[caption id="attachment_352720" align="aligncenter" width="550" caption="Presiden Jokowi, Megawati, dan para petinggi KIH lainnya makan bersama Soto Gading, di Solo, 14 Februari 2015 (Batampost.com)"][/caption]
Seharusnya kebiasan ini tidak lagi dilakukan Jokowi sejak dia menjabat sebagai Presiden RI, atau paling tidak dikurangi secara drastis. Yaitu kebiasaan dia jika ingin berdiskusi dengan Ketua Umum PDI-P, Megawati Soekarnoputri, tentang sesuatu hal yang penting, dialah yang datang berkunjung ke rumah Megawati, di Jalan Teuku Umur, Menteng, Jakarta Pusat. Kebiasaan Jokowi terhadap Megawati itu dikarenakan dia sangat menghormati Megawati, bahkan sampai cenderung memujanya. Ironisnya Megawati kelihatannya menikmatinya, dengan membiarkan kebiasaan tersebut terus berlanjut saat Jokowi sudah menjadi Presiden RI.
Demikian juga di saat sehari sebelum Jokowi mengumumkan pembatalan pelantikan Komisaris Jenderal Budi Gunawan sebagai Kapolri. Pada Selasa malam, 17 Februari 2015, dari Istana Bogor, Jokowi langsung menuju rumah Megawati di Jalan Teuku Umar, Menteng, Jakarta Pusat itu. Maksudnya dia ingin memberitahukan langsung kepada Megawati mengenai keputusan akhirnya tentang nasib Budi Gunawan tersebut.
Ternyata, sudah jauh-jauh dari Bogor sampai di rumah Megawati di Teuku Umar, Selasa malam itu, Jokowi, ya, Presiden Jokowiditolak Megawati! Meskipun sudah ditunggu Presiden Jokowi, Megawati tetap tak mau bertemu. Rupanya dia ngambek karena Jokowi sudah bertekad untuk tidak melantik mantan ajudannya saat dirinya menjadi presiden (2001-2004) itu. Sudah merupakan rahasia umum bahwa Megawati-lah yang menghendaki dan mendesak Jokowi memilih Budi Gunawan sebagai calon tunggal Kapolri.
Dengan demikian, Jokowi hampir dapat dipastikan telah menjadi orang ketiga yang masuk “daftar” orang yang “paling tidak disukai sedunia” oleh Megawati, mungkin selamanya. Dua orang sebelumnya yang masuk “daftar” itu adalah Luhut Panjaitan dan mantan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY). Dua orang ini, terutama SBY tidak pernah lagi mau diajak bicara, sampai hari ini.
Luhut sejak 2001, saat menolak bergabung kembali di kabinet Megawati, pasca Gus Dur dilengserkan MPR, dan SBY, sejak 2004, sejak yang bersangkutan dinilai tidak berterus terang saat hendak ikut mencalonkan diri sebagai presiden di Pilpres 2004. Lalu, Jokowi, sejak 2015 ini dan seterusnya?
Setelah ditolak bertemu oleh Megawati, malam itu juga Jokowi langsung menuju Istana untuk melakukan rapat dengan Wakil Presiden Jusuf Kalla. Besok paginya, Rabu, 18 Februari 2015, Presiden Jokowi mengumumkan itu: dengan pertimbangan telah terjadi kontroversi yang semakin memanas di masyarakat tentang sosok Budi Gunawan untuk dijadikan Kapolri, Jokowi memutuskan membatalkan pelantikannya sebagai Kapolri. Sebagai gantinya Jokowi memilih Komisaris Jenderal Badrodin Haiti.Badrodin sendiri diduga adalah calon yang disodorkan oleh Ketua Umum Partai Nasdem, Surya Paloh.
Sebelum Selasa malam itu, sebenarnya keputusan Presiden Jokowi untuk membatalkan pelantikan Budi Gunawan itu sudah diberitahu Jokowi kepada para petinggi partai politik yang bergabung di Koalisi Indonesia hebat (KIH) saat mereka bertemu di Solo, Jawa Tengah, dua minggu lalu (13-14 Februari 2015).
Pertemuan itu dilakukan di rumah dinas Walikota Solo, Loji Gandrung. Pertemuan tersebut berlangsung super panas, penuh emosi tinggi, saat para petinggi itu memprotes Jokowi atas keputusannya itu. Ada yang mengingatkannya agar tidak membuat “puputan” (perang) dengan KIH, ada yang menuduhnya hendak pindah partai politik (berkaitan dengan pertemuannya dengan Ketua Umum Partai Gerindra Prabowo Subianto), sampai mengingatkannya bahwa keputusannya itu akan membuat DPR mengajukan hak interpelasinya, yang bisa berujung pada pemakzulan.
Orang-orang di sekitar Jokowi pun dijadikan sasaran tembak. Para petinggi partai politik KIH itu mendesak Jokowi untuk mencopot Kepala Staf Kepresidenan Luhut Binsar Panjaitan, Menteri Sekretaris Negara Pratikno, dan Menteri BUMN Rini Soemarno. Orang-orang inilah yang dituding para petinggi KIH yang mempengaruhi Jokowi, sehingga ia memutuskan membatalkan pelantikan Budi Gunawan.
Jokowi yang diminta konfirmasinya tentang suasana super panas dalam pertemuan di Loji Gandrung itu, membantah. Kata dia, “Tidak ada ketegangan itu. Di foto yang beredar, kami tertawa gembira ketika bersama-sama menyantap soto.”
Jika kita melihat foto-foto yang dimaksud Jokowi itu, maka memang terlihat dia (Jokowi) tetap tampil dengan wajah cerianya, masih bisa tertawa lepas. Demikian juga yang lain, seperti Ketua Umum PPP Romahurmuzly, yang di antara foto-foto tersebut terlihat juga tertawa ceria bersama Jokowi. Tidak demikian dengan wajah Megawati, wajahnya terlihat masam di foto-foto tersebut.
[caption id="attachment_352721" align="aligncenter" width="603" caption="(merdeka.com)"]
Tetapi, apa yang tampak dari luar, apalagi hanya di foto, belum tentu menggambarkan suasana sebenarnya.
Kepada orang-orang terdekatnya, Jokowi menyampaikan perasaan sebenarnya, ia sangat sedih dan kecewa, harga dirinya terasa dilecehkan, sesungguhnya ia tak bisa menerimanya, karena di pertemuan tersebut ada seorang petinggi partai yang memarahinya di hadapan banyak orang, di hadapan para petinggi partai-partai itu! Jangankan presiden, kita saja kalau dimarahi di depan banyak orang tentu saja akan merasa tidak senang, apalagi kita merasa tidak bersalah.
Pertanyaannya: Siapakah seorang petinggi partai politik, dan dari partai politik manakah, yang sedemikian tidak menghormati dan menghargai Jokowi yang adalah Presiden, sehingga memperlakukannya seperti seorang bawahannya, hanya sebagai petugas partai saja itu?
Kita hanya bisa menduga-duga, tetapi tentu saja bukan menduga asal menduga tanpa dasar sama sekali.
Saya sangat yakin, seberani-beraninya para petinggi partai politik di KIH di luar PDI-P dengan Presiden Jokowi, tak mungkin ada yang sedemikian beraninya sampai dia bisa memarahi Jokowi yang adalah kader PDI-P di depan para petinggi partai-partai seperti itu, apalagi saat itu ada Megawati.
Maka, satu-satunya petinggi partai yang berani memarahi Jokowi di depan umum itu pastilah dari PDI-P sendiri. Dan, dari PDI-P itu, siapakah orang itu? Rasanya, juga tak mungkin para petinggi di luar keluarga Megawati sendiri. Karena sekali lagi, di saat itu ada Megawati. Beranikah mereka memarahi Jokowi di depan umum, sementara itu ada Megawati di sana?
Sampai di sini hanya ada dua kemungkinan orang yang mempermalukan Jokowi di depan para petinggi partai-partai dengan memarahinya itu: Megawati, atau anaknya, Puan Maharani. Dari ibu-anak ini, siapakah yang paling mungkin memarahi Jokowi di depan para petinggi partai lainnya itu?
Dilihat dari riwayatnya dalam berhubungan dengan Jokowi, maka saya menduga orang yang dimaksud Jokowi itu adalah Puan Maharani, bukan Megawati.
Kelihatannya, cara Megawati marah kepada seseorang itu lebih biasa dengan mendiamkan orang itu, memasang muka masam di hadapannya, tidak mau berbicara dengannya, tidak mau bertemu dengannya, dan sebagainya. Bukan dengan memarahinya dengan suara keras, apalagi di depan banyak orang. Kalaupun Megawati sampai bersuara keras kepada Jokowi, Jokowi masih bisa menerimanya, karena dia memang sangat menghormati Megawati.
Tidak demikian dengan jika itu Puan Maharani. Tentu Jokowi akan merasa harga dirinya diinjak-injak di depan umum, karena dia tidak sedang berada di bawah Puan. Bahkan sebagai Presiden, justru Jokowi-lah atasannya Puan. Bagaimana Jokowi bisa menerimanya dengan legowo, jika Puan yang adalah menterinya malah memarahinya di depan umum?
Dari riwayat hubungan keduanya (Jokowi-Puan) kelihatan bahwa hubungan tersebut tidak bisa dikatakan harmonis. Puan masih saja tetap merasa dia berada di atas Jokowi, meskipun Jokowi sekarang adalah Presiden, dan dia adalah menteri, pembantu Presiden Jokowi. Puan cenderung menunjukkan dirinya tak bisa begitu saja diperintah Jokowi. Sebaliknya, tanpa beban dia bisa saja menegur Jokowi, meskipun, tidak secara terang-terangan di hadapan publik.
Misalnya, meskipun Jokowi telah menyatakan semua menterinya tidak boleh merangkap jabatan di partai politik, Puan tetap saja tidak mau mundur dari jabatannya sebagai Ketua DPP PDI-P Bidang Politik. Dia malah bilang, yang menentukan dia tetap sebagai pengurus partai atau bukan adalah Ketua Umum PDI-P, yaitu ibunya sendiri, Megawati. Jokowi tak dianggap.
Ketika para pendukung Jokowi yang bergabung dalam organisasi kemasyarakatan yang diberi nama PDI-P Pro-Jokowi (Projo) yang kecewa dengan tekanan PDI-P terhadap Jokowi melontarkan wacana agar Jokowi keluar saja dari PDI-P, dan membentuk partai politik baru, Puan meresponnya dengan menyatakan, silakan saja jika Jokowi maunya demikian. Hingga kini, katanya memastikan, Jokowi masih kader partai dan sekaligus petugas partai! Seolah-olah Jokowi tak berarti di hadapannya.
“(Membentuk partai) itu hak politik tiap warga negara, tapi sampai saat ini Pak Jokowi masih kader PDIP dan petugas partai,” kata Puan di Kompleks Parlemen, Selasa, 3 Februari 2015. “Kalau ada massa dan nama partainya, lalu disahkan pemerintah, ya, boleh-boleh saja.” (Tempo.co).
Jauh sebelumnya, kita tentu masih ingat dengan beredarnya informasi, yang bersumber dari pemberitaan harian berbahasa Inggris, The Jakarta Post, April 2014 lalu. Saat itu baru saja selesai Pemilu Legislatif 2014. PDI-P memang keluar sebagai pemenangnya, tetapi hanya memperoleh suara jauh di bawah target, yaitu 18,95 persen, dari target 27 persen sampai 30 persen.
Seusai hasil hitung cepat diumumkan di televisi-televisi, ada pertemuan para petinggi PDI-P di rumah Megawati. Saat itu hadir juga Jokowi yang adalah calon presiden, yang diharapkan popularitasnya bisa mendongkrak perolehan suara PDI-P di pemilu legislatif itu. Kenyataannya, tidak demikian. PDI-P cuma mampu meraih 18,95 persen suara itu.
Terjadi perdebatan seru tentang penyebab gagalnya PDI-P mencapai target perolehan suara itu. Dan, menurut wartawan The Jakarta Post, yang menulisnya di korannya, juga di koran edisi on-line-nya, Puan Maharani menyalahkan Jokowi. Sempat terjadi perdebatan antara keduanya. Puncaknya Puan dengan suara lantang mengusir Jokowi keluar dari rumah ibunya itu.
Berita itu sempat beredar luas di masyarakat, tetapi kemudian dibantah oleh PDI-P dan Jokowi sendiri. Namun, demikian sebagian orang tetap percaya berita itu benar adanya. Tak mungkin wartawan The jakarta Post itu berani mengarang-ngarang kisah tersebut, tanpa ada sanksi dari korannya itu. The Jakarta Post juga tidak menjatuhkan sanksi kepada wartawannya itu karena pemberitaan tersebut.
Jadi, siapakah yang sedemikian berani dan tak menghargai Jokowi sebagai presiden, dengan memarahinya di depan umum seperti itu, kalau bukan Puan Maharani? ***
Sumber data/informasi: Majalah Tempo, edisi 23 Februari – 1 Maret 2015
Artikel terkait:
Puan Semakin Berani dengan Presiden Jokowi
Puan akan Menjadi Batu Sandungan bagi Jokowi?
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H