Mohon tunggu...
Daniel Hermawan
Daniel Hermawan Mohon Tunggu... pelajar/mahasiswa -

Blogger yang berusaha memberikan inspirasi di setiap tulisannya bagi pencerahan paradigma dan kemajuan bangsa.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Memahami Pluralitas, Meredam Eksklusivitas

26 Mei 2011   15:48 Diperbarui: 26 Juni 2015   05:11 1262
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

“Dasar China!”

“Si Batak itu ya!”

“Woi Papua!”

“Dasar hitem loe!”

Kalimat itu rasanya sangat akrab di telinga kita belakangan ini. Sangat naif rasanya jika kita menutup-nutupi fakta bahwa kata-kata ini seringkali diucapkan para orang yang memiliki perbedaan yang kentara dengan kita, seperti warna kulit, ukuran mata, suku, ras, agama, dan lain sebagainya. Tanpa kita sadari, kalimat yang tidak sengaja kita ucapkan ini termasuk dalam salah satu bentuk pelecehan terhadap NKRI.

Di usianya yang ke-65, Indonesia, khususnya masyarakat yang hidup dan tinggal di dalamnya seolah mulai kehilangan ruh dari jiwa kemerdekaan yang dibangun bapak pendiri bangsa kita. Semboyan Bhinneka Tunggal Ika seolah kini hanya menjadi pajangan di dinding, buku PKn, dan teks Pancasila yang tidak diberi makna sekalipun oleh masyarakat Indonesia. Persatuan dan kesatuan kini hanyalah menjadi utopia yang tertutupi oleh semangat konsumerisme dan individualisme.

Sadar atau tidak sadar, masyarakat Indonesia kini tak peduli dengan yang namanya pluralitas. Pluralitas atau keberagaman kini seolah sudah menjadi sebuah kata yang harus dihancurkan dari kamus masyarakat Indonesia. Hal ini tampak dari berbagai konflik yang pada dasarnya melibatkan perbedaan SARA. Kita bisa melihat konflik pembakaran tempat ibadah yang terjadi di mana-mana, penyerangan secara brutal pada jemaat agama tertentu, perang antarsuku, dan lain sebagainya. Apakah ini indikasi bahwa Indonesia akan kembali menuju zaman jahiliah di mana setiap suku berperang melawan suku lainnya demi mendapatkan kekuasaan?

Masyarakat Indonesia pun kini sangat sensitif ketika orang lain berusaha mengkritik dan memberitahu apa yang terbaik untuk diri mereka. Tak perlu jauh-jauh, pembicaraan di dalam angkot, jalanan, dan tempat-tempat umum sudah menunjukkan bahwa manusia Indonesia kini sudah bertransformasi menjadi seekor binatang. Saya bertanya-tanya darimanakah kamus tata krama itu diajarkan? Selama di bangku sekolah, saya tidak pernah mendapatkan pelajaran tentang A-Z cara untuk memaki orang dalam bahasa binatang. Saya juga tak pernah diberitahu cara untuk memukul orang secara membabi buta yang tidak sesuai dengan kehendak kita. Entah sekolah apa yang mengajarkan banyak manusia Indonesia menjadi seperti itu.

Ketika sebuah film tentang perbedaan ditayangkan, masyarakat Indonesia seolah terpancing emosinya melihat tindak tanduk mereka ditelanjangi dalam balutan akting para pemainnya. Tamparan keras itu seolah membuat mereka kebakaran jenggot yang pada akhirnya melahirkan sikap penolakan. Sangat munafik memang. Kenyataan bahwa pluralitas di negara kita sudah sedemikian rapuh yang sengaja dituangkan dalam wujud film dengan tujuan untuk mengingatkan kita semua akan pentingnya persatuan, justru ditentang habis-habisan karena dianggap melecehkan kaumnya. Bahkan salah satu gerakan radikal agama yang boleh dikatakan sangat anarkis dan sangat menyimpang dari ajaran agamanya seolah bersemangat untuk menggulingkan peredaran film ini.

Entah apakah kita harus bertanya pada sungai yang mengalir ataukah daun yang melambai melihat bahwa masyarakat Indonesia telah berubah. Keramahtamahan, senyum, dan tata krama kesopanan negara agamis yang dicitrakan bangsa lain terhadap sosok Indonesia seolah mulai menguap seiring berjalannya waktu. Kekerasan, konflik, pembunuhan, dan tidak adanya rasa tenggang rasa justu mewarnai kehidupan di berbagai sektor. Sungguh pilu rasanya menatap masa depan bangsa ini kelak.

Salah satu Kompasianer pun sempat menuliskan keluhannya pada Kementerian Pendidikan tentang ketidakadilan akan jalur penerimaan SNMPTN undangan. Bayangkan sekolah yang aktif menyumbangkan medali dan siswanya yang sudah mengharumkan bangsa di kancah internasional tidak mendapat kursi yang layak di Perguruan Tinggi Negeri (PTN) idamannya. Apakah karena perbedaan raskah atau sentimental pemerintah pada golongan ras tertentu? Pada akhirnya, kaum emas dan terdidik ini memilih berlabuh ke luar negeri yang jauh lebih mengapresiasi dan menghargai arti dari sebuah pluralitas.

Di berbagai kegiatan, mulai dari perlombaan, seminar, dan lain sebagainya, kaum minoritas selalu menjadi korban akan sentimental rasial kelompok mayoritas. Mulai dari sebutan-sebutan hingga manipulasi hasil yang tidak transparan pun seolah harus menjadi pil pahit yang ditelan kaum minoritas. Kaum mayoritas seolah tak terima dengan kesuksesan dan keberhasilan kaum minoritas di berbagai sektor dan berusaha menjatuhkannya dengan cara yang tidak etis dan beretika.

Memang tak semua masyarakat Indonesia berlaku demikian, saya juga melihat bahwa ada malaikat-malaikat pluralitas di antara para provokator bangsa yang menghendaki kehancuran pluralitas bangsa. Hanya saja, sosok manusia egois yang mementingkan diri sendiri terlihat jauh lebih kentara dan sangat sering kita jumpai di lapangan. Apakah mereka tidak menyadari bahwa Indonesia awalnya buah dari sebuah pluralisme?

Tak hanya itu, setiap kelompok di kalangan masyarakat pun mulai menunjukkan eksklusivitasannya. Tak perlu jauh-jauh, di lingkungan sekolah, pembagian geng A, B, dan C merupakan fenomena yang sudah sangat lazim kita temukan. Geng kaya, cantik, pintar, dan lain sebagainya membuat pelajar terkotak-kotak dalam menambah pergaulan. Di lingkungan masyarakat pun, kelompok-kelompok demikian pun ada dalam skala yang lebih besar. Akibatnya, masyarakat kita terkotak-kotak dan sangat mudah untuk dipecahbelahkan oleh sebuah masalah kecil.

Imam Usman, presiden Indonesian Future Leader (IFL) mengatakan bahwa saat ini masyarakat Indonesia itu cenderung merasa paling benar. Merasa dirinya paling hebat, kuat, dan punya kuasa yang paling besar. Tak heran fanatisme terhadap kelompok yang mereka ikuti ini membuat mereka menghalalkan segala cara untuk membuat sebuah kebenaran tersendiri. Kebenaran yang bersifat sangat relatif tanpa peduli bahwa ada kaum yang dirugikan dengan keputusan yang mereka buat. Akibatnya sulit membuat perubahan berarti karena setiap masyarakat punya pikiran yang berbeda dan mementingkan kepentingan individu. Inilah fenomena ekskluvisme yang menjadi cendawan berbahaya bagi kehidupan tanah air Indonesia.

Berbicara mengenai pluralitas, rasanya begitu banyak teori yang kita baca dan renungkan. Pluralitas itu tidak dimiliki oleh semua negara di dunia. Hanya Indonesia satu-satunya negara dengan tingkat keberagaman yang paling tinggi di antara negara-negara lainnya di dunia. Tak hanya itu, pluralitaslah yang menghantarkan bangsa kita bebas dari belenggu penjajah. Lantas mengapa justru pluralitas yang menjadi malaikat penolong bangsa kitalah yang menjadi kambing hitam dan hendak dimusnahkan? Mengapa pikiran masyarakat Indonesia terkesan sangat sempit dengan menyerang kelompok lain atas nama kebenaran pribadi? Jika ini yang terjadi, maka Ketuhanan kini seolah menjadi milik kelompok-kelompok tertentu yang menghancurkan kelompok lainnya.

Kita sadar Indonesia bukanlah Indonesia tanpa pluralitas. 500 suku bangsa yang mendiami tanah air ini adalah bukti bahwa keberagaman inilah yang membuat negara ini sangat kaya. Kita tidak akan menemukan suku sebanyak ini di negara-negara lain di dunia. Maka seharusnya kita sangat bangga bahwa bangsa kita itu bangsa yang majemuk dan karenanya tidak ada satupun suku bangsa di wilayah Indonesia yang mau berpisah dari NKRI.

Apakah kita mau menjadi agen perusak bangsa ini dengan tindakan dan ucapan yang kita berikan pada suku dan ras tertentu? Jika ya, maka kita adalah orang paling jahat yang tidak pernah mengenal apa arti kehidupan. Apa arti manusia lain dan apa arti dari makhluk sosial yang disematkan pada hakikat seorang manusia.

Memahami pluralitas sebagai sebuah anugerah akan membuat kita menyadari bahwa tembok-tembok ekslusivisme yang kita bangun adalah sebuah kesia-siaan. Kita ibarat menghancurkan candi yang dibangun ribuan tahun dengan bom dalam satu hari. Pluralitas itu adalah suatu pencapaian dalam bangsa yang majemuk. Bagaimana setiap SARA bisa berbaur dan melengkapi satu dengan yang lainnya? Bukankah perbedaan itulah yang menjadikan kita dewasa dan bijak dalam memandang kehidupan?

Ketika kata-kata beracun masih tersemat dalam hati dan bibir kita, maka kita perlu menyadari apakah kita mau membunuh saudara-saudara kita dengan lidah kita? Apakah kita mau membiarkan Indonesia berubah menjadi negara serikat hanya karena perilaku kita yang tidak mencerminkan manusia pluralis? Hanya kita yang bisa menjawabnya. Indonesia menunggu sebuah perubahan dan perubahan itu hanya bisa dicapai jika kita menjunjung tinggi pluralitas dan bergerak maju untuk mencapainya!

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun