Mohon tunggu...
Daniel H.T.
Daniel H.T. Mohon Tunggu... Wiraswasta - Wiraswasta

Bukan siapa-siapa, yang hanya menyalurkan aspirasinya. Twitter @danielht2009

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

Strategi Jokowi dalam Kasus Budi Gunawan

17 Januari 2015   17:43 Diperbarui: 17 Juni 2015   12:57 2059
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

(sumber: Koran Kompas, Sabtu, 17/01/2015)

Presiden Jokowi memutuskan mengambil jarak dengan KPK, dan para politisi pendukung Presiden Jokowi mendadak bersikap bermusuhan dengan KPK!

Gara-garanya adalah karena KPK menetapkan Komisaris Jenderal Pol Budi Gunawan sebagai tersangka kasus korupsi pada 12 Januari 2015, --  diumumkan pada 13 Januari 2015. Padahal dia baru saja (9 Januari 2015) dipilih oleh Jokowi sebagai calon tunggal Kapolri, berdasarkan rekomendasi dari Komisi Kepolisian Nasional (Kompolnas).

Para politisi pendukung Jokowi dalam memilih Budi Gunawan sebagai calon tunggal Kapolri itu pun uring-uringan dengan menuding KPK telah menjalankan misi politik tertentu untuk menjegal Budi Gunawan, lalu bersatu di DPR, dan melalui uji kepatutan dan kelayakan terhadap Budi, bersikeras untuk tetap meloloskannya sebagai Kapolri. Lewat rapat paripurna, Kamis, 15 Januari 2015, DPR pun secara aklamasi menyetujui Budi Gunawan sebagai Kapolri. DPR bersikap seolah-olah ketetapan Budi sebagai tersangka oleh KPK itu tak pernah ada, penetapan KPK itu dianggap angin lalu, ataukah memang sengaja menantang KPK? Maklum banyak musuh KPK di DPR. Bahkan salah satu wakil ketuanya sudah lama punya cita-cita untuk membubarkan KPK.

Menuding KPK

KPK dituding punya agenda politik tertentu untuk menjegal Budi Gunawan, terbukti dengan begitu terburu-buru dan tiba-tibanya KPK menetapkan Budi sebagai tersangka. Kenapa juga baru sekarang, setelah Jokowi menetapkan Budi sebagai calon tunggal Kapolri, KPK tiba-tiba menetapkannya sebagai tersangka?! Begitu pertanyaan menggugat KPK yang dilontarkan kubu Jokowi.

Padahal jika kita mengikuti kronologis penyelidikan dan penyidikan KPK terhadap Budi Gunawan, termasuk saat Jokowi melibatkan KPK dan PPATK dalam menentukan calon para menterinya. Penetapan Budi Gunawan sebagai tersangka itu sama sekali bukan tiba-tiba. Bahkan jauh-jauh hari sebelumnya KPK sudah mengwanti-wanti Jokowi bahwa Budi Gunawan adalah sosok pejabat tinggi negara yang angat kuat terindikasi masalah hukum (korupsi).

Sebaliknya, justru Presiden Jokowi-lah yang terkesan kuat melakukan keputuisan yang terlalu cepat ketika memutuskan Budi Gunawan sebagai calon tunggal Kapolri, padahal jabatan itu seharusnya baru kosong pada Oktober 2015 mendatang, setelah masa jabatan Kapolri yang sekarang, Jenderal Sutarman berakhir.

Simak kronologis ini (sumber Harian Kompas, 14/01/2015, dan data-data sesudahnya):

Tanggal 7 Januari 2015: Sekretaris Kabinet Andi Widjajanto mengatakan belum ada kebutuhan mendesak untuk menggantikan Kapolri Jenderal (Pol) Sutarman.  Tetapi faktanya:

9 Januari: Kompolnas menyerahkan lima nama calon Kapolri. Pada hari yang sama, Presiden Jokowi mengirimkan nama Komjen Budi Gunawan sebagai calon tunggal Kapolri kepada DPR.

10 Januari: Ketua KPK Abraham Samad mengatakan, Jokowi tak melibatkan KPK untuk melakukan penelusuran rekam jejak saat memilih Komjen Budi Gunawan. Plt Sekjen PDI-P Hasto Kristiyanto mengatakan, PDI-P ikut mengajukan nama Budi Gunawan kepada Jokowi saat menyeleksi calon kapolri.

11 Januari: Komjen Budi Gunawan mengatakan, hasil pemeriksaan Polri menyatakan dirinya bersih dan tidak ada rekening yang mencurigakan.

12 Januari: Surat Presiden soal nama calon Kapolri dibacakan di rapat Paripurna DPR.

Pukul 14:00: KPK menetapkan Komjen Budi Gunawan sebagai tersangka karena dugaan transaksi tidak wajar. Pukul 15:00: Komisi III DPR mendatangi rumah Komjen Budi Gunawan sebagai tahapan sebelum uji kelayakan dan kepatutan. Pukul 17:00 Ketua Komisi III Aziz Syamsuddin mengatakan, uji kelayakan dan kepatutan calon Kapolri akan dilakukan Rabu, 14 Januari 2015.

13 Januari: Presiden Jokowi menyatakan menunggu hasil keputusan DPR terhadap Komjen Budi Gunawan, sebelum menetapkan sikapnya sendiri.

14 Januari: Komisi III menyatakan Komjen Budi Gunawan layak dan patut sebagai Kapolri yang baru, menggantikan Jenderal Sutarman.

15 Januari: Rapat paripurna DPR memutuskan menyetujui Komjen Budi Gunawan sebagai Kapolri yang baru, untuk segera dilantik Presiden Jokowi.

16 Januari: Presiden Jokowi menyatakan menunda, bukan membatalkan pelantikan Komjen Budi Gunawan sebagai Kapolri yang sesuai dengan hasil rapat paripurna DPR.

Dari fakta tersebut di atas, betapa anehnya sikap Presiden Jokowi, betapa tidak ketika KPK sudah menetapkan Budi Gunawan sebagai tersangka korupsi, dia masih bisa menerima hasil uji kelayakan dan kepatutan DPR, yang menyatakan Budi Gunawan layak dan patut sebagai Kapolri. Bagaimana bisa seorang tersangka korupsi masih bisa diputuskan layak dan patut menjadi Kapolri?

Keputusan KPK tentang status tersangka Budi Gunawan itu jelas-jelas adalah merupakan suatu hasil penyelidikan dan penyidikan di bidang hukum, sesuai dengan kewenangannya sebagai penyidik khusus kasus korupsi. Sedangkan keputusan DPR jelas-jelas adalah keputusan politik. Bagaimana bisa keputusan politik bertentangan dengan hukum, bahkan “menganulir” hukum?

Terkesan Presiden Jokowi lebih percaya dan berpihak kepada DPR, ketimbang KPK!

Publik mulai khawatir: Jokowi mulai berubah?

14214653411678758419
14214653411678758419
(sumber: Koran Jawa Pos)

Nawa Cita

Apakah Presiden Jokowi tetap akan melantik Budi Gunawan sebagai Kapolri, dengani mengabaikan KPK, ataukah membatalkan pelantikan itu, dengan memilih calon yang lain/baru?

Di momen inilah nama baik Jokowi benar-benar dipertaruhkan, apakah dia sungguh-sungguh antikorupsi ataukah tidak. Karena berdasarkan reputasi KPK selama ini, tidak pernah KPK keliru dalam menetapkan seseorang sebagai tersangka. Di persidangan kemudian, selalu terbukti KPK yang benar. Sang tersangka ditahan, lalu menjadi terdakwa, lalu sang terdakwa berubah statusnya menjadi narapidana korupsi, mendekam di balik jeruji besi. Tidak terkecuali untuk kasus Budi Gunawan ini.

Sungguh merupakan suatu kesalahan yang sangat fatal jika Jokowi tetap bersikeras untuk melantik Budi Gunawan sebagai Kapolri. Jika itu dialakukan, noda besar pertama akan melekat padanya untuk selamanya sebagai presiden yang tidak pro-antikorupsi, sekaligus membuktikan ketidakkonsistensinya dengan kampanye pilpres tempo hari yang menyatakan komitmennya untuk tidak kompromi dengan segala macam tindakan korupsi, serta berjanji tidak akan pernah mengangkat pejabat mana pun yang terindikasi korupsi.

Kita masih ingat dengan janji-janji kampanye Jokowi-JK di masa Pilpres tempo hari, di antaranya adalah adanya delapan agenda antikorupsi yang akan dijalankan berdasarkan rekomendasi dari KPK, yaitu: reformasi birokrasi dan perbaikan administrasi kependudukan;  pengelolaan sumber daya alam dan penerimaan negara; ketahanan dan kedaulatan pangan;  perbaikan infrastruktur; penguatan aparat penegak hukum; dukungan pendidikan dan nilai keteladanan; perbaikan lembaga partai politik; serta peningkatan kesejahteraan sosial .

Saat kampanye Jokowi-JK juga mempunyai sembilan agenda prioritas jika terpilih sebagai presiden dan wakil presiden. Sembilan program itu disebut Nawa Cita. Program ini digagas untuk menunjukkan prioritas jalan perubahan menuju Indonesia yang berdaulat secara politik, serta mandiri dalam bidang ekonomi dan berkepribadian dalam kebudayaan. Nawa Cita secara resmi juga tercatat di situs resmi KPU, pada poin 2 dan 4-nya terdapat program yang berkaitan dengan menjalankan pemerintahan dengan pejabat-pejabat negara yang terpercaya dan bersih dari indikasi korupsi:

2. Membuat pemerintah tidak absen dengan membangun tata kelola pemerintahan yang bersih, efektif, demokratis, dan terpercaya, dengan memberikan prioritas pada upaya memulihkan kepercayaan publik pada institusi-institusi demokrasi dengan melanjutkan konsolidasi demokrasi melalui reformasi sistem kepartaian, pemilu, dan lembaga perwakilan.

4. Menolak negara lemah dengan melakukan reformasi sistem dan penegakan hukum yang bebas korupsi, bermartabat, dan terpercaya.

Sekarang belum 100 hari menjadi presiden, Jokowi seolah-olah sudah melupakan janjinya yang berkaitan dengan pejabat negara yang beritegritas tinggi, terutama di bidang penegakan hukum (dalam hal ini Kapolri) yang harus benar-benar terpercaya dan bersih dari masalah hukum. Jokowi mulai mengkhianati komitmennya sendiri.

Noktah Hitam Jokowi

Sikap Jokowi yang tidak menunda pencalonan Budi Gunawan sebagai Kapolri setelah penetapan dia sebagai tersangka oleh KPK dengan menarik kembali surat pencalonan Budi itu di DPR saja sebenarnya sudah merupakan suatu noktah hitam di masa pemerintahannya yang baru berlangsung tiga bulan itu.

Sejak awal alasan yang dikemukakan Jokowi dan kubunya dalam menetapkan Budi Gunawan sebagai calon Kapolri itu adalah itu merupakan hak prerogatif presiden, sudah sesuai dengan prosedur, dan berpegang teguh pada asas praduga tak bersalah.

Asas praduga tak bersalah diajukan untuk mempertahankan argumentasi mereka kenapa Budi Gunawan tetap dijadikan calon tunggal Kapolri, padahal dia disebut-sebut sebagai salah satu perwira Polri pemilik rekening gendut, mempunyai transaksi keuangan yang mencurigakan menurut laporan PPATK, dan mendapat rapor merah dari KPK.

Padahal dengan mengajukan argumen asas praduga tak bersalah pada kasus Budi Gunawan ini sekaligus itu menunjukkan ketidakkonsitensi Jokowi.Karena jika memang dia konsisten dengan berpegang kepada asas tersebut sejak awal, bukankah seharusnya sewaktu hendak melakukan seleksi calon-calon menterinya dia juga tidak perlu melibatkan KPK dan PPATK? Karena, bukankah ada asas praduga tak bersalah untuk calon-calon menteri itu? Kenapa terhadap seleksi calon menteri, KPK dan PPATK dilibatkan, tetapi tidak untuk calon Kapolri ini?

Terhadap pertanyaan seperti ini, Sekretaris Kabinet Andi Widjajanto sempat menangkisnya dengan balik bertanya, "Sebelumnya Presiden memilih KSAL dan KSAU juga tanpa KPK dan PPATK, kenapa tidak ada yang bersuara? Ini murni hak prerogatif presiden dalam menentukan mana yang perlu pakai lembaga lain, mana yang tidak, karena pada dasarnya tidak ada kewajiban melibatkan KPK karena dalam undang-undang hanya menyebutkan Kompolnas, (Kompas.com).

Andi Widjajanto rupanya lupa bahwa ada perbedaan signifikan antara calon KSAL dan calon KSAU dengan Budi Gunawan sebagai calon tunggal Kapolri, yaitu bahwa terhadap calon KSAL dan KSAD itu tidak terdengar ada indikasi negatif tentang rekam jejak mereka, termasuk mengenai indikasi tersangkut rekening gendut, atau semacamnya. Sedangkan terhadap Budi Gunawan sudah sejak 2008 dan 2010 disebut-sebut sebagai salah satu perwira Polri pemilik rekening gendut, dilaporkan oleh PPATK mempunyai transaksi dan rekening mencurigakan, dan dia juga sudah mendapat “rapor merah” dari KPK.

Bukankah ketika hendak memilih anggota kabinetnya, saat Jokowi melibatkan KPK dan PPATK, ada beberapa orang calon yang diberi catatan “rapor merah” oleh KPK. Kepada Jokowi, KPK sudah ingatkan bahwa jangan sekali-kali memilih mereka yang punya rapor merah, karena sudah pasti mereka cepat atau lambat akan ditetapkan sebagai tersangka. Salah satu dari nama yang diberi catatan merah itu adalah Budi Gunawan.

Saat itu Budi hendak diberi jabatan Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi (Majalah Tempo, 18 Januari 2015), tetapi karena rapor merah itulah, Jokowi tidak jadi memilihnya. Lalu, kenapa sekarang, malah mau dipilih sebagai orang nomor satu di lembaga penegak hukum yang tugasnya antara lain juga memberantas korupsi?

Apabila Jokowi terus melanjutkan blundernya ini, noktah hitam itu akan semakin melebar menghitamkan reputasi putihnya yang sudah terjaga selama ini.

14214649231466369599
14214649231466369599
(sumber: Koran Jawa Pos)

Kapolri Terdakwa Korupsi?

Rakyat tidak bodoh, jadi jangan berdalih terus menggunakan argumen hak prerogatif presiden, dan sudah sesuai dengan prosedur. Hak prerogatif itu memang hak presiden tetapi harus dipergunakan dengan penuh tanggung jawab.

Sanggahan Andi itu juga memberi kesan bahwa seolah-olah sebagai presiden Jokowi boleh-boleh saja tergantung maunya untuk melibatkan KPK dan PPATK, ataukah tidak. Terserah apa maunya Presiden.  Padahal meskipun tidak ada aturan hukumnya, substansi melibatkan kedua lembaga tersebut dalam melakukan seleksi calon pimpinan dengan jabatan strategis seperti menteri-menteri, dan Kapolri ini adalah benar-benar demi memperoleh pejabat tinggi negara yang benar-benar bersih dan berintegritas tinggi, demi tercapainya apa yang merupakan program pemerintahnya sendiri yang termaktub di Nawa Cita tersebut di atas.

Apalagi ini adalah Kapolri! Masa Kapolri berstatus tersangka korupsi? Yang pasti juga akan ditahan, kemudian pasti juga meningkat statusnya menjadi terdakwa, serta seperti kata Ketua KPK Abraham Samad, KPK yakin Budi Gunawan akan terbukti di pengadilan bersalah, dan masuk penjara.

"Di dalam undang-undang KPK, tidak kenal SP3, jadi yakinlah kasus BG pasti akan disidangkan," ujar Abraham di Gedung KPK, Jakarta, Kamis (15/1/2015).

"Tidak ada tradisi, seseorang yang jadi tersangka tidak ditahan. Tapi kapan? Itu masalah SOP (standard operational procedure) dan prosedur hukumnya," kata Abraham (Kompas.com).

SBY ketika menjadi Presiden, langsung mendesak tiga orang menterinya yang ditetapkan sebagai tersangka oleh KPK untuk mengundurkan diri, yakni Andi Mallarangeng (Menteri Pemuda dan Olah Raga), Suryadharma Ali (Menteri Agama), dan Jero Wacik (Menteri ESDM).

Beberapa orang yang terpilih sebagai anggota DPR 2014-2019 juga batal dilantik setelah mereka ditetapkan sebagai tersangka oleh KPK.

Tetapi, sekarang, Presiden Jokowi yang selama ini dikenal berintregitas tinggi, sangat antikorupsi, sepertinya masih ingin melantik Budi Gunawan sebagai Kapolri meskipun dia sudah ditetapkan sebagai tersangka korupsi oleh KPK?

Jangan-jangan sekarang saja, jika mau, KPK sudah bisa menahan Budi Gunawan, tetapi mereka masih menunggu apa yang akan dilakukan Presdien Jokowi terhadap calon tunggal Kapolri-nya itu, apa dia tetap bersikeras akan melantik Budi Gunawan sebagai Kapolri?

Bayangkan saja, jika Jokowi tetap melantik Budi Gunawan sebagai Kapolri, besoknya, atau bahkan begitu selesai acara pelantikan itu, saat keluar dari Istana Negara, dia sudah ditunggu KPK, lalu menahannya! Pasti akan timbul kehebohan dan keguncangan yang luar biasa!

Bukankah justru Jokowi sendiri yang menjadi presiden pelopor yang pertama kali melibatkan KPK dan PPATK untuk menyeleksi para anggota kabinetnya? Kenapa kok untuk Kapolri, ini diabaikan, meskipun berbagai pihak, termasuk KPK dan PPATK sudah mewanti-wanti Jokowi untuk itu? Minimal, Jokowi sudah diingatkan KPK agar jangan memilih Budi Gunawan, karena dia adalah salah satu nama pejabat tinggi negara yang sudah diberi catatan merah oleh KPK. Biasanya, Jokowi sangat memperhatikan rekomendasi-rekomendasi antikorupsi dari KPK, tetapi kali ini dijadikan pengecualian oleh Jokowi.

Sebelumnya, untuk jabatan Jaksa Agung, Jokowi juga tidak mau lagi melibatkan KPK dan PPATK, tetapi itu tidak terlalu dipersoalkan publik, sebab calonnya ketika itu, yang kini sudah menjadi Jaksa Agung, Muhammad Prasetyo,  tidak mempunyai rapor merah seperti Budi Gunawan. Waktu itu yang dipersoalkan hanyalah usia Prasetyo yang dianggap sudah terlalu tua.

Jokowi Lebih Percaya Bareskrim Polri daripada KPK?

Selain alasan hak prerogatif presiden dan prosedural, salah satu alasan utama lain yang dikemukakan Jokowi, para bawahan, dan politikus pendukungnya, mempertahankan Budi Gunawan sebagai calon tunggal Kapolri adalah bahwa menurut rekomendasi Kompolnas, yang didasarkan pada hasil investigasi internal Mabes Polri, yaitu Bareskrim Polri bahwa  rekam jejak Budi Gunawan bersih, bebas dari dugaan korupsi.

Berarti, kini, Presiden Jokowi itu lebih percaya hasil investigasi Bareskrim Polri itu daripada hasil penyelidikan dan penyidikan KPK?

Padahal pengalaman telah membuktikan dalam kasus korupsi mantan Kepala Korps Lalu Lintas Polri Inspektur Jenderal Djoko Susilo, antara hasil investigasi Bareskrim Polri dengan KPK, KPK-lah yang benar. Djoko Susilo telah terbukti telah melakukan tindakan korupsi dalam proyek alat simulator SIM dan tindak pidana pencucian uang. Sebelum KPK, Bareskrim sudah merilis hasil investigasinya bahwa Djoko Susilo bersih. Mirip dengan sekarang, dalam kasus Budi Gunawan. Kini, setelah pada 4 Juni 2014 MA menolak permohonan kasasinya, serta memperkuat putusan banding Pengadilan Tinggi, Djoko Susilo harus menjalani hukuman penjaranya selama 18 tahun.

Dalam kasus  rekening gendut yang dimiliki 21 perwira Polri, Bareskrim juga sudah merilis hasil investigasinya. Hasilnya semua rekening itu, termasuk milik Budi Gunawan itu, bersih, wajar. Yang tidak wajar adalah investigasi tersebut dilakukan secara internal dan sifatnya lebih mendengar klarifikasi para perwira itu, dan anehnya sifatnya rahasia.

Surat yang berisi keterangan bahwa dia tak terindikasi melakukan korupsi itu baru terungkap ke publik setelah surat itu digunakan Budi untuk memnunjukkan bukti dirinya bersih.

Memang aneh, kasus dugaan korupsi, kok bisa diselidik dengan cara internal dan tertutup? Maka, tidak aneh pula kalau hasilnya pun aneh. Kesimpulan hasil penyelidikan Polri menyatakan tidak ditemukan pelanggaran hukum, apalagi tindak pidana korupsi berkaitan dengan rekening-rekening gendut yang per rekening mencapai puluhan miliar rupiah itu. Ketika Polri didesak untuk mengumumkan secara terbuka rekening-rekening gendut tersebut, Polri tidak meresponnya.  “Mana ada jeruk makan jeruk?”

Seandainya, tidak ada KPK, sejarah dan nasib kasus dugaan korupsi di Korlantas Polri hampir dapat dipastikan akan sama dengan kasus “rekening gendut.” Diperiksa secara internal. Hasilnya, tidak ditemukan bukti ada korupsi di sana. Indikasinya ada, dan sangat kuat. Yakni, hak jawab dari Mabes Polri di Majalah Tempo, edisi 30 April – 05 Mei 2012, yang menjelaskan bahwa Polri sudah melakukan investigasi intensif, hasilnya, tidak terbukti ada korupsi di proyek pengadaan simulator mengemudi tersebut.

Surat jawaban yang ditulis oleh Kadiv Humas Mabes Polri saat itu, Irjen Pol. Saud Usman Nasution, yang juga termasuk dari lima nama calon Kapolri yang direkomendasikan Kompolnas kepada Presiden Jokowi. Di dalam surat itu antara lain disebutkan bahwa Tim Irwil V pada Inspektorat Pengawasan Umum Mabes Polri telah mengadakan audit investigasi. Hasilnya, tidak ada korupsi.  “Tidak ada bukti telah terjadi tindak pidana korupsi di Korps Lalu Lintas Polri sebesar Rp 196 miliar terkait dengan pengadaan driving simulator roda dua dan empat …,” demikian Mabes Polri mengawali hak jawabnya yang dimuat Tempo itu.

Polri sangat terkejut dan panik, ketika KPK muncul dengan hasil penyidikan yang sebaliknya. Ada korupsi kelas paus di Korlantas Polri. Bahkan dua jenderal aktif-nya diduga terlibat, dan sudah ditetapkan sebagai tersangka oleh KPK.

Fenomena itu kini terjadi lagi pada kasus Budi Gunawan. Kabareskrim Polri sudah menyatakan Budi Gunawan (bersama 20 perwira Polri lainnya pemilik rekening gendut), tetapi KPK mempunyai hasil sebaliknya, dan apakah Presiden Jokowi lebih cenderung percaya kepada Kabreskrim Polri?

Surat Bersih Diri Budi Gunawan Meragukan

Laporan Utama Majalah Tempo (12-18 Januari 2015), sebelum KPK menetapkan Budi Gunawan sebagai tersangka, juga membeberkan bahwa surat pernyataan bersih Budi Gunawan yang diterbitkan oleh Bareskrim Polri diduga kuat merupakan rekayasa hasil lobi-lobi intensif Budi Gunawan terhadap kolega-koleganya di Bareskrim Polri. Dan, menjelang penentuan calon Kapolri, menurut Tempo, Budi sangat gencar melakukan berbagai lobi ke berbagai pihak, terutama kepada para koleganya, dan para anggota DPR.

Surat “Bersih Diri” Budi Gunawan itu ditandatangani oleh Direktur Tindak Pidana Ekonomi Khusus Komisaris Besar Arief Sulistyanto – kini Kapolda Kalimantan Barat dengan pangkat Brigadir Jenderal, pada 20 Oktober 2010. Isinya: Lalulintas keuangan di rekening sang Jenderal dinilai wajar. Surat inilah yang dijadikan rujukan utama Kompolnas untuk menyatakan Budi Gunawan bersih, dan merekomendasikan dia sebagai salah satu calon Kapolri kepada Jokowi, dan Jokowi memilihnya. Surat yang sama ini pulalah yang dijadikan pegangan utama Budi untuk menyatakan dirinya bersih, termasuk ketika mengikuti uji kelayakan dan kepattan di DPR pada 14 Januari lalu.

Padahal data di rekening itu masuk radar kecurigaan PPATK karena dinilai tak sesuai dengan profil Budi Gunawan, dan sejak awal sampai sekarang PPATK tidak pernah mengubah hasil analisisnya itu.

Pada Juli 2010, Majalah Tempo telah menurunkan Laporan Utamanya tentang rekening 21 perwira Polri yang mencurigakan karena jumlahnya yang jumbo melebihi profil mereka sebagai perwIra Polri aktif. Dalam Laporan Utama itulah Tempo memberi nama rekening-rekening itu dengan sebutan “rekening gendut perwira Polri,” sebutan yang kemudian menjadi terkenal sampai sekarang. Salah satu perwira Polri pemilik rekening gendut itu adalah Budi Gunawan.

Pada hari majalah itu beredar, kantor redaksi Tempo dilempar bom molotov. Setelah itu, aktivis antikorupsi, Tama S. Langkun, yang banyak menyorot rekening-rekening mencurigakan itu, dan dijadikan salah satu rujukan Tempo, dibacok orang. Dua kejahatan teror itu tetap menjadi misteri sampai sekarang.

Tempo mencatat, kecurigaan PPATK terhadap catatan keuangan Budi Gunawan muncul karena transaksi dari perusahaan pengembang, PT Masindo Lintas Pratama, ke rekening anak Budi Gunawan pada November 2006. Duit Rp. 1,5 miliar mengalir ke rekening Hervianto Widyatama, anak Budi.

Dana itu merupakan bagian dari total setoran senilai Rp. 54 miliar ke rekening Budi dan anaknya itu. Perusahaan lain bernama PT Sumber Jaya Indah juga dilaporkan menyetorkan Rp 10 miliar ke Budi melalui rekening anaknya.

Selain itu, ada sejumlah individu yang terdektesi mentransfer dana ke rekening Budi. Ada juga setoran tunai dalam jumlah miliaran rupiah. Sejumlah sumber Tempo menjelaskan, posisi Budi sebagai ajudan Megawati Soekarnoputri, wakil presiden dan kemudian presiden, pada 1999-2004 berperan besar dalam penumpukan harta itu. “Banyak pengusaha yang, ketika itu mau bertemu dengan RI-1, sukarela memberi. Duit Rp. 100 juta-Rp200 juta itu kecil buat mereka,” katanya.

Pada 2010 itu juga, setelah heboh laporan utama Majalah Tempo itu, Mabes Polri menyatakan akan melakukan investigasi dan terapi kejut kepada para perwira pemilik rekening gendut itu, termasuk Budi Gunawan. Namun hal tersebut tak pernah terwujud. Mabes Polri hanya meminta klarifikasi dari Budi dan para perwira lainnya pemilik rekening gendut itu. Setelah itu keluar kesimpulan bahwa semua rekening itu bebas dari masalah. Surat dari Arief Sulistyanto merupakan penutupan dari catatan gelap itu. Setelah tak lagi terdengar heboh rekening gendut perwira Polri sampai terkuaknya kasus Djoko Susilo, kemudian saat Budi Gunawan dipilih Presiden Jokowi sebagai calon tunggal Kapolri, sekarang ini.

Wakil Ketua KPK Bambang Widjojanto dalam keterangan persnya pada 14 Januari lalu juga menguraikan kejanggalan transaksi keuangan di rekening Budi Gunawan, yang masih terkait dengan anaknya, M. Hervianto Widyatama, oleh karena itu, seperti ayahnya, KPK pun mencekalnya ke luar negeri.

Menurut Bambang, ada aliran dana sebesar Rp. 57 miliar kepada pemuda yang baru berumur 19 tahun ketika itu. Uang sebesar itu digunakan oleh Hervianto untuk berbisnis dengan perusahaan asing bernama Pacific Blue International Limited.

Karena tak punya modal, Hervianto meminta bantuan ayahnya, Budi Gunawan. Budi yang ketika itu berpangkat brigadir jenderal lalu memperkenalkan Hervianto dengan dua pengusaha, Lo Stefanus dan Robert Priantono Bonosusatya. Dari Robert, Hervianto diperkenalkan dengan  David Koh, kuasa Pacific Blue International Limited. Entah apa yang terjadi kemudian, perusahaan itu lalu memberi pinjaman dana segar kepada Hervianto kredit sebesar 5,9 juta dollar AS atau sekitar Rp 57 miliar itu. Lantaran jumlahnya besar, Budi meminta uang itu ditransfer ke rekeningnya. Dasar itulah yang digunakan Budi untuk mengklarifikasi aliran dana yang mengalir ke rekeningnya.

Berdasarkan keterangan dari Budi itu terbit surat Bareskrim Polri Nomor B/1538/VI/2010 menyebutkan uang tersebut bukan milik Budi, tetapi anaknya. Uang itu murni transaksi Hervianto pada 6 Juli 2005. Saat diminta keterangannya pada 10 Juni 2010, Hervianto mengaku berencana berbisnis di bidang perhotelan dan pertambangan. Dari sinilah, Bareskrim Polri menyimpulkan Budi Gunawan bersih dari dugaan korupsi, rekeningnya tak bermasalah, wajar.

14214651551297702958
14214651551297702958
Hotel di Dago, Bandung, yang diduga milik anak Budi Gunawan (sumber: Merdeka.com)

Padahal PPATK tidak pernah memberi pernyataan bahwa rekening Budi tak bermasalah. Lembaga itu bahkan telah menyerahkan catatan keuangan Budi kepada Presiden Jokowi pada Oktober 2014, ketika Budi dimasukkan ke daftar calon menteri. Isinya perkembangan hasil analisis transaksi rekening bank atas nama Budi.

14214650871081752829
14214650871081752829
(Sumber: Koran Jawa Pos)

Selain kepada Jokowi, laporan analisis itu juga diterima KPK, dari hasil analisis PPATK dan laporan masyarakat kepada KPK itulah KPK lalu melakukan penyelidikan dan penyIdikan dengan hasil catatan atau rapor merah diberikaN kepada Budi Gunawan.

Ketika KPK dilibatkan Jokowi dalam seleksi calon menterinya, KPK mengrekomendasikan kepada Jokowi agar sejumlah nama, termasuk Budi Gunawan dicoret dari pencalonan karena mempunyai rapor merah. Jokowi memenuhi rekomendasi itu, dengan mencoret nama Budi Gunawan yang semula hendak dijadikan Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara.

Namun, saat hendak menetapkan calon Kapolri baru, entah mengapa, Jokowi bukan hanya tidak lagi melibatkan KPK dan PPATK, tetapi malah juga menjadikan Budi Gunawan sebagai calon tunggal Kapolri-nya. Isu pun merebak Jokowi terpaksa melakukan hal itu atas desakan dari para politikus senior yang berada di belakangnya, terutama Ketua Umum PDIP Megawati Soekarnoputri.

Pernyataan Ketua PPATK

Pernyataan terkini Ketua PPATK Muhammad Yusuf, yang dimuat di Harian Kompas, Jumat (16/01/2015) memperkuat indikasi bahwa penetapan KPK terhadap Budi Gunawan sebagai tersangkalah yang sesungguhnya paling tepat, dibandingkan “surat tanda bersih diri Budi Gunawan” yang diterbitkan Bareskrim Polri tersebut di atas.

Menurut Yusuf ada perbedaan signifikan data yang digunakan Kompolnas tentang keuangan Budi Gunawan, dengan data yang digunakan oleh KPK. Kompolnas menggunakan data lama (2010), sedangkan KPK menggunakan data terkini (sampai dengan 2014).

Menurut Yusuf, sebagaimana dimuat di Kompas, data yang dimiliki Kompolnas yang menyatakan Budi Gunawan bersih itu berdasarkan hasil penyelidikan Bareskrim Polri pada Oktober 2010. Sebelum penyelidikan itu, PPATK telah menyerahkan laporan hasil analisis (LHA) pada Maret 2010 kepada Polri atas harta dan kekayaan Budi.

Selanjutnya Kompas menulis sesuai dengan penjelasan Yusuf:

Pada Juli 2014, KPK mengirimkan surat kepada PPATK berisi permintaan kepada PPATK menelusuri kembali rekening Budi. Dasar KPK melakukan permintaan itu adalah adanya pengaduan masyarakat.

Surat itu dibalas PPATK pada 11 Agustus 2014.

"Balasan itu setebal lebih dari 70 halaman. Sementara itu, surat yang dikirimkan PPATK kepada Polri pada 2010 sekitar 10 halaman. Dari data itu dan tentunya sumber lain, KPK menetapkan Budi sebagai tersangka," ujarnya.

Yusuf meyakini, langkah KPK menetapkan Budi sebagai tersangka, antara lain, berdasarkan laporan hasil analisis yang dikirimkan PPATK pada Agustus 2014. Sementara itu, penjelasan Kompolnas kepada Presiden Jokowi bahwa Budi tidak memiliki transaksi mencurigakan berdasarkan surat berkop Bareskrim Polri tertanggal 20 Oktober 2010.

"LHA 2010 dan 2014 tidak sama. Pijakan referensinya tidak sama," kata Yusuf.

Yusuf menyatakan, PPATK bertemu langsung dengan Presiden saat akan membentuk kabinet pada Oktober 2014.

"Saya sampaikan kepada Presiden bahwa yang bersangkutan (Budi Gunawan) kami beri simbol merah (dimohon tidak dipilih)," ujarnya.

PPATK, lanjut Yusuf, dulu juga diundang Komisi III DPR sesaat sebelum komisi itu melakukan uji kelayakan dan kepatutan terhadap Sutarman dan Timur Pradopo sebagai calon kepala Polri. Hal serupa dahulu dilakukan Kompolnas. Namun, hal itu tidak lagi dilakukan Komisi III dan Kompolnas dalam hal pencalonan Budi Gunawan.

Yusuf mengatakan, ada pertanyaan tersisa di benaknya terkait isi surat Polri pada Mei 2010, yang menyatakan Budi bersih dari dugaan rekening gendut tersebut. Hal ini karena sebelumnya PPATK menemukan ada dugaan transaksi tak wajar senilai 5,7 juta dollar AS yang melibatkan Budi.

Menurut Yusuf, setidaknya ada tiga pertanyaan terkait transaksi itu. Pertama, jika uang itu merupakan pinjaman dari pihak swasta di luar negeri, mengapa diberikan dalam bentuk rupiah. Kedua, pinjaman yang disebut untuk bisnis perhotelan itu diberikan tanpa agunan untuk anak Budi yang bernama Muhammad Herviano Widyatama, yang saat itu berusia 19 tahun.

"Pertanyaan ketiga, mengapa pinjaman yang begitu banyak itu diberikan dalam bentuk tunai," tambahnya.

Ketika itu, PPATK tak bisa menindaklanjuti pertanyaan-pertanyaan kritis tersebut karena lembaga itu hanya berwenang melaporkan transaksi mencurigakan kepada penegak hukum.

Jokowi Hanya Menunda Pelantikan Budi Gunawan

Berbagai pihak, para pakar, pemerhati antikorupsi, tokoh masyarakat sampai dengan para relawan pendukung Presiden Jokowi sudah berkali-kali mengingatkan Jokowi untuk segera membatalkan pencalonan Budi Gunawan sebagai Kapolri, termasuk Ketua PPATK Muhammad Yusuf. Dia mengingatkan Jokowi, persoalan akan semakin banyak dan rumit jika Presiden tetap melantik Budi sebagai Kapolri.

Yusuf menyarankan, Presiden tetap harus menerima surat persetujuan DPR terkait pengangkatan Budi sebagai Kapolri. Namun, Presiden perlu mengirim surat balasan kepada DPR bahwa telah menerima bukti baru terkait adanya rekening tidak wajar milik Budi sehingga dia ditetapkan sebagai tersangka oleh KPK. Dengan pertimbangan ini, Presiden memutuskan tidak melantik  Budi sebagai Kapolri. Dengan kata lain, Yusuf, sebagaimna berbagai pihak yang saya sebutkan itu telah mendesak Jokowi dengan sangat kuat bahwa tak perlu banyak beraksi dan banyak komentar lagi, segera memutuskan batal melantik Budi Gunawan sebagai Kapolri.

Tetapi, Jokowi mengambil langkah berbeda. Jumat malam (16/01/2015), di Istana Merdeka, Jakarta,  secara tiba-tiba Presiden Jokowi memanggil dan memberhentikan dengan hormat Jenderal Sutarman sebagai Kapolri, sebagai gantinya diangkat Wakil Kapolri Komjen Badrodin Haiti, sebagai pelaksana tugas Kapolri.

Pada kesempatan itu Jokowi juga mengumumkan bahwa dia memutuskan menundapelantikan Budi Gunawan sebagai Kapolri, bukan membatalkan. “Jadi, menunda, bukan membatalkan,” tegas Jokowi dalam konferensi persnya itu.

Untuk diketahui Sutarman adalah pendukung KPK dalam melakukan penyidikan terhadap Budi Gunawan, sedangkan Badrodin Haiti, termasuk dalam daftar 21 pemilik rekening gendut perwira Polri, yang pernah dirilis Majalah Tempo pada Juli 2010 itu.

Strategi Jokowi

Sebagian pihak mengapresiasi langkah Jokowi tersebut itu yang disebutkan sebagai jalan tengah untuk sementara meredakan gejolak politik dan hukum yang sedang terjadi. Tetapi, pertanyaannya adalah kenapa sampai sekarang pun terkesan kuat Jokowi masih ingin Budi Gunawan sebagai Kapolri? Padahal jika dilihat dari karakternya, apa yang dilakukan oleh Jokowi ini merupakan suatu hal yang kontradiksi dari karakternya itu.

Dugaan kuat pun mengarah kepada kebenaran isu yang mengatakan Jokowi berlaku demikian karena adanya pengaruh kuat dari Megawati Sokarnoputri yang bersikeras bekas ajudannya itulah yang menjadi Kapolri, apapun yang terjadi!

[caption id="attachment_346702" align="aligncenter" width="320" caption="Kritikan terhadap Jokowi berupa gambar meme yang beredar di Twitter"]

1421470271103912898
1421470271103912898
[/caption]

Kita menjadi sulit memahami sikap itu, betapa tidak, fakta berbicara, KPK telah menetapkan Komjen Budi Gunawan sebagai tersangka kasus korupsi, dan berdasarkan reputasi KPK selama ini, KPK tidak pernah keliru dalam penetapan status seseorang sebagai tersangka, kenapa Jokowi seolah-olah belum bisa memahaminya?  Kenapa dia hanya menunda, bukan membatalkan saja pengangkatan Budi sebagai Kapolri?

Dugaan saya, bisa jadi inilah strategi akhir dari Jokowi. Sesungguhnya, Jokowi sudah ingin membatalkan pelantikan Budi Gunawan sebagai Kapolri berdasarkan penetapan statusnya sebagai tersangka oleh KPK itu, tetapi sebagai orang Jawa, dia masih sungkan dengan orang-orang kuat PDI-P di belakangnya, terutama Megawati,  yang masih berkeinginan Budi Gunawan adalah Kapolri, suatu sikap yang seharusnya tidak dimiliki oleh seorang presiden negarawan. Ingatlah prinsip yang pernah dilontarkan oleh Presiden Philipina Manuel Quezon (1878-1944), dan yang menjadi pegangan para negarawan di seluruh dunia:  “Kesetiaan pada partai berakhir ketika kesetiaan pada negara dimulai.”

Indikasi kuat bahwa Jokowi sudah bertekad membatalkan pelantikan Budi Gunawan itu tersirat dari apa yang terjadi di Istana Merdeka pada Jumat malam kemarin (16/01/2015). Saat itu Jokowi memanggil Budi Gunawan bersama dengan Kapolri Sutarman, dan Wakil Kapolri  Badrodin Haiti.

Mereka berempat berbicara di ruang tertutup untuk umum. Setelah itu mereka keluar menemui wartawan, reaksi Budi Gunawan adalah diam, dengan wajah kecut dia pergi meninggalkan Istana Merdeka. Sejumlah pertanyaan yang diajukan wartawan kepadanya tidak digubris. Setelah itu Jokowi membuka konferensi pers yang isinya menyatakan menunda pelantikan Budi Gunawan sebagai Kapolri, memberhentikan dengan hormat Sutarman sebagai Kapolri, dan mengangkat Badrodin Haiti sebagai pelaksana tugas Kapolri.

Saya menduga pada intinya dalam pembicaraan rahasia itu, Jokowi berbicara terus terang kepada Budi Gunawan bahwa dia telah memutuskan untuk tidak bisa melantik Budi Gunawan dengan statusnya sebagai tersangka oleh KPK itu. Itulah yang menyebabkan kecut wajahnya Budi Gunawan, dan dia tak mau menjawab sejumlah pertanyaan dari wartawan itu.

Tetapi hal itu tidak akan Jokowi ungkapkan secara langsung kepada wartawan/publik. Yang akan dikatakan kepada wartawan adalah suatu penundaan pelantikan. Penundaan itu akan terus berlaku, sampai akhirnya KPK menahan Budi Gunawan. Saat Budi Gunawan ditahan KPK itulah, Jokowi mengambil keputusan tegasnya, membatalkan pelantikan Budi, dan memilih calon lain sebagai Kapolri.

Di saat Budi Gunawan sudah ditahan KPK itulah Jokowi terbebas dari tekanan politik yang masih ingin Budi Gunawan sebagai Kapolri, karena tak mungkin lagi mengangkat seorang menjadi Kapolri di saat bersamaan dia sudah ditahan KPK.

Sampai aat ini, melawan KPK itu sama saja dengan melawan rakyat, karena mayoritas berada selalu di belakang KPK.

Masih ingat kasus Djoko Susilo saat KPK menetapkannya sebagai tersangka korupsi? Sebagai wujud “balas dendam”, sejumlah polisi hendak mengepung gedung KPK, dan hendak menangkap salah satu penyidik KPK yang berasal dari Kepolisian, Kompol Novel Baswedan, dengan alasan yang direkayasa, yaitu dia pernah melakukan penganiayaan berat dengan menembak enam orang tersangka pencuri sarang burung walet di Bengkulu pada 2004. Masyarakat yang mendengar berita tersebut, langsung berduyun-duyun mendatangi gedung KPK berkumpul bersama sebagai bentuk dukungan kepada KPK. Sedangkan di dunia maya sangat ramai tersebar dukungan kepada KPK untuk terus memproses lebih lanjut Djoko Susilo, dan mendesak Presiden SBY akan turun tangan mengatasi konflik antara Polri dengan KPK itu, dan memerintahkan Kapolri Timur Pradopo agar memberi kewenangan penyidikan sepenuhnya kepada KPK untuk menyidik kasus Djoko Susilo.

Artis Olga Lydia (tengah) bersama sejumlah relawan pendukung Joko Widodo pada Pilpres 2014 mendatangi kantor KPK, Jakarta, 15 Januari 2015. Massa Relawan Salam Dua Jari itu mendukung KPK meminta Presiden Jokowi tak melantik Komisaris Jenderal Budi Gunawan sebagai Kapolri. TEMPO/Aditia Noviansyah

Presiden Jokowi, tentu tak ingin mengulangi sejarah tersebut, dengan bersikap berseberangan dengan KPK, atau sampai melawan KPK, dengan tetap melantik Budi Gunawan sebagai Kapolri. Karena itu sama saja dengan dia melakukan tindakan sia-sia, bahkan bunuh diri politik dan hukum, menghancurkan reputasi dan kepercayaan rakyat kepadanya.  Sementara Budi Gunawan, seperti yang dinyatakan Abraham Samad, pasti ditahan, dan diproses pengadilan tipikor. ***

Artikel terkait:

Lolos Rekening Gendut, Terjerat Simulator

Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun