Saat ini ada dua partai politik yang sedang meradang menghadapi Ahok. Yaitu PDIP dan, terutama Partai Gerindra. Dua-duanya menyangkut posisi calon wakil gubernur DKI Jakarta, yang pada 20 Oktober 2014 ini akan ditinggal Ahok, karena dia akan secara otomatis naik menjadi gubernur mengganti Jokowi yang pada tanggal yang sama akan dilantik menjadi Presiden RI.
Dua parpol itu meradang karena Ahok menolak sosok calon wakil gubernur DKI Jakarta – pendamping Ahok – yang mereka sodorkan masing-masing. PDIP hendak mencalokan kadernya yang bernama Boy Bernadi Sadikin, sedangkan Gerindra bersikeras hendak mencalonkan kadernya yang bernama Mohammad Taufik.
Dua-duanya bilang, Ahok tidak punya hak menolak calon yang disodorkan mereka itu. Argumennya didasarkan pada Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah.
"Dia tidak punya hak untuk menolak karena, berdasarkan Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintah Daerah, yang memilih itu partai," kata anggota Fraksi PDIP DPRD DKI Jakarta Jhonny Lumintang.
Sedangkan Mohammad Taufik yang nota bene adalah sosok yang dicalonkan partainya itu tanpa sungkan memberi pernyataan menyangkut polemik pencalonan dirinya sendiri. Dia bilang Ahok ngawur, Ahok tak punya wewenang untuk menolak pencalonan tersebut. Ahok tidak boleh menolak pencalonan dirinya (karena dia sangat berambisi untuk jabatan itu). Ahok disuruh baca Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tersebut.
“Jadi, suruh Ahok baca undang-undang. Ahok itu ngawur!” katanya.
Saya yakin sebelum Mohammad Taufik “menyuruh” Ahok membaca Undang-Undang itu, Ahok pasti sudah membacanya, oleh karena itu dia berani menyatakan penolakan terhadap dua calon wakilnya yang dua-duanya tidak berkenan di hatinya. Ahok pasti tidak ngawur, justru Taufik-lah yang ngawur karena sangat kebelet ingin menjadi wakil gubernur DKI Jakarta, tanpa terlebih dulu mengukur dirinya sendiri.
Mari, kita juga membaca Undang-Undang itu, khususnya ketentuan mengenai apabila terjadi kekosongan jabatan wakil kepala daerah itu:
Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004, Pasal 35 ayat (2): Apabila terjadi kekosongan jabatan wakil kepala daerah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) yang sisa masa jabatannya lebih dari 18 (delapan belas) bulan, kepala daerah mengusulkan 2 (dua) orang calon wakil kepala daerah untuk dipilih oleh Rapat Paripurna DPRD berdasarkan usul partai politik atau gabungan partai politik yang pasangan calonnya terpilih dalam pemilihan kepala daerah dan wakil kepala daerah.
Kenapa usulan tersebut harus diajukan oleh kepala daerah, tidak langsung saja oleh parpol pengusung? Karena maksud dari ketentuan itu adalah memberi kesempatan kepala daerah untuk memilih calon wakilnya yang dianggap cocok dengan dirinya (bisa bekerjasama dengannya dengan sebaik mungkin). Kalau tidak demikian maksudnya, tentu ketentuannya adalah tanpa melibatkan kepala daerah, seperti yang disebutkan oleh Jhonny Lumintang dan Mohammad Taufik itu.
Alasan ini sangat logis, karena hanya kepala daerah yang bersangkutan sendirilah yang tahu siapa calon wakilnya yang bisa cocok untuk bekerjasama dengannya memimpin daerah yang bersangkutan secara maksimal. Dan, yang tak bisa dipungkiri adalah hanya pasangan kepala daerah dan wakil kepala daerah yang serasi, saling merasa cocok satu dengan yang lain, baik secara personal, maupun secara profesional sajalah yang memungkinkan mereka bisa bersama-sama mengurus daerah tersebut dengan baik dan maksimal.
Demikian pula seharusnya yang kelak tercipta di antara Gubernur DKI Jakarta (Ahok) dengan wakilnya, sebagaimana pernah terjadi – dan masyarakat Jakarta sudah merasakan manfaatnya, ketika Jokowi-Ahok memimpin Jakarta. Keduanya meskipun berbeda karakter, cocok satu dengan yang lain, punya visi dan misi yang sama dalam membangun Jakarta: selalu setia kepada konstitusi, bukan kepada konstituen, apalagi kepada parpol; penegakan hukum secara konsisten dan konsekuen, tanpa kompromi dan toleransi; menciptakan aparat birokrat yang berintegritas tinggi, bersih, jujur, dan pekerja keras dalam pengabdiannya kepada warga Jakarta; mendorong warga Jakarta untuk terbiasa hidup dalam tingkat disiplin yang tinggi, taat hukum, dan sebagainya.
Pertanyaannya, apakah Boy Sadikin, apalagi Mohammad Taufik itu memenuhi syarat-syarat tersebut di atas? Apakah keduanya pasti bakal cocok, serasi, mempunyai visi dan misi yang sama dengan Ahok dalam memimpin Jakarta?
Seharusnya PDIP, apalagi Partai Gerindra melakukan introspeksi diri dulu sebelum menyalahkan Ahok yang telah memastikan dirinya menolak jika dua nama itu yang disodorkan kepadanya. Kenapa juga harus ngotot untuk memasang kadernya yang oleh Ahok dirasakan tidak cocok dengannya? Apakah tidak ada kader mereka yang lebih pantas?
Ahok pasti tidak sudi diperlakukan seperti Tri Rismaharini, Walikota Sirabaya,yang dilanggar wewenangnya oleh beberapa fraksi parpol, termasuk PDIP di DPRD Surabaya, untuk menentukan dua calon wakil walikota Surabaya sebagai pendampingnya sebagaimana diatur dalam Pasal 35 ayat (2) Undang-Undang tentang Pemerintahan daerah itu. Tanpa sepengetahuan Bu Risma, mereka memilih dan menentukan pengganti Bambang D.H. adalah Wisnu Sakti Buana, yang notabene adalah “musuh bebuyutan” Bu Risma, karena kerap menentang Bu Risma. Bahkan pernah menjadi sponsor untuk memakzulkan Bu Risma. Akibatnya sampai sekarang tidak ada komunikasi yang baik antara Walikota Surabaya dengan Wakil Walikotanya. Bu Risma terkesan jalan sendiri, seolah-olah Wisnua tidak pernah ada.
Boy Sadikin, apalagi Mohammad Taufik seharusnya juga mau mengintrospeksi dirinya masing-masing, apakah mereka layak dan cocok menjadi pendamping Ahok memimpin DKI Jakarta? Bagaimana dengan pandangan mereka kepada Ahok selama ini, apakah mereka sendiri merasa cocok dan bisa bekerjasama dengan Ahok, bersamaan dengan itu mereka – terutama sekali Taufik, malah pengecam dan tidak setuju Ahok menjadi Gubernur DKI Jakarta?
Tentang Boy Sadikin, sebelum ada rencana mencalonkan dirinya sebagai wakil gubernur pendamping Ahok di DKI Jakarta, Boy Sadikin sudah pernah menyatakan dirinya tidak cocok dengan Ahok. Dia bahkan secara tegas menyatakan menolak Ahok sebagai Gubernur DKI Jakarta, mengganti Jokowi. Kenapa, sekarang, setelah dicalonkan sebagai wakil gubernur DKI Jakarta, pendamping Ahok, dia diam saja? Sekarang malah, tentu, diam-diam mengharapkan bisa jadi pendamping Gubernur Basuki Tjahaja Purnama alias Ahok.
[caption id="attachment_329125" align="aligncenter" width="558" caption="Boy Sadikin (Tempo.co)"][/caption]
Mungkin saja Boy Sadikin itu sosok yang jujur, tidak korupsi, dan mau bekerja keras. Tetapi, hampir pasti dia tidak cocok dengan Ahok. Jika dipaksakan hanya akan bermunculan perselisihan-perselisihan, yang akan sangat mengganggu kinerja Pemprov DKI Jakarta.
Pada 13 Maret 2014, Boy Sadikin menegaskan bahwa secara pribadi dia tidak setuju Ahok menjadi Gubernur DKI, mengganti Jokowi, karena karakter Ahok yang menurutnya temperamental. Dia bilang kepada wartawan, tanyakan kepada warga Jakarta, apakah mereka setuju punya gubernur seperti Ahok, “Kalau saya pribadi tidak setuju, karena (Ahok itu) tempramental!” kata Boy ketika itu.
Boy mengaku dulu memang setuju, dan sangat mendukung Ahok sebagai Gubernur Jakarta apabila Jokowi terpilih sebagai Presiden. Bahkan dia juga adalah ketua tim pemenangan Jokowi-Ahok di Pilkada DKI Jakarta 2012. Namun, kata dia, sekarang dia sudah tidak suka lagi dengan Ahok, karena sifatnya yang tidak pantas, tempramental. Hal ini dikemukakan Boy saat mengetahui Ahok marah-marah kepada beberapa orang anak buahnya di Dinas Pelayanan Pajak, yang mengenakan pajak reklame kepada perusahaan-perusahaan penyumbang total 30 bus. Menurutnya hal itu wajar, karena memang ada peraturan tentang pajak reklame tersebut (Tempo.co).
Mungkin sekarang Boy menyesal telah pernah mengritik dan menyatakan ketidaksetujuan Ahok sebagai Gubernur DKI itu. Barangkali juga diam-diam dia berdoa semoga Ahok memaafkannya, demi jabatan itu.
Bagaimana dengan Mohammad Taufik yang diusung Gerindra itu? Yang ini jauh lebih parah!
Mohammad Taufik bersama partainya itu secara etika jauh lebih tak pantas mendampingi Ahok ketimbang Boy Sadikin. Kalau Boy mungkin bisa dimaafkan, setelah dia sadar akan kekeliruannya dalam menilai Ahok. Tetapi, tidak demikian halnya dengan Taufik dengan Gerindra-nya.
[caption id="attachment_329126" align="aligncenter" width="558" caption="Mohammad Taufik (Tempo.co)"]
Betapa tidak, Taufik dengan parpol-nya ini sampai kini secara terang-terangan dan tegas menempatkan posisi mereka itu sebagai “musuh besar” Ahok, pasca Ahok menyatakan dirinya keluar dari Gerindra karena masalah pilkada tidak langsung yang disponsori Gerindra.
Bagaimana mungkin, dan logikanya di mana, ketika mereka terus memaksakan diri hendak menjadi pedamping “musuh besar” mereka itu untuk bersama-sama memimpin Jakarta? Bagaimana mungkin Taufik yang beberapakali menghujat Ahok, termasuk hujatan yang bernuansa SARA, bisa menjadi wakil gubernur DKI, pendamping Gubernur Ahok? Di sinilah semakin kelihatan bahwa Taufik itu begitu gila kuasa, sehingga nekad, memaksa dirinya untuk bisa menjadi pendamping Ahok, sebagai wakil gubernur DKI, padahal nyata-nyata dia sangat tidak suka dengan Ahok. Bagaimana bisa akan ada wakil gubernur yang anti-gubernurnya, yang notabene atasannya?
Ketika, awal September 2014 lalu. Ahok keluar dari Gerindra karena tidak sejalan dengan parpol itu yang menyokong pilkada tidak langsung, Taufik menantang Ahok, berdasarkan logika versinya. Kata dia ketika itu, karena Ahok keluar dengan alasan Gerindra menyokong Pilkada tidak langsung, maka jika DPR setuju dengan pilkada tidak langsung, maka Ahok harus ganti kewarganegaraan Indonesianya (WNI-nya) (Merdeka.com). Pernyataan ini terkesan merujuk pada etnis Ahok.
Bahkan ketika FPI melakukan unjuk rasa anti-Ahok pada 3 Oktober lalu, yang dilakukan dengan cara-cara yang sangat anarkis, SARA, menyerang dan melukai belasan orang polisi, merusak sejumlah mobil (dinas DKI), serta melempari Balaikota DKI dengan batu dan kotoran hewan, Taufik bersama Gerindra-nya malah menyalahkan Ahok, dan membela FPI. Bukan hanya itu saja, terungkap pula fakta bahwa unuk rasa anti Ahok sebagai gubernur DKI jakarta itu ternyata disponsori oleh Gerindra, meskipun mereka cuci tangan mengenai anarkismenya.
Karena melakukan perusakan dan melukai polisi, beberapa anggota FPI itu ditahan polisi, termasuk pimpinan unjuk rasanya Habib Noval, yang sempat dinyatakan buron oleh Polda Metro Jaya. Tetapi, Taufik tetap saja membela FPI, dan menyalahkan Ahok.
Taufik mengatakan, aksi unjuk rasa FPI yang berujung anarkis itu terjadi karena Ahok kerap berbicara lantang. Menurut dia, Ahok-lah yang harus introspeksi diri, bukan para massa FPI yang telah melempari Balaikota DKI Jakarta dengan batu dan kotoran hewan.
"Ini akibat siapa (FPI rusuh) akarnya? Gara-gara pejabatnya, Ahok, yang ngomong sembarangan. Anarkis memang tidak dibenarkan, tetapi jangan lihat anarkisnya saja, bereskan akar penyebabnya juga, (yaitu Ahok)" kata Taufik di depan Gedung DPRD DKI Jakarta, Jumat (3/10/2014).
Taufik yang juga adalah Wakil Ketua DPRD DKI itu menilai, Ahok sebagai seorang pejabat seharusnya memiliki etika dalam berbicara. Beberapa pernyataan Ahok, katanya, telah meresahkan masyarakat. "Makanya, Ahok biasa sajalah ngomong-nya. Buat kebijakan tuh yang tidak meresahkan, kayak kemarin melarang penjualan hewan kurban," kata Taufik (Tribunnews.com).
Kenyataannya, banyak anggota FPI yang melakukan unjuk rasa anti-Ahok itu berasal dari luar DKI Jakarta, -- apa hubungannya mereka yang bukan warga DKI Jakarta melakukan unjuk rasa terhadap Wakil Gubernur DKI Jakarta? Dalam unjuk rasa itu mereka juga berkali-kali berteriak-teriak menyerang Ahok dengan SARA. Pernyataan Taufik tentang Ahok melarang penjualan kurban itu juga berbau fitnah provokasi, karena yang benar adalah Ahok tidak melarang penjualan kurban, tetapi menertibkannya, dengan tidak menjual di sembarang lokasi, di pinggir-pinggir jalan, dan sekolah-sekolah dasar (yang ini pun atas permintaan guru-gurunya, karena khawatir dengan efek psikologis anak-anak Didik mereka itu).
Sangat aneh, dengan fakta-fakta seperti itu Mohammad Taufikmasih bisa bicara soal etika,membela FPI berdasarkan etika dan menyalahkan Ahok itu? Sungguh, inilah logika yang dibolak-balik hanya karena dendam politik dan pribadi kepada Ahok.
Lebih sangat tidak rasional, bersamaan dengan itu, dia juga kebelet mau menjadi wakil gubernur mendampingi Gubernur Ahok.
Apalagi jika dilihat dari latarbelakang, rekam jejaknya. Mohammad Taufik. Pada 2004 dia pernah menjadi terpidana korupsi ketika dia menjabat Ketua KPUD DKI Jakarta dalam kasus korupsi pengadaan alat peraga Pemilu 2004 sebesar Rp. 4,2 miliar. Dia divonis 18 bulan penjara karena terbukti merugikan Negara sebesar Rp. 488 juta.
Taufik juga pernah melakukan orasi provokatif sampai beberapa kali di depan Gedung Mahkamah Konstitusi ketika sidang gugatan hasil Pilpres 2014 oleh Prabowo-Hatta sedang berlangsung. Saat itu dia memprovokasi massa agar menyerbu Gedung KPU, dan menculik Ketua KPU Husni Kamil Manik, karena menganggap Ketua KPU itu berbuat curang dalam perhitungan suara hasil Pilpres itu.
Sosok seperti inikah yang kini diandalakan oleh Partai Gerindra menjadi Orang Nomor Dua di DKI Jakarta?
Mengenai korupsi, Gerindra malah membela Taufik, dengan mengatakan itu hanyalah masa lalu Taufik yang tidak perlu dipersoalkan lagi. Ini membuktikan bahwa partai ini tidak serius dalam upaya mencegah dan memberantas tindak kejahatan korupsi yang merupakan kejahatan luar biasa. Seharusnya memang, setiap pejabat yang pernah korupsi, jangan pernah diberikan kesempatan kedua untuk menjabat lagi, apalagi pada jabatan yang jauh lebih tinggi dan strategis. Bagaimana jika “penyakit” korupsinya itu kambuh lagi ketika dana yang bisa dikorupsi berlipat-lipat jauh lebih besar daripada korupsi yang pernah dialakukan?
Partainya juga sama tidak rasionalnya. Mereka, bahkan mengakui selalu berkoordinasi dengan FPI dalam melakukan unjuk rasa, termasuk unjuk rasa anti-Ahok itu. Meskipun cuci tangan untuk anarkismenya. Padahal polisi menemukan indikasi-indikasi kuat bahwa unjuk rasa tersebut sudah didesain untuk ricuh. Bahkan mungkin juga dirancang untuk kemudian menimbulkan kerusuhan SARA di Jakarta. Indikasi-indikasi itu antara lain, massa perusuh FPI itu banyak yang berasal dari luar Jakarta, mereka bukan warga Jakarta, berteriak-teriak menyerang Ahok dengan SARA, di dalam mobil-mobilnya ditemukan sejumlah batu dan kotoran hewan, yang berarti semua itu sudah dipersiapkan sebelumnya.
Anggota DPRD DKI Jakarta dari Fraksi Gerindra, Fajar Siddiq sendiri mengakui bahwa selama ini berbagai aksi unjuk rasa yang dilakukan oleh FPI selalu berkoordinasi dengan partainya, termasuk unjuk rasa anti-Ahok di Balaikota itu. Tetapi, untuk anarkismenya itu bukan tanggung jawab partainya. Dia malah menyebutkan kambing hitamnya. Padahal sebagai coordinator, bahkan sponsor, apa pun ekses dari unjuk rasa itu mereka harus turut bertanggung jawab.
"Sekarang saya enggak tahu, ini organ mana yang beraksi, saya bingung kenapa," katanya di DPRD DKI Jakarta, Jumat (3/10/2014).
"Saya curiga, ini aksi bukan katup kekecewaan (FPI) terhadap Ahok," lanjut Fajar.
Ia menduga ada provokator yang sengaja agar aksi unjuk rasa berlangsung rusuh. Tujuannya, yakni menyudutkan umat Islam. Selama ini, ia menambahkan, jika berkoordinasi dengan Gerindra, aksi unjuk rasa tidak berlangsung rusuh (Kompas.com).
Faktanya, seperti yang saya sebutkan, polisi menemukan indikasi-indikasi yang sebaliknya.
*
Dari ulasan dan fakta-fakta tersebut di atas, maka sesungguhnya yang harus tahu diri, introspeksi diri, itu bukan Ahok, tetapi Boy Sadikin dan Mohammad Taufik, termasuk parpol pendukung mereka masing-masing. Kenapa harus terus ngotot mencalonkan diri sebagai pendamping Ahok memimpin DKI Jakarta, kalau dua orang ini – terutama sekali Mohammad Taufik, jelas-jelas malah orang yang anti-Ahok, bahkan menjadikan Ahok sebagai musuhnya (pada Taufik dan Gerindra)?
Dari kasus ini kita patut menjadi semakin khawatir jika pilkada melalui DPRD benar-benar sudah pasti diberlakukan, karena kelak parpol-parpol itu punya wewenang penuh untuk menentukan siapa yang menjadi kepala daerah dan wakil kepala daerah. Pada kasus di Pemprov DKI Jakarta itu, maka pasti yang dipilih mereka itu adalah orang-orang seperti Mohammad Taufik sebagai Gubernur DKI Jakarta ketimbang orang-orang seperti Ahok atau Jokowi. ***
Artikel terkait:
Sesat Berpikir M Taufik Menantang Ahok Melepaskan WNI-nya
Boy Sadikin Tak Cocok dengan Ahok
Daripada Ribut dan Ribet, Serahkan Pencalonan Wakil Gubernur DKI kepada Ahok
Jika Pilkada oleh DPRD, Seperti Apa Karakter Gubernur DKI Jakarta Kelak?
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H