[caption id="attachment_308965" align="aligncenter" width="514" caption="(YouTube resmi SBY)"][/caption]
Sampai di penghujung masa jabatannya sebagai Presiden RI, Soesilo Bambang Yudhoyono (SBY) masih saja menunjukkan sikapnya yang selalu penuh dengan keragu-raguan, lamban dalam bertindak, plin-plan, dan tidak konsisten antara ucapan dan tindakan.
Sebagai Ketua Umum Partai Demokrat, sikap SBY itu kelihatan lagi setelah hasil Pileg (9 April 2014) tidak memungkinkan Demokrat mengajukan capres-nya sendiri, sama dengan parpol-parpol lainnya, termasuk PDIP sebagai pemenang Pileg. Bedanya, sampai dengan terbentuknya poros koalisi PDIP dan Partai Gerindra, diikuti dengan parpol-parpol lain sudah menentukan arah koalisinya masing-masing, SBY dengan Demokrat-nya belum juga bisa mengambil keputusan itu. SBY pun bimbang dan ragu dalam kesendiriannya.
Ketidaktegasannya dan kebimbangannya itu pula yang telah membawa “korban” untuk kesebelas peserta konvensi calon presiden Partai Demokrat, yang mubazir setelah berlangsung selama lebih dari delapan bulan dengan biaya besar, berakhir tanpa membawa hasil apa-apa selain pengumuman tentang pemenangnya. Kasihan tokoh-tokoh besar yang berkualitas tinggi di sana, seperti Dahlan Iskan dan Anies Baswedan, diperlakukan seperti peserta ajang kompetisi “Indonesian Idol” saja.
Keputusan Rapimnas Demokrat Dianulir Sendiri
Tiba-tiba pada Rabu, 28 Mei 2014, melalui Wakil Sektretaris Jenderal-nya, Andi Nurpati, Partai Demokrat mengumumkan, SBY sebagai Ketua Umum Partai Demokrat akan mengadakan rapat konsolidasi akhir untuk menentukan arah dukungan Demokrat akan diberikan kepada pasangan capres yang mana, pada Minggu (1/6/2014). Pada hari tersebut, SBY akan mengundang seluruh pengurus DPP dan DPD Partai Demokrat di kediaman SBY di Cikeas, Bogor.
"Di situ akan diputuskan akan diarahkan ke capres mana 10 persen suara Demokrat ini," kata Andi di kantor KPU Pusat Jakarta (Kompas.com).
Untuk keperluan tersebut SBY mengharapkan kedatangan masing-masing pasangan untuk memaparkan visi dan misinya di hadapannya bersama dengan segenap DPP dan DPD Partai Demokrat. Setelah visi dan misi itu disampaikan barulah SBY/Demokrat akan memutuskan mereka berpihak kepada siapa.
Inilah puncak dari ketidakkonsistennya SBY dalam memimpin partainya, sekaligus ke-ge-er-an-nya ternyata masih benar-benar luar biasa.
Dalam Pileg kali ini bisa dikatakan Partai Demokrat adalah parpol “pecundang” dibandingkan dengan parpol lainnya, meskipun masih menduduki urutan keempat dengan perolehan suara 10,19 persen. Dibandingkan dengan hasil Pileg 2009, Demokrat keluar sebagai pemenang dengan 20,85 persen, tetapi kini merosot sampai separohnya.
Sudah “ditinggal” dalam kesendiriannya oleh parpol-parpol lain, tetapi, kok, sekarang masih merasa diri paling penting dan paling dibutuhkan, sampai-sampai pakai “mengundang” kedua pasangan capres-cawapres untuk menyampaikan “presentasi” mereka di hadapan SBY/Demokrat, sebagai prasyarat mendapat dukungan dari mereka.
Padahal, baru sepuluh hari berlalu, tepatnya pada Minggu, 18 Mei 2014, seusai Rapimnas Partai Demokrat, dengan sangat jelas SBY sendiri yang mengatakan bahwa berkenan pemilihan presiden tahun 2014 ini, Partai Demokrat memutuskan tidak akan berpihak atau bergabung dengan kubu capres-cawapres mana pun, baik itu kubu Jokowi, maupun Prabowo Subianto.
SBY dalam pernyataannya yang dibaca itu mengatakan, meski memilih netral, kader dan simpatisan Demokrat dipersilakan untuk memberikan suara kepada calon presiden yang memiliki platform yang segaris dengan Demokrat
Kata SBY, "Rapimnas berpendapat, lebih mulia dan terhormat bagi partai untuk mandiri dan tidak meminta-minta untuk sebuah kekuasaan... Partai Demokrat akan fokus membenahi internal partai lima tahun mendatang secara serius dan berkelanjutan. ... Hal ini untuk menuju partai yang modern, profesional, dan berdedikasi terhadap rakyat" (Kompas.com).
Ternyata, baru sepuluh hari kemudian SBY sudah berubah pikiran. Dia akan memutuskan sebaliknya dari apa yang dia sendiri umumkan mengenai hasil keputusan Rapimnas Demokrat tersebut di atas. Jadi, ternyata, keputusan Rapimnas itu tidak ada harganya. SBY, sebagai Ketua Umum Partai Demokrat tidak menghargai keputusan Partainya sendiri. Keputusan Rapimnas Demokrat pun dianulir sendiri.
Katanya, tidak akan berpihak kepada pasangan capres-cawapres mana pun juga, katanya lebih mulia dan terhormat jika mandiri, katanya akan fokus membenahi internal partai demi mendedikasikan diri kepada rakyat. Ternyata, semua itu hanya retorika murahan belaka.
Sandiwara Politik SBY
Saya curiga rapat konsolidasi akhir Partai Demokrat itu dengan agenda mendengar “presentasi” pasangan capres-cawapres tentang visi dan misi mereka itu, sebenarnya hanyalah sebuah sandiwara politik semata. Sebab sebenarnya SBY sudah memutuskan akan membawa Demokrat bergabung dengan kubu Prabowo-Hatta
Hal ini bisa dilihat dengan begitu cepatnya respon Prabowo-Hatta terhadap “undangan” SBY untuk menghadiri rapat konsolidasi akhir dengan agenda tersebut di atas. Prabowo-Hatta sudah memastikan hadir. Jadi, kemungkinan besar mereka sudah dihubungi oleh pihak Demokrat untuk keperluan tersebut. Sebaliknya dengan kubu Jokowi-JK, yang sampai saat ini menyatakan belum dihubungi oleh Demokrat. Mereka hanya tahu dari media. Diundang, atau pun tidak, kubu Jokowi-JK / PDIP telah memutuskan untuk tidak bakal hadir di acara Demokrat tersebut, karena tidak melihat adanya urgensinya, apalagi bukankah SBY sendiri telah menyatakan hasil keputusan Rapimnas Demokrat adalah bersikap netral, tidak bakal berpihak kepada pasangan capres-cawapres manapun juga? Kok, sekarang berubah 180 derajat?
Ketidakhadiran Jokowi-JK nanti, akan semakin memperkuat keputusan SBY untuk mendukung Prabowo-Hatta. Jika ini sampai benar terjadi, maka, akan semakin gemuk koalisi poros Gerindra itu, semakin banyak para politikus oportunis dan pragmatis berkumpul di sana. Semakin banyak dan semakin beraneka ragam pula kepentingan-kepentingan politik di sana, yang berpotensi besar melahirkan konflik internal.
SBY dan Demokrat adalah penganut sejati sistem ekonomi liberal, itu pula sistem ekonomi yang dijalankan di dalam 10 tahun pemerintahannya. Sedangkan Prabowo dan Gerindra sudah jelas dalam manifesto politiknya menyatakan dirinya sebagai penganut ekonomi kerakyatan. Bahkan, di manifestonya itu pula Gerindra mengecam sistem ekonomi liberal yang dianut pemerintah sekarang ini (SBY). Dapatkah air dan minyak bertemu dalam satu belanga?
SBY Ingin Rujuk dengan Megawati
Bisa jadi, agenda rapat konsolidasi akhir di hari Minggu, 1 Juni 2014 itu juga sebenarnya merupakan reaksi akhir SBY setelah berkali-kali berusaha mendekati Ketua Umum PDIP, Megawati Soekarnoputri, untuk keperluan rekonsiliasi di antara mereka, tetapi tidak kunjung disambut Megawati. Upaya SBY rujuk dengan Megawati itu terakhir kali dinyatakan oleh SBY melalui akun YouTube resmi miliknya, yang diunggah pada 25 April 2014.
Pada kesempatan itu, SBY mengatakan bahwa sejak lama dirinya ingin berkomunikasi dengan Megawati Soekarnoputri, sebagai Ketua Umum PDIP. Dia berharap, komunikasi dengan Megawati itu bisa terjadi seperti halnya komunikasinya dengan tokoh-tokoh partai politik lain.
"Saya ini ingin berkomunikasi dengan siapa pun, termasuk dengan Ibu Megawati, sepanjang komunikasi itu berlangsung dengan baik, berangkat dari niat yang baik pula, dan semuanya tentu untuk kepentingan bangsa dan negara. Terlebih ketika kita sedang memikirkan siapa pemimpin bangsa yang akan datang. Komunikasi seperti itu diperlukan," kata SBY.
Tetapi, ditunggu-tunggu, tidak ada respon dari Megawati. Rupanya, Megawati sulit untuk memaafkan SBY atas perselisihan mereka dahulu. Atau, mungkin karena Mega melihat adanya ketidaktulusan SBY dalam ajakan rujukannya itu.
“Capres Paling Berbahaya”
Kemudian di tayangan YouTube-nya yang kini diberi nama “Suara Demokrat,” diunggah pada 7 Mei 2014, lewat sebuah wawancara, SBY membuat pernyataannya bahwa dia hanya akan mendukung calon presiden yang bisa memberikan perubahan dan janji-janji yang tidak muluk. Menurut dia, visi misi dan juga janji politik sangat penting dalam mempertimbangkan pilihan terhadap calon presiden. Dia melihat, saat ini janji-janji calon presiden ada yang sangat berbahaya.
Visi dan misi calon presiden yang disebut sangat berbahaya itu adalah keinginannya untuk melakukan nasionalisasi perusahaan-perusahan asing, dan tekadnya untuk mengembalikan UUD 1945 kembali seperti sebelum diamandemenkan.
“Saya tidak akan mendukung, capres mana pun, kubu mana pun yang janji-janjinya justru membahayakan bangsa kita. Itu maksud saya concern pada platform dan janji kampanye,” tegas SBY di tayangan YouTube-nya itu..
Meskipun, tidak menyebutkan nama, semua orang tahu bahwa yang dimaksud SBY adalah capres Prabowo Subianto. Sebab hanya Prabowo yang pernah mengeluarkan dua pernyataan itu.
Tetapi, kini ternyata, SBY malah mengundang “capres yang sangat berbahaya” itu untuk diuji visi dan misinya, dengan kemungkinan untuk mendukungnya. Kelihatannya, uji visi dan misinya itu hanyalah formalitas belaka.
Maka, patut diduga bahwa pernyataan SBY tentang “capres berbahaya” itu juga sebenarnya hanyalah bagian dari sandiwara politiknya.
SBY sengaja membuat pernyataan tentang Prabowo sebagai capres berbahaya itu, dengan harapan akan mampu membuat Megawati tertarik melakukan rekonsiliasi dengannya demi memperoleh dukungan dari Demokrat. Untuk dirinya sendiri, Demokrat, mengharapkan mendapat keuntungan dari PDIP jika Jokowi menang dalam Pilpres nanti. Tetapi perhitungan dan harapan itu lagi-lagi gagal. Megawati tetap tidak meresponnya. SBY masih menunggu, .... tetapi tidak juga ada respon.
Idealisme Berumur 10 Hari
Sebenarnya, SBY memang tidak begitu senang dengan Prabowo Subianto. Oleh karena itu, meskipun gagal mengambil hati Megawati, dalam Rapimnas Demokrat pada 18 Mei itu, diputuskan Demokrat bersikap netral, tidak berpihak kepada capres mana pun, demi mendedikasikan diri kepada rakyat banyak. Tetapi, karena dasarnya tidak punya pendirian tetap dan mungkin ingin tetap merasa nikmatnya kue kekuasan, setelah “kesepian” dalam kesendiriannya karena semua parpol sudah bergabung dengan dua poros koalisi itu, SBY tidak tahan lagi. Idealismenya itu hanya bisa bertahan 10 hari. Maka, kemungkinan besar SBY akan membawa Demokrat bergabung dengan poros Prabowo-Hatta, yang akan diputuskan pada Minggu, 1 Juni 2014 itu. Apalagi, bukankah besannya sendiri menjadi cawapres? ***
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H