[caption id="attachment_349650" align="aligncenter" width="480" caption="Ilustrasi, gambar meme dari Twitter"][/caption]
Sejak didirikan pada 2002 KPK semakin lama semakin menjadi seperti malaikat maut bagi para koruptor kelas kakap dan paus, terutama bagi para pejabat tinggi negara. Yang paling menonjol adalah mereka yang terdiri dari pejabat pimpinan suatu badan kementerian, sekretaris jenderalnya, menteri, anggota DPR, dan perwira polisi.
Maka tak heran upaya untuk melemahkan KPK pun terus dilancarkan selama bertahun-tahun oleh para pejabat koruptor di beberapa lembaga tinggi negara itu. Fakta berbicara, para pelaku yang paling menonjol terus berupaya melemahkan KPK, atau kalau bisa sekalian menghancurkannya itu datang dari DPR, lalu Kepolisian. Karena kedua lembaga ini yang mempunyai kekuatan yang cukup untuk melakukan itu terhadap KPK, dan kekuatan itu disalahgunakan oleh para anggotanya yang korup.
Karena selama ini DPR dikenal sebagai salah satu lembaga tinggi yang sudah sejak lama dikenal sebagai salah satu lembaga paling korup, maka ia pula yang menjadi pelopor berbagai upaya untuk melemahkan KPK, kalau bisa sekalian dihancurkan atau dibubarkan. Pelemahan KPK dilakukan DPR dengan memanfaatkan atau lebih tepat menyalahgunakan beberapa kewenangannya, seperti kewenangan di bidang legislasi, dengan berupaya mengrevisi UU KPK yang isinya melucuti beberapa senjata andalan KPK dalam pemberantasan korupsi, seperti penyadapan harus seizin hakim, kehendak menghilangkan kewenangan penyelidikan, pembatasan anggaran KPK, dan sebagainya.
Sedangkan dari kepolisian, upaya penghancuran KPK dilakukan sejak lembaga anti rasuah ini mulai mengusik dan memenjarakan beberapa anggotanya yang korup, termasuk perwira polisi aktif. Dengan memanfaatkan kewenangannya, polisi mulai gencar melakukan serangan balik kepada para pimpinan KPK lewat cara mengkriminalisasi para pimpinannya. Dimulai sejak 2009, saat KPK mengusut dugaan penerimaan gratifikasi oleh Kabareskrim Komisaris Jenderal Susno Duadji, dari sinilah dikenal istilah “cicak vs buaya” yang dicetuskan oleh Susno Duadji sendiri, kemudian pada 2012 saat KPK menetapkan Inspektur Jenderal Djoko Susilo sebagai tersangka kasus korupsi pengadaan simulator SIM (“cicak vs buaya” jilid 2), dan sekarang, “cicak vs buaya” jilid 3, setelah KPK menetapkan Komisaris Jenderal Budi Gunawan, yang juga calon tunggal Kapolri sebagai tersangka penerimaan sejumlah gratifikasi.
Dibandingkan dengan sebelumnya, serangan balik polisi kepada KPK setelah penetapan Budi Gunawan sebagai tersangka inilah yang paling mematikan bagi KPK.
Di masa pemerintahan sebelumnya, sejak 2002 itu, semua serangan kepada KPK menemui kegagalan, DPR selalu gagal memanipulasikan kewenangannya untuk melumpuhkan KPK, demikian juga polisi dalam babak “cicak vs buaya” jilid 1 dan 2. Selain karena dukungan masyarakat yang kuat kepada KPK, Itu semua juga tak lepas dari peran presiden ketika itu, yakni SBY, yang meskipun tidak seratus persen mendukung KPK, tidak memberi banyak waktu dan kesempatan kepada kedua lembaga itu – terutama polisi – untuk leluasa melakukan serangan frontal dan mematikan kepada KPK.
Di jilid pertama, Presiden SBY menghentikan upaya kriminalisasi polisi kepada KPK dengan membentuk tim independen yang dinamakan “Tim Delapan” yang berhasil menghentikan upaya kriminalisasi terhadap dua pimpinan KPK ketika itu, Bibit S. Rianto dan Chandra M. Hamzah, sedangkan di jilid kedua, SBY pun turun tangan dengan berhasil menghentikan upaya kriminalisasi polisi kepada penyidik KPK Novel Baswedan.
Dibandingkan DPR, tentu saja polisi mempunyai kekuatan yang jauh lebih dahsyat. Karena polisi juga mempunyai kewenangan hukum yang sama dengan KPK, yaitu menetapkan seseorang sebagai tersangka, menangkapnya, dan menahannya untuk kemudian diteruskan ke proses peradilan. Bahkan kewenangan polisi itu juga jauh lebih luas daripada KPK, karena mereka berwenang untuk menyelidiki dan menyidik semua tindak pidana kejahatan, sedangkan KPK hanya untuk kejahatan korupsi dengan kriteria tertentu.
Oleh karena itu ketika Budi Gunawan ditetapkan sebagai tersangka, polisi langsung membalasnya dengan cara yang sama bahkan lebih hebat lagi. Meraka bukan hanya menetapkan seorang pimpinan KPK sebagai tersangka tindak kejahatan (Bambang Widjojanto), tetapi juga sempat menangkap dan memborgolnya di depan umum, membawanya secara paksa ke Mabes Polri dan diperiksa sampai hampir 12 jam lamanya. Kalau tidak ada perintah dari Wakapolri Badrodin Haiti, Bambang sudah ditahan saat itu juga.
Setelah itu berturut-turut semua pimpinan KPK pun dijadikan sasaran berikutnya. Abraham Samad dan Adnan Pandu Praja sudah di-sprindik-kan, tinggal sejengkal lagi ditetapkan statusnya sebagai tersangka, untuk kemudian ditahan. Zulkarnain, tinggal menunggu gilirannya.
Posisi KPK saat ini benar-benar sudah berada di bibir jurang kehancuran, hanya tinggal didorong sedikit saja, KPK pasti langsung langsung jatuh ke dalam jurang kehancuran itu. Yang dimaksud dengan “tinggal didorong sedikit saja” itu adalah tinggal polisi menetapkan semua pimpinan KPK itu sebagai tersangka saja, maka kehancuran bagi KPK itu pun terjadilah! Karena menurut UU KPK setiap pimpinan KPK yang berstatus tersangka harus diberhentikan sementara oleh Presiden. Apalagi, jika kemudian polisi menahan mereka semua.
Para koruptor pun akhirnya keluar sebagai pemenangnya, berpesta pora, dan pada akhirnya tokoh-tokoh mereka pun yang berkuasa di negeri ini. KPK hanya tinggal sejarah.
Hebatnya itu terjadi ketika Jokowi baru menjadi Presiden sekitar 100 hari!
Selama sekitar 12 tahun lamanya upaya pelemahan dan penghancuran KPK sudah dilakukan dengan berbagai cara, tetapi selalu gagal. Selama 10 tahun Presiden SBY memerintah, upaya itu selalu juga menemui jalan buntu. Meskipun sejatinya SBY juga tidak terlalu suka dengan KPK, terutama sejak besannya, Aulia Pohan, dipenjarakan KPK karena terlibat kasus korupsi di Bank Indonesia.
Ketika itu, 24 Juni 2009, rasa jengkel SBY kepada KPK terungkap saat dia berkunjung di kantor Harian Kompas, di Jakarta, dalam suatu pernyataannya tentang KPK, SBY berkata, ”Terkait KPK, saya wanti-wanti benar. Power must not go uncheck. KPK ini sudah powerholder yang luar biasa. Pertanggungjawabannya hanya kepada Allah. Hati-hati!”
Namun demikian selama 10 tahun memerintah, meskipun satu persatu petinggi Demokrat juga dipenjarakan KPK, Presiden SBY tak bisa berbuat apa-apa terhadap KPK. Ia bahkan langsung mendesak tiga menterinya yang dijadikan tersangka korupsi oleh KPK untuk segera mundur dari jabatannya, sebelum ia sendiri yang memberhentikan mereka.
Tetapi Jokowi adalah “Presiden Super Sakti”, dia hanya memerlukan waktu sekitar 100 hari untuk berperan membuat KPK klepak-klepek, sekarat seperti sekarang ini. Tinggal selangkah lagi, hari kiamat bagi KPK tiba di masa pemerintahan Presiden Jokowi. Itu semua tak lepas dari peran serta Jokowi yang begitu memberi kesempatan seluas-luasnya kepada polisi untuk melakukan serangan balik habis-habisan kepada pimpinan KPK.
Alasannya terlalu sangat yuridis-formalistik kaku, tidak mau mengintervensi proses hukum yang sedang berlangsung, padahal seharusnya dia sadar dampak destruktif dari sikapnya itu sangat lebih berbahaya daripada hanya menyangkut apa yang disebut intervensi hukum itu. Alasannya itu sama saja dengan memberi waktu dan kesempatan seluas-luasnya terjadinya penghancuran sistematis kepada KPK, apalagi dengan terus-menerus mengulur-ulur waktu seperti sekarang ini. Akibatnya posisi KPK sekarang sungguh-sungguh dalam keadaan kritis, nasibnya tergantung benar di tangan polisi. Ibarat orang yang sudah digantung di atas jurang yang dalam, tinggal penggantungnya memotong talinya, tamatlah riwayatnya.
Jika SBY tempo hari tidak turun tangan dengan melakukan intervensi hukum secara terbatas dengan memerintahkan penghentian proses hukum terhadap pimpinan/penyidik KPK karena mengingat adanya unsur kriminalisasi dan dampaknya jauh lebih buruk daripada jika itu dibiarkan terus berlangsung, maka kemungkinan besar KPK sudah berhasil dilemahkan sejak saat itu. SBY sadar akan hal itu oleh karena itu dia pun bertindak sebagai wasit yang baik dalam perseteruan KPK vs Polisi itu.
Sesungguhnya, Presiden diberi kewenangan oleh Konstitusi untuk melakukan suatu tindakan darurat yang secara formal bisa dikategorikan sebagai suatu intervensi hukum, tetapi karena demi keselamatan bangsa dan negara yang jauh lebih penting, hal tersebut dibenarkan.
Seperti yang pernah dilakukan Presiden SBY, Presiden Jokowi harus pula berani tegas dan cepat menghentikan proses penghancuran terhadap KPK ini, dengan cara memerintahkan polisi menghentikan sementara proses penyidikan kepada semua pimpinan KPK, dengan mengingat bahwa dampak hukum dari tindakan penyidikan terhadap semua pimpinan KPK itu sangat jauh lebih destruktif daripada “hanya” demi memenuhi asas semua orang sama di hadapan hukum. Apalagi sangat kuat indikasi bahwa penyidikan tersebut merupakan suatu rekayasa atau kriminalisai terhadap para pimpinan KPK.
Jika hendak melanjutkan penyidikan terhadap para pimpinan KPK itu, tunggu saja sampai berakhir masa jabatan mereka pada Desember 2015 nanti. Berilah kesempatan kepada mereka untuk melanjutkan tugas jabatannya melakukan pemberantasan korupsi dengan menuntaskan kasus-kasus yang kini sedang berjalan, termasuk kasus Budi Gunawan.
Seharusnya pula Jokowi bertindak tegas dengan memutuskan mencabut kembali pencalonan Budi Gunawan sebagai calon tunggal Kapolri itu, tanpa harus menunggu putusan praperadilan. Bukankah tempo hari ketika publik memprotes dia karena memilih Budi Gunawan sebagai calon tunggal Kapolri, Jokowi berdalih bahwa itu adalah hak prerogatinya sebagai presiden? Kok sekarang, berdalih menunggu putusan sidang praperadilan? Lebih konyol lagi, kata Istana, Jokowi sudah meminta Budi Gunawan mundur dengan sukarela, tetapi yang bersangkutan menolaknya! Lalu, karena Budi Gunawan menolak, Presiden Jokowi tidak bisa berbuat apa-apa lagi terhadapnya? Hak prerogatifnya itu di kemanakan, dong?
Seratus persen pasti, jika Jokowi masih terus membiarkan proses penyidikan terhadap semua pimpinan KPK itu terus berlangsung, maka KPK akan mengalami kehancuran total! Semua proses pemberantasan korupsi yang sedang berlangsung, atau yang akan diproses pasti mengalami kemacetan total, termasuk dan terutama kasus-kasus korupsi kelas kakap dan paus. Itukah yang dikehnadaki Jokowi dengan program Nawa Cita-nya itu?
Budi Gunawan, Jero Wacik, Suryadharma Ali, dan Sutan Bathoegana, adalah contoh para tersangka korupsi yang pasti tertawa senang melihat penghancuran sistematis terhadap KPK ini. “Nyeri-nyeri sedap KPK dihancurkan,” mungkin itu yang akan dinyatakan Sutan.
Selanjutnya untuk memperbaikinya dan membangun kembali KPK akan memerlukan enerji yang sangat besar, waktu yang lama, dan biaya yang besar pula, sementara itu para koruptor pun terlepas satu persatu, bebas merdeka. Pembangunan kembali KPK itu pun sulit berhasil di tengah-tengah kemenangan besar para koruptor itu, apalagi dengan sikap Presiden seperti sekarang ini.
Saat jumpa pers di Kompleks Istana Kepresidenan, Jakarta, Minggu, 25 Januari 2015, Presiden Jokowi juga memberi peringatan mirip-mirip dengan yang pernah dinyatakan oleh Presiden SBY pada 24 Juni 2009 tersebut di atas, kata Jokowi: "KPK dan Polri bahu-membahu memberantas korupsi. Biarkan KPK bekerja, biarkan Polri bekerja, tidak boleh ada yang merasa sok di atas hukum!"
Tetapi, kenyataannya? Ketika sejumlah besar perwira tinggi polisi mangkir sampai dua kali saat dipanggil KPK untuk diperiksa, demikian juga Budi Gunawan, padahal surat panggilan itu sudah ditembus ke Presiden Jokowi, dan Istana juga sudah menghimbau agar mereka memenuhi panggilan KPK itu, Jokowi hanya diam saja. Sebaliknya, dengan Bambang Widjojanto yang saat dipanggil polisi untuk diperiksa, dia datang memenuhi panggilan itu, sekalipun dengan risiko ditahan.
Jadi, siapa sesungguhnya yang sok di atas hukum? Dan, siapa pula sebagai atasannya yang membiarkan itu terjadi di depan matanya?
Jokowi, sungguh patut disebut sebagai “Presiden Super Sakti” yang dalam tempo 100 hari sudah mampu berperan penting membuat KPK sekarat. Sayangnya kesaktiannya itu disalahgunakan, bukan memberi keuntungan kepada upaya pemberantasan korupsi, tetapi sebaliknya memberi keuntungan besar kepada upaya pemberantasan KPK!
Untuk pertama kalinya KPK pun benar-benar tak berdaya di masa pemerintahan presiden yang baru saja menjalankan jabatannya selama sekitar 100 hari. Lewat Deputi Bidang Pencegahan yang juga juru bicara KPK Johan Budi, KPK mengakui ketidakberdayaan mereka itu, Johan atas nama KPK pun meminta tolong kepada Presiden untuk menyelamatkan KPK, menyelamatkan Indonesia!
Para penyidik KPK pun mulai kehilangan semangatnya menghadapi sikap “Presiden Super Sakti” ini, dan mereka pun titip pesan kepada Johan Budi, lebih baik KPK menyerahkan saja mandat pemberantasan korupsi yang diberikan negara kepada mereka itu kembali kepada Presiden Jokowi.
Ironisnya, kelihatannya “Presiden Super Sakti” ini juga tak berdaya ketika berhadapan dengan kekuatan politik lain di balik layar, yang menuntut dia terus berbakti kepada mereka sebagai wujud balas budi mereka kepadanya. Dia masih dianggap sebagai "petugas partai"!
Semoga pada akhirnya, “Presiden Super Sakti” ini berani memngunakan kesaktiannya melawan mereka, demi tercapainya negara yang aman damai sentosa. ***
[caption id="attachment_350170" align="aligncenter" width="268" caption="(termantap.com)"]
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H