Komjen Budi Gunawan (Metrotvnews.com)
Seperti yang sudah diduga sebelumnya, Komisaris Jenderal Budi Gunawan, tidak memenuhi panggilan dari KPK, pada Jumat, 30 Januari 2015. Dengan demikian untuk kali kesekian Budi Gunawan secara tak langsung semakin meyakinkan kita bahwa dia memang tidak layak dan patut menjadi Kapolri. Karena sebagai seorang warganegara yang patuh hukum seharusnya dia memenuhi panggilan tersebut. Pasal 112 ayat 2 KUHAP mewajibkan setiap orang yang dipanggil penyidik harus memenuhi panggilan tersebut. Kuasa hukum Budi Gunawan memang menyampaikan tiga alasan kliennya itu tak mau memenuhi panggilan tersebut, tetapi itu hanyalah alasan yang dibuat-buat.
Sebelum mengajukan alasan-alasan Budi Gunawan menolak memenuhi panggilan itu, saat Jumat pagi itu, Razman Arif Nasution, pengacara Budi Gunawan itu, masih belum bisa memastikan apakah kliennya memenuhi panggilan penyidik KPK itu ataukah tidak.
Salah satu dari tiga alasan penolkaan panggilan penyidik KPK yang kemudian (siang harinya) yang disebutkan adalah mempermasalahkan cara penyampaian surat panggilan oleh KPK itu yang disebut tak jelas, tidak memenuhi prosedur hukum yang seharusnya, diletakkan begitu saja di kediaman Budi, dan tidak ada tanda terimanya, padahal pada pagi harinya, Razman tidak mempermasalahkannya, dia menyebutkan bahwa surat panggilan itu sudah diterima kliennya, tetapi belum bisa memastikan apakah memenuhi panggilan tersebut ataukah tidak. Berdasarkan surat panggilan itu, lalu tim pengacara yang dipimpin Razman melakukan rapat marathon semalam suntuk untuk menentukan sikap pada Jumat pagi itu.
"Kami tadi malam, rapat hingga dini hari. Tapi konfirmasi apakah hadir atau tidak, nanti jam sembilan pagi, ada konferensi pers di Mabes Polri," kata Razman kepada Metrotvnews.com, Jumat pagi (30/1/2015). Razman masih enggan menjelaskan lebih lanjut terkait surat panggilan tersebut. Dia mengatakan akan menyampaikan dengan gamblang di Mabes Polri.
Jumat siang barulah keluar pernyataan tentang tiga alasan penolakan Budi Gunawan memenuhi panggilan penyidik KPK itu.
Kepala Bagian Informasi dan Publikasi KPK, Priharsa Nugraha juga menyanggah keterangan Razman bahwa surat panggilan itu diletakkan begitu saja di kediaman Budi, dan tidak ada tanda terimanya. Priharsa mengatakan, surat panggilan itu dikirim pada 30 Januari 2015, ke empat alamat yang berbeda, dan ada tanda terimanya. Keempat alamat itu adalah rumah dinas Budi Gunawan, kantor Lembaga Pendidikan Kepolisian, rumah pribadi Budi di Duren Tiga, dan Mabes Polri. “Semuanya ada tanda terimanya,” katanya di Gedung KPK, Jakarta, pada 31 Januari kemarin, sambil menunjukkan tanda-tanda terima tersebut.
"Ini nama dari tulisan tanda terima, semoga benar terbacanya," katanya. Secara berurutan, para penerima surat panggilan itu adalah Syafrianto, Suhardianto, Hariyanto, dan Dwi Utomo. (Tempo.co).
Alasan kedua Budi Gunawan tidak panggilan penyidik KPK itu adalah karena sebelumnya dia tidak diberikan surat ketetapannya sebagai tersangka. Padahal tidak ada ketentuan undang-undang yang mewajibkan adanya surat ketetapan sebagai tersangka secara khusus sebagaimana dimaksud. Di dalam surat panggilan tersebut, sudah pasti, -- dan itu sudah cukup – disebutkan alasan pemanggilan itu, yaitu yang bersangkutan telah ditetapkan sebagai tersangka. Ia dipanggil untuk didengar kesaksiannya sebagai tersangka. Kemudian ditangkap atau tidak, itu urusan lain lagi.
Pasal 112 ayat 1 KUHAP sudah mengatur itu, bunyinya: “Penyidik yang melakukan pemeriksaan, dengan menyebutkan alasan pemanggilan secara jelas, berwenang memanggil tersangka dan saksi yang dianggap perlu untuk diperiksa dengan surat panggilan yang sah dengan memperhatikan tenggang waktu yang wajar antara diterimanya panggilan dan hari seorang itu diharuskan memenuhi panggilan tersebut.”
Demikian juga dengan alasan ketiga, yaitu pemanggilan oleh penyidik KPK itu ditolak karena sedang berlangsung proses hukum sidang praperadilan penetapan Budi Gunawan sebagai tersangka itu.
Padahal, tidak ada ketentuan hukum yang mengatur bahwa upaya praperadilan mempengaruhi, atau dapat menghentikan proses penyidikan terhadap Budi Gunawan sebagai tersangka. Dan, selama ini pula, dalam praktiknya, proses praperadilan memang tak pernah mempengaruhi proses penyidikan suatu kasus. Jika kemudian hakim memutuskan mengabulkan pengajuan praperadilan itu, barulah proses penyidikan itu dihentikan penyidik, atau harus dilanjutkan.
Lagipula, jika kita membaca ketentuan tentang apa saja yang boleh diajukan praperadilannya di dalam KUHAP, kita tidak melihat bahwa penetapan seseorang sebagai tersangka oleh penyidik termasuk yang bisa dipraperadilankan.
Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang KUHAP, Bab X, Bagian Kesatu tentang Praperadilan, pada Pasal 77 KUHAP secara eksplisit menentukan apa saja yang boleh diajukan praperadilannya, yaitu:
a) Sah tidaknya suatu penangkapan dan atau penahanan atas permintaan tersangka atau keluarganya atau permintaan yang berkepentingan demi tegaknya hukum dan keadilan ;
b) Sah tidaknya Penghentian Penyidikan atau Penghentian Penuntutan atas permintaan yang berkepentingan demi tegaknya hukum dan keadilan ; dan
c) Permintaan ganti-rugi atau rehabilitasi oleh tersangka atau keluarganya atau pihak lain atau kuasanya yang perkaranya tidak diajukan ke Pengadilan.
Dari ketentuan ini, diketahui bahwa penetapan tersangka kepada seseorang tidak termasuk obyek yang bisa digugat praperadilannya. Sangat aneh, jika Budi Gunawan dan kuasa hukumnya, demikian juga dengan Polri sebagai lembaga yang memberi dukungan hukum kepada Budi Gunawan untuk mengajukan gugatan praperadilan itu tidak mengetahuinya.
Kenapa mereka tetap saja mengajukan gugatan praperadilan itu, padahal mereka pasti tahu bahwa status tersangka tidak termasuk obyek yang dibolehkan Undang-Undang diajukan gugatan praperadilannya? Bisa jadi ini hanya merupakan strategi mengulur-ulur waktu, atau “buying time” mereka saja.
Keputusan Budi Gunawan, yang disokong Mabes Polri itu dengan memberi bantuan hukum kepadanya untuk melawan penetapan Budi Gunawan sebagai tersangka oleh KPK adalah salah satu alasan lain yang semakin memastikan kita bahwa dia memang tidak layak dan patut menjadi Kapolri.
Seharusnya jika Budi Gunawan berjiwa besar dan sportif, saat setelah ditetapkan sebagai tersangka oleh KPK, dia langsung memutuskan untuk mundur dari pencalonannya sebagai Kapolri oleh Presiden Budi Gunawan itu. Jika itu dia lakukan sejak awal, tentu kasus ini tidak bakal menjadi sepelik sekarang.
Budi Gunawan, bahkan juga telah nyata-nyata mengabaikan imbaukan dari Presiden Jokowi sendiri bahwa hendaknya pihak-pihak terkait dalam proses penyidikan KPK (juga Polri) untuk membantu proses penyidikan yang sedang dilakukan KPK, dengan memenuhi panggilan penyidik KPK. Bukan hanya Budi beberapa perwira Polri lainnya yang dipanggil KPk sampai dua kali pun mangkir. Alternatif pemanggilan paksa kepada mereka oleh kPK pun tampaknya harus dilakukan.
Teladan itu malah kemudian diperlihatkan oleh Wakil Ketua KPK Bambang Widjojanto, yang ditetapkan sebagai tersangka oleh polisi, hanya 4 hari setelah Budi Gunawan ditetapkan sebagai tersangka oleh KPK. Meskipun Bambang yakin penetapannya sebagai tersangka itu merupakan suatu rekayasa, atau kriminalisasi terhadapnya dalam rangka menyerang balik dan menghancurkan KPK, dia pun menyatakan kepatuhannya terhadap hukum, sesuai dengan ketentuan di dalam Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang KPK, Pasal 32 ayat 2-nya yang menyatakan pimpinan yang ditetapkan sebagai tersangka diberhentikan sementara, Meskipun Undang-Undang tidak menyebutkan pimpinan KPK tersangka harus mengajukan permohonan mundur, tetapi karena sadar akan konsekuensinya, Bambang pun berinisiatif mengajukan permohonan pengunduran dirinya kepada Ketua KPK. Kini, yang ditunggu adalah surat keputusan dari Presiden untuk menetapkan pemberhentian sementaranya itu.
Undang-Undang Nomor 32 Tahun 202 tentang KPK: Pasal 32 Ayat 2: Dalam hal Pimpinan Komisi Pemberantasan Korupsi menjadi tersangka tindak pidana kejahatan, diberhentikan sementara dari jabatannya. Ayat 3: Pemberhentian sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) ditetapkan oleh Presiden Republik Indonesia.
Bertolak belakang sekali dengan sikap Bambang itu, Budi Gunawan yang ditetapkan sebagai tersangka oleh KPK, jangankan menyatakan mundur, dia malah melakukan perlawanan kepada KPk, dengan cara pengajukan gugatan praperadilan yang secara hukum lemah itu.
Budi Gunawan, mungkin akan menyatakan alasannya tidak mundur itu, yaitu bahwa tidak ada ketentuan hukum tertulis manapun, termasuk Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Republik Indonesia, yang membuat dia yang telah berstatus tersangka itu harus mundur sebagai calon Kapolri, ataupun jabatannya sebagai Kepala Lembaga Pendidikan Polri, sebagaimana hal itu ada untuk pimpinan KPK tersebut di atas.
Hal ini sebenarnya termasuk aneh, seharusnya di Undang-Undang tentang Kepolisian Republik Indonesia harus mengatur hal yang sama dengan Undang-Undang tentang KPK itu.
Namun pun demikian, harus diingat bahwa di atas hukum tertulis masih ada hukum yang lebih tinggi, yang juga mendasari dibuatnya berbagai produk ketentuan perundang-undangan, yaitu etika dan moral yang berlaku di dalam kehidupan masyarakat sehari-hari. Apa yang tidak diatur di dalam hukum tertulis, tetapi jika itu bertentangan dengan etika dan moral, maka seharusnya hal tersebut tidak dilakukan, atau harus dilakukan.
Demikianlah, maka Ketua DPD Irman Gusman pun berkata: “Di atas hukum, ada etika dan moral yang harus dijunjung tinggi untuk menjaga kredibilitas institusi, harus ada kesadaran dari orang terutama elite di dalamnya, untuk memberi contoh yang baik. Jika mencintai institusi Anda, Anda akan menjadi bagian dari solusi, dan bukan masalah bagi institusi Anda.” (Harian Kompas, Rabu,m 28/01/2015).
Budi Gunawan, memilih yang mana: bagian dari solusi atau bagian dari masalah bagi institusinya: Polri? Sampai sekarang, dia memlih yang kedua. Bahkan menjadi pusat dari masalah besar itu! Pilihan ini pun lagi-lagi semakin membuat dia memang tak layak dan patut menjadi Kapolri. Mana ada Kapolri sudah tersangka, menjadi pusat dari masalah besar di Polri pula! ***
Artikel terkait:
Alasan Wacana Hak Imunitas Pimpinan KPK Bisa Diterima
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H