Florence Sihombing yang menghina warga kota Yogya di akun Path-nya benar-benar harus membayar mahal akibat perbuatan tak terpujinya itu. Bahkan terlalu mahal. Terlalu mahal, karena Polda Yogyakarta telah menetapkannya sebagai tersangka dan langsung ditahan.
Florence mengungkapkan kekesalannya akibat antri di salah satu SPBU di Yogya dengan menulis beberapa kalimatnya yang menghina warga Yogya di akun Path-nya pada 28 Agustus 2014, besoknya tanggal 29, diadilaporkan ke polisi oleh LSM yang menamakan dirinya “Jangan Khianati Suara Rakyat” (Jati Sura), besoknya lagi, tanggal 30/8, Florence langsung ditetapkan sebagai tersangka dan langsung ditahan oleh petugas kepolisian dari Direktorat Reserse Kriminal Khusus (Ditreskrimsus) Polda DI Yogyakarta. Luar biasa cepatnya reaksi polisi Yogya ini, seolah-olah Florence telah melakukan suatu tindak pidana yang sangat serius luar biasanya.
Saya setuju Florence telah melakukan suatu kesalahan dengan menulis kalimat-kalimat yang tidak pantas di akun Path-nya itu, dan layak juga dihukum, tetapi apakah dengan demikian dia patut diperlakukan sama bahkan melebihi pelaku kejahatan serius lainnya seperti pelaku kejahatan narkoba, koruptor, dan lain sejenisnya?
Sanksi sosial yang bertubi-tubi yang telah diterima di social media sudah diterimanya, berupa di-bully meramai-ramai, didemo, bahkan dari pihak UGM Yogya, yakni Komisi Etik Fakultas Hukum UGM pun sudah menetapkan akan memanggil Florence yang mahasiswi pascasarjana Ilmu Kenotariatan, pada Senin besok (1/9) untuk mempertanggungjawabkan perbuatannya itu. Di sana, kemungkinan besar Florence akan dikenakan sanksi administrasi, minimal akan mendapat peringatan keras. Rencana ini terpaksa ditunda, karena Florence kini berada di dalam tahanan polisi.
Florence juga sudah menulis permintaan maafnya di akun Path-nya kepada warga Yogya yang merasa tersinggung dengan kalimat-kalimat hinaannya itu, juga kepada almamaternya, pihak UGM. Melalui pengacaranya, Florence juga sudah menyatakan maafnya. Tetapi semua permintaan maafnya itu ditolak, karena dianggap tidak tulus. Polisi Yogya pun menahannya, untuk 20 hari ke depan, untuk keperluan pemeriksaan selanjutnya sebelumnya berkasnya di ajukan ke pengadilan.
[caption id="" align="alignnone" width="673" caption="(liputan6.com)"][/caption]
Jika memang proses hukum masih tetap mau diteruskan, sebenarnya, hal itu bisa dilakukan polisi tanpa perlu menahannya, sehingga kuliahnya pun tidak perlu sampai terganggu. Lagipula, apakah pihak pelapor, dalam hal ini LSM Jati Sura sudah cukup memenuhi syarat legalitas untuk mewakili warga Yogya yang merasa terhina dan merasa perlu melaporkan Florence ke polisi?
Bagi saya untuk kasus-kasus seperti ini, jika pun mau dijatuhi sanksi kepada pelakunya, maka yang paling pas adalah sanksi berupa hukuman kerja sosial, sesuatu yang sudah lazim diterapkan di negara-negara maju. Indonesia tidak perlu menjadi negara maju terlebih dulu untuk mengadopsikannya.
Kerja sosial itu dapat berupa melayani di panti-panti sosial, membersih fasilitas-fasilitas umum, seperti toilet umum, jalan raya, dan lain-lain, selama beberapa bulan berturut-turut.
Sanksi sosial seperti ini lebih efektif dan menjerakan, sekaligus sebagai suatu pembeljaran agar yang bersangkutan lebih peka terhadap lingkungan sosial dan masalah-masalah sosial di sekitarnya. Daripada diproses hukum, dihukum penjara, menjadikan yang bersangkutan seperti layaknya penjahat yang berbahaya bagi seluruh negeri, layaknya penjahat narkoba, koruptor, dan lain-lain sejenisnya.
Budayawan Butet Kartaredjasa yang juga orang Yogya asli menyatakan apa yang dilakukan Polda Yogyakarta dengan menahan Florence itu sudah terlalu berlebihan. Bahkan Butet juga tidak setuju kalau Florence harus diproses hukum seperti biasa, sampai di pengadilan, dan mungkin harus masuk penjara.
Di akun Face Book-nya, Butet menulis demikian: “Ini SMSku kpd KAPOLDA DIY...sbg warga yogya yang mencintai kepolisian saya pengin mengingatkan, mbok Florence Sihombing dibebaskan aja. Penahanan ini bener2 kontraproduktif dan mencoreng citra kepolisian dan kearifan warga yogya. Sangat memalukan pak. Sungguh. " (Kompas.com).
Butet juga menilai, permintaan maaf kepada seluruh warga Yogya dari Florence itu sudahlah cukup. Sanksi sosial yang diterimanya juga sudah cukup berat baginya sebagai hukuman atas perbuatannya itu.
"Saya yakin masyarakat Yogya sendiri, atau saya sebagai bagian masyarakat Yogya tidak merasa dirugikan, sakit hati atau direndahkan hanya gara-gara diomelin gitu," tegas Butet.
"Ketika dibilang tolol, bangsat, saya tidak menjadi tolol hanya dengan diomelin. Kita tidak usah panik gara-gara gitu saja," tandasnya.
Menurut Butet, justru tindakan yang sedikit-sedikit menangkap itu yang jangan dibiarkan. Sebab jika dibiarkan, nanti orang-orang yang suka mengkritik bisa ikut juga diamaankan, itu jadi tidak adil. Padahal, orang yang suka mengkritik itu karena saking sayang dan cintanya, menginginkan apa yang dikritik menjadi jauh lebih baik.
"Saya mengkritik Polisi bukan karena benci, tapi karena saya saking cinta dan sayangnya. Saya ingin Polisi menjadi baik karena itu perlu dikritik," kata Butet (Kompas.com).
Jauh lebih bijaksana, jika dalam menghadapi kasus ini, Polisi Yogya meminta Florence membuat surat pernyataan penyesalannya dan berjanji tidak akan mengulanginya lagi, lalu mendamaikan pihak pelapor dengan terlapor (Florence), minta mereka berjabat tangan. Saling memaafkan, selesai sudah kasus ini.
Kebiasaan buruk masyarakat kita, termasuk pihak yang berwenang memang adalah melakukan sesuatu yang seharusnya tidak dilakukan, dan tidak melakukan sesuatu yang seharusnya dilakukan. ***
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H