarnya platform antarparpol itu berbeda, visi dan misi pun bisa dilupakan. Pemikiran ini sejalan dengan yang dianut PKS, maka itu tak heran kalau Wakil Ketua Umum Gerindra, Fadli Zon mengklaim, mereka mempunyai persamaan dengan PKS sampai mencapai 99 persen (detik.com).

Koalisi Tanpa Bagi-Bagi Kursi Sangat Mungkin Dijalankan

Jokowi sangat yakin bahwa koalisi dapat dilakukan dengan baik tanpa perlu ada bagi-bagi kursi, asalkan ada kemurnian motivasi menjalankan pemerintahan semata-mata demi kepentingan bangsa dan negara (integritas).  Bertolak dari dasar pemikiran itulah Jokowi dan PDIP menetapkan syarat koalisi dengan mereka, yaitu ada persamaan platform, dan tidak boleh ada syarat bagi-bagi kursi.. Pelopor pengajuan syarat ini adalah Jokowi. Karena koalisi konotasinya adalah bagi-bagi kursi, maka Jokowi menyebutkannya dengan “kerjasama.”

Syarat fundamental koalisi ala Jokowi itu adalah parpol yang mau bekerjasama dengan PDIP di dalam Pilpres 2014 tersebut  adalah dia harus mempunyai platform dan langkah-langkah ke depan yang sama, yaitu untuk bangsa dan negara. Tidak boleh ada poin-poin kesepakatan yang menyinggung soal bagi-bagi kursi/kekuasaan itu. Karena kalau tidak begitu, maka ke depannya pasti akan mengalami kesulitan dalam menjalankan roda pemerintahan. Untuk apa koalisi banyak partai kalau nantinya malah gaduh terus. Tidak pikir rakyat, enerji habis untuk meladeni pertentangan di dalam kabinet sendiri. Jadi harus dipisahkan antara urusan politik dan urusan bangsa.

Dasar pemikiran Jokowi itu bukan tanpa bukti. Karena dalam kelaziman koalisi berdasarkan bagi-nagi kursi itu bisa jadi justru parpol yang mendukunglah yang mempunyai bargaining power yang lebih kuat daripada partai yang didukung, dengan meminta jatah sekian banyak kursi menteri, jika tidak dipenuhi akan membatalkan dukungannya. Parpol poros koalisi yang tidak percaya diri, pasti akan khawatir, lalu terpaksa menyetujui sejumlah kursi menteri untuk parpol itu, tanpa lagi memperhatikan kualitas kader parpol yang disodorkan untuk dijadikan menteri itu. Jadilah, koalisi gemuk karena kompromis berdasarkan jatah kekuasaan, yang selalu berpotensi menimbulkan perselisihan di pemerintahan sendiri, maka pemerintahan seperti ini pastilah lemah, sebagaimana halnya terjadi di Kabinet Indonesia Bersatu-nya Presiden SBY, terutama antara SBY dengan PKS.

Dengan memahami pemikiran Jokowi, maka bisa dapat mengerti bahwa koalisi tanpa  kesepakatan untuk bagi-bagi kekuasaan adalah sesuatu yang sangat mungkin dilakukan. Mereka yang selama ini berpikiran bahwa koalisi tanpa kesepakatan bagi-bagi kekuasaan itu tidak mungkin dilaksanakan karena mereka juga mempunyai dasar pemikiran yang sama dengan Ahmad Muzadi, Sekjen Partai Gerindra, dan PKS, seperti yang disebutkan di atas.

Dasar-dasar pemikiran Jokowi tentang koalisi tanpa kesepakatan bagi-bagi kekuasaan itu bisa kita pahami dari hasil wawancara Majalah Tempo dengan Jokowi (Tempo edisi 21-27 April 2014). Fondasinya adalah kemurnian motivasi menjalankan pemerintahan yang benar-benar demi kepentingan bangsa dan negara secara konsisten dan konsekuen (integritas tanpa basa-basi). Jika ini sudah ada, maka tidak bakal adalah pemikiran untuk bagaimana caranya bisa ikut menikmati kekuasaan demi kepentingan dirinya sendiri, maupun partai, yang ujung-ujungnya bakal melahirkan pejabat yang korup.



Akhirnya, Pemikiran Jokowi Bisa Dipahami dan Diterima

Lalu, bagaimana caranya terjadi power sharing dalam koalisi ala Jokowi itu? Apakah berarti sudah pasti mitra parpol itu tidak mendapat apapun dalam kerjasama tersebut, lalu bagaimana caranya kerjasama bisa dijalankan?

Maksud Jokowi dengan tidak ada bagi-bagi kursi/kekuasaan itu adalah tidak ada itu yang namanya parpol datang menawarkan koalisi dengan mengajukan syarat dia harus mendapat jatah sekian banyak kursi menteri, ditentukan menteri-menterinya menjabat di kementerian apa saja, bahkan minta jatah calon wakil presiden (cawapres). Tidak ada yang seperti itu lagi. Tetapi, semuanya itu akan ditentukan oleh Jokowi bersama PDIP dengan menentukan kriteria-kriteria untuk bisa menjadi menteri dan cawapres pendamping Jokowi. Dari kriteria-kriteria itu akan dibicarakan bersama, siapa saja yang cocok. Keputusan akhirnya tetap di tangan Jokowi, dan harus bisa diterima parpol koalisi.

Dalam kesempatan wawancara itu, menjawab pertanyaan Tempo, secara tersirat Jokowi membenarkan dalam pembicaraan pertama antara dirinya dengan Ketua Umum PKB Muhaimin Iskandar, ada permintaan dari PKB untuk posisi cawapres. Hal inilah yang membuat pendekatan Jokowi terhadap PKB untuk kemungkinan koalisi tertunda. Karena permintaan jatah posisi cawapres itu tentu saja menyalahi syarat koalisi dari Jokowi/PDIP sebagaimana dimaksud di atas. Muhaimin Iskandar kemudian diketahui mencoba melakukan pendekatan dengan parpol lain, tapi tidak juga menemukan titik temu. Untung PKB segera sadar dan “kembali ke jalan yang benar.”

Melalui beberapa tokoh sepuhnya, pada perkembangan terakhir menunjukkan adanya indikasi yang sangat kuat bahwa PKB akhirnya akan berkoalisi dengan PDIP, dan mendukung Jokowi sebagai calon presiden, tanpa mengajukan syarat bagi-bagi kursi. Hal yang sama juga terindikasi dari beberapa tokoh Islam lainnya di luar PKB. Ini setelah dari Sabtu (03/05) sampai dengam Minggu (04/05) Jokowi sowan kepada mereka, didampingi Ketua DPP PKB Marwan Jafar, Wakil Sekretaris Jenderal (Wasekjen) Fathan Subchi, politikus Partai Nasdem Effendi Choirie atau Gus Choi, dan Wasekjen PDI Perjuangan Ahmad Basarah.

Tokoh-tokoh PKB/NU/Muhamadiyah yang ditemui Jokowi pada kesempatan itu  adalah Ketua Dewan Syuro PKB KH Abdul Aziz Manshur di Pondok Pesantren Tarbiyatunnasyi'in Pacul Gowang, Jombang, H Salahuddin Wahid (Gus Sholah), adik kandung dari Abdurrachman Wahid alias Gus Dur,  di Pondok Pesantren Tebu Ireng, mantan Ketua Umum PP Muhammadiyah Buya Syafii Maarif di Yogyakarta dan Ketua Muslimat NU Khofifah Indar Parawansa, Ketua Dewan Syuro PKB Provinsi Jawa Tengah KH Munif Zuhri di Pondok Pesantren (ponpes) Giri Kusumo, Mranggen, Demak. Selain itu, Jokowi pun ziarah ke makam para tokoh bangsa, salah satunya makam Presiden ke-4 RI KH Abdurrahman Wahid.

Bakal calon presiden Jokowi ziarah ke makam Abdurrahman Wahid (Gus Dur) di Jombang, Jawa Timur, Sabtu (3/5/2014), bersama dengan Gus Solah, adik kandung Gus Dur. (TRIBUNNEWS.COM/Wahyu Aji)

1399222194623917655
1399222194623917655
Di Ponpes Tarbiyatun Nasyi in, Pacul Gowang, Diwek, Jombang, dengan KH Abd Aziz Mansur, pengasuh ponpes yang juga Ketua Dewan Syuro PKB / Tribunnews.com/PDI Jawa Timur

Pada kesempatan pertemuan dengan para tokoh itu, setiap tokoh memberi wejangannya masing-masing kepada Jokowi yang berkaitan dengan kepimpinan seorang presiden demi kepentingan bangsa dan negara. Pada pertemuannya dengan Khofifah, Jokowi juga menunjukkannya sebagai juru bicara Jokowi dalam rangka pemenangan Pilpres.

Jokowi mengatakan, ia akan menampung semua wejangan/pendapat para ulama tersebut, kemudian menyerahkannya pada PDIP. "Banyak pesan-pesan dari kiai mengenai bangsa dan negara, juga mengenai calon wakil presiden. Itu yang kami tangkap. Ada (saran cawapres) yang kuat penegakan hukumnya. Jadi nanti kita serahkan semuanya, karena ada mekanisme partai, terakhir saya." kata Jokowi di Pondok Pesantren Giri Kusumo, Demak, Jawa Tengah, Minggu (4/5/2014) (Kompas.com).


Menurut Marwan, PKB sudah memastikan diri berkoalisi dengan PDIP, dan mendukung Jokowi sebagai presiden, hanya belum diumumkan secara resmi.

13992228371282965710
13992228371282965710
Jokowi sedang mendengar wejangan dari mantan Ketua Umum PP Muhammadiyah Buya Syafii Maarif di Yogyakarta, Minggu, 04/05/14 (Merdeka.com)

13992229471401420564
13992229471401420564
Jokowi saat bersilaturahmi dengan Ketua Dewan Syuro Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) Munif Zuhri, di Ponpes Giri Kusumo, Mranggen, Demak, Minggu, 05/05/14 (pikiran-rakyat.com)

1399223257812070603
1399223257812070603
Jokowi mendapat sambutan dari Ketua Umum PP Muslimat NU Khofifah Indar Parawansa, di kediaman Khofifah di kawasan Jemur Sari, Surabaya, Jawa Timur, Sabtu (3/5). Jokowi menunjuk Khofifah sebagai salah seorang juru bicara pemenangan pemilu, presiden sekaligus bersilahturahim dengan para Muslimat NU. (ANTARA FOTO/Widodo S. Jusuf/ed/ama/14.)

Selain PKB, dikabarkan PPP juga cenderung mendekati PDIP untuk berkoalisi dan mendukung Jokowi sebagai calon presiden, setelah membatalkan koalisi dengan Gerindra/Prabowo Subianto yang diprakarsai secara sepihak oleh Ketua Umumnya, Suryadharma Ali.

Fenomena ini menunjukkan bahwa pada akhirnya parpol-parpol tersebut bersama dengan para tokoh dan sesepuhnya bisa memahami dan menerima kriteria dan syarat-syarat koalisi yang ditetapkan oleh Jokowi/PDIP.

Maka, hanya parpol-parpol yang benar-benar mempunyai platform, dasar pemikiran, motivasi, visi dan misi yang benar-benar demi kepentingan bangsa dan negara, bukan cuma retorika-retorika, yang cocok dengan PDIP untuk berkoalisi, bersama-sama mengusung Jokowi sebagai calon presiden, dan memenangkannya.

Jokowi sudah sejak awal juga mengatakan, persyaratan koalisi tanpa bagi-bagi kekuasaan itu bukan menunjukkan dia yang terlalu percaya diri (overconfident), tetapi mengenai pemerintahan yang ideal. “Kalau hanya demi bagi-bagi kursi, tidak menyelesaikan masalah, malah menimbulkan masalah.”

Prinsip dan pendirian Jokowi ini memang menunjukkan tingkat kepercayaan diri yang tinggi, berpegang pada prinsip kebenaran dan integritas, bukan over confident. Sebab memang harus diingat bahwa sistem pemerintahan yang dianut Indonesia adalah sistem Presidensial, bukan Parlementer. Presiden dan wakil presidennya dipilih langsung oleh rakyat. Sehingga seharusnya, memang seorang presiden sepanjang dia tetap menjalankan kekuasaan pemerintahan berdasarkan Pancasila dan UUD 1945, sungguh-sungguh demi kepentingan bangsa dan negara (bukan retorika), dia tidak perlu takut dijatuhkan di tengah jalan oleh parlemen.

Ketika Tempo bertanya kepada Jokowi mengenai tudingan kepadanya sebagai calon presiden boneka (yang diucapkan oleh Prabowo Subianto), Jokowi menjawab, “Karena bingung mencari track record yang enggak baik dari seseorang, dicari-cari kesalahannya. Tujuannya untuk menurunkan kepercayaan masyarakat, untuk menurunkan elektabilitas. Cara-cara permainan politik kan seperti itu.”

Jokowi benar. ***

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun