[caption id="" align="aligncenter" width="512" caption="(Rimanews.com)"][/caption]
Ketua Dewan Pembina Partai Gerindra sekaligus pendiri partai tersebut, Prabowo Subianto akhirnya mengomentari mundurnya Ahok dari Partai Gerindra pada Rabu, 10/9/2014 itu. Dia bilang, Ahok belum mendatanginya, untuk berpamitan langsung kepadanya, terkait pengunduran dirinya dari Gerindra itu. Menurutnya itu menunjukkan Ahok yang tidak tahu tata krama.
"Kalau tahu tata krama (harusnya pamit). Kalau etika antar-manusia, ada norma-norma ya," kata Prabowo di sela pertemuan dengan petinggi parpol Koalisi Merah Putih di rumah Ketua Dewan Pertimbangan Partai Golkar Akbar Tandjung, Rabu malam (10/9).
Prabowo mengatakan, sudah satu tahun terakhir ini dia tak bertemu dengan Ahok. Dia mengaku tak sakit hati dengan sikap politik Ahok yang memilih keluar dari Partai Gerindra.
Pertanyaannya, bagaimana dengan sikap Prabowo sendiri, yang sampai detik ini belum mendatangi Jokowi, dan mengucapkan selamat atas kemenangannya di Pilpres 2014 (mengakui kemenangan Jokowi)? Bukankah ini juga termasuk tidak tahu tata krama, etika antar-manusia, dan norma-norma?
Sampai detik Prabowo masih ngotot tidak sudi mengakui kekalahannya, dan mengakui kemenangan Jokowi yang sudah sah secara konstitusional, dan hanya menunggu dilantik pada 20 Oktober ini. Prabowo bahkan menunjukkan sikap ngototnya yang luar biasa, bahkan setelah kalah di MK, yang berarti secara hukum tidak ada upaya apa pun yang bisa dilakukan olehnya untuk membatalkan kemenangan Jokowi-JK.
Prabowo masih meneruskan perlawannannya kepada Jokowi dengan manuver-manuver politik yang sangat tak terpuji melalui Gerindra yang memimpin Koalisi Merah Putih. Mereka sudah berancang-ancang untuk membentuk pansus Pilpres 2014 di parlemen, dan yang sekarang yang dilakukan mereka adalah melaksanakan rencana untuk mengepung Presiden Jokowi lewat kekuatan mereka di parlemen dengan UU MD3, dan mengembalikan sistem pilkada dari langsung oleh rakyat kembali seperti di era Orde Baru, menjadi pilkada tidak langsung (oleh DPRD) melalui RUU Pilkada 2014, yang akan diputuskan pada 25 September itu.
Hiruk-pikuk politik yang melelahkan dan menjenuhkan ini sebelumnya belum pernah terjadi di pilpres mana pun. Di pilpres-pilpres sebelumnya, begitu hasilnya diumumkan, capres-cawapres yang kalah dan masyarakat umum pun menerima siapa pun pemenangnya. Yang sekarang ini, begitu ada Prabowo dan Hatta, keriuhan itu masih terus berlanjut sampai sekarang bahkan direncanakan seterusnya, untuk mengganggu pemerintahan Jokowi-JK. Ini seolah-olah meneguhkan kebenaran dari singkatan dari pasangan nama Prabowo-Hatta, yaitu “Prahara”. Prahara yang terus menjadi sumber keributan, ketertiban, dan ketenteraman yang sangat menganggu masyarakat.
Mantan Presiden B.J. Habibie, di acara “Mata Najwa”, Rabu malam kemarin, 10/9, mengatakan, orang yang sikapnya ngotot, tidak mau mengakui kekalahannya, dan mengakui kemenangan lawannya, sudah pasti tidak akan pernah pro-rakyat. Pernyataan Habibie itu spontan disambut dengan tepuk tangan meriah massa mahasiswa yang memenuhi aula Universitas Hasanuddin, Makassar itu.
Prabowo mengakui sudah setahun ini dia tak pernah bertemu dengan Ahok. Itu secara tak langsung menunjukkan bagaimana kualitas kepimpinanannya, bagaimana buruknya hubungan antara dirinya dengan para kader/petinggi parpol-nya. Juga membenarkan isu yang menyatakan gaya kepimpinan Prabowo yang “one man show” cenderung kepada gaya kepimpinannya yang bergaya otoriter, semua keputusan berada di satu tanganmya. Maka itu tidak ada kongres atau muktamar partai sebagaimana lazim di parpol lainnya.
Hal yang kurang lebih sama pernah secara tersirat disampaikan oleh petinggi Partai Gerindra Harris Indra di “Mata Najwa”, Rabu, 3/9/2014. Dia menyatakan di partainya memang bisa dikatakan tidak pernah ada rapat, DPD-DPD tidak pernah diundang untuk rapat. Karena hak prerogatif keputusan partai ada di satu tangan, yaitu di tangan Ketua Dewan Pembina.
Hal-hal seperti inilah, komunikasi yang buruk antara atasan dan bawahan partai, membuat Ahok enggan untuk berhubungan langsung dengan Prabowo.
Tetapi sebagai gantinya Ahok sudah menghubungi langsung Wakil Ketua Dewan Pembina Partai Gerindra, yang juga adalah adik kandung Prabowo, Hashim Djojohadikusmo, yang bagi Ahok lebih komunikatif, lebih enak diajak bicara.
Ahok mengatakan, dia sudah mengomunikasikan secara langsung perihal pengunduran diri tersebut dengan Hashim, dan Hashim menerima dengan baik pengunduran dirinya tersebut.
Kepada Ahok, Hashim berpesan agar ia tetap menjaga hubungan baik meskipun sudah tidak menjadi kader Gerindra.
Mengenai apakah Ahok sudah melakukan hal yang sama dengan Prabowo Subianto sebagai Ketua Dewan Pembina Partai Gerindra, Ahok mengakui dari dulu hubungannya dengan Prabowo itu tidak terlalu baik dalam hal berkomunikasi.
"Saya dari dulu enggak pernah komunikasi langsung dengan beliau. Kalau Pak Hashim sudah tahu keputusan saya, kalau Pak Prabowo tidak tahu saya," ujar Ahok.
Dibadingkan dengan Ahok, yang sudah menyampaikan pengunduran dirinya itu secara resmi sesuai dengan AD/ART Partai Gerindra, dan juga sudah berpamitan dengan Hashim Djojohadikusomo, jelas sikap Prabowo lebih tak terpuji dalam menghadapi kekalahannya di pilpres 2014.
Prabowo sampai hari ini tidak pernah mau mengakui kemenangan Jokowi itu, apalagi datang kepadanya untuk mengucapkan selamat, meskipun itu bukan merupakan suatu keharusan secara hukum, melainkan berkaiatan dengan tata krama, etika, hubungan antar-manusia, dan norma-norma dalam berpolitik.
Prabowo mengatai Ahok yang tidak berpamitan kepadanya secara langsung itu, sebagai sikap yang tidak tahu tata krama, etika, hubungan antar-manusia, dan norma-norma. Bersamaan dengan itu dia secara tak langsung mengakui hubungannya dengan Ahok yang notabene bawahannya di Gerindra itu, tidaklah bagus. Ini mengingatkan saya terhadap pernyataannya di salah satu acara debat capres-cawapres beberapa waktu yang lalu.
Ketika itu Prabowo dengan tegas mengatakan, kalau ada bawahan melakukan suatu kesalahan, maka jangan menyalahkan bawahan itu, tetapi salahkan atasannya. Karena atasannya harus bertanggung jawab atas ketidakmampuannya mendidik dan membina bawahannya itu. Nah, sekarang, bagaimana pernyataannya itu diterapkan pada kasus Ahok? ***
Artikel terkait:
Sesat Berpikir M. Taufik, Menantang Ahok Melepaskan WNI-nya
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H