Aku pernah membenci gemerlap kota. Bukan karena lampu-lampu neon yang tak pernah padam atau klakson yang berbunyi tanpa henti, tapi karena cara kota itu menjeratku dalam perlombaan yang tak kumengerti. Di kepalaku, aku membayangkan dunia yang lebih sederhana---tempat kita hidup dari apa yang bisa ditanam, dibagi, dan dinikmati bersama, seperti burung yang hanya mencari makan untuk hari ini. Tapi kenyataan selalu lebih keras, dan aku sering bertanya pada diriku sendiri: mengapa hidup harus begitu rumit? Mengapa aku harus terus mengejar sesuatu yang tak pernah benar-benar kuinginkan?
Waktu kecil, aku sering duduk di tepi sawah dekat rumah, di sebuah desa kecil di Jawa Tengah. Dengan buku catatan tua dan pensil tumpul, aku mencorat-coret apa saja yang kulihat: kerbau yang berjalan pelan menyeret lumpur, daun pisang yang bergoyang tertiup angin, atau siluet gunung yang diam memandang dari kejauhan. Saat itu, dunia terasa cukup---lengkap dalam garis-garis sederhana yang kutorehkan. Aku bermimpi jadi penulis, menuangkan imajinasi ke dalam kata-kata yang bisa hidup selamanya. Tapi ibuku punya rencana lain. "Jadi guru saja, Nak. PNS itu pasti, bisa bantu keluarga," katanya dengan nada lembut tapi tegas. Ayah mengangguk setuju, matanya penuh harap. Aku tak ingin mengecewakan mereka---mereka sudah berkorban terlalu banyak---jadi aku menutup buku catatanku dan mengambil buku pelajaran.
Awal-awal menjalani hidup yang mereka inginkan terasa seperti memakai sepatu yang kekecilan---sakit, tapi kupaksa melangkah. Aku lulus kuliah, jadi guru seperti yang ibu minta, tapi setiap hari terasa hampa. Wajahku kusam, suaraku monoton saat mengajar, dan kata-kata yang dulu mengalir di kepalaku kini tersumbat seperti sungai yang mengering. Aku takut bilang pada mereka bahwa aku benci pekerjaan ini---takut mereka merasa gagal membesarkanku. Tapi tekanan itu terus membesar, seperti air di bendungan yang retak. Hingga suatu hari, aku tak sanggup lagi. Dengan sisa tabungan, aku membeli tiket kereta ke Banyuwangi. Dari sana, aku menyeberang ke Bali, lalu terbang dari Denpasar menuju Labuan Bajo, Flores. Perjalanan itu terasa seperti kabur dari hidup lama---dan aku tak tahu apa yang akan kutemui. Yang kutahu, aku harus pergi.
Flores menyambutku dengan kejutan yang tak pernah kubayangkan. Di desa-desa tersembunyi di antara bukit dan laut, aku bertemu orang-orang yang hidup tanpa kemewahan, tapi kaya dalam kebersamaan dan ketulusan. Rumah mereka sederhana, kadang hanya berdinding bambu, tapi mereka menyapaku dengan senyum lebar yang tulus. Seorang ibu tua pernah mengajakku makan jagung bakar di depan rumahnya. Tangannya gemetar saat menyerahkan makanan itu, tapi matanya penuh kehangatan, seolah aku bukan orang asing baginya. Di tengah kekurangan, mereka punya sesuatu yang tak pernah kurasakan di kota: kebebasan dari keinginan yang tak ada habisnya. Aku duduk di bawah pohon kelapa, mendengar ombak menghantam karang, dan bertanya pada diriku sendiri: bagaimana jika aku berhenti mengejar apa yang orang lain anggap penting? Bagaimana jika aku memilih hidup seperti ini?
Di sebuah warung kecil di pinggir jalan, aku menemukan buku bekas berdebu berjudul Kebahagiaan dalam Kesederhanaan. Sampulnya sudah robek, jadi aku tak tahu siapa penulisnya, tapi satu kalimat di dalamnya menempel di pikiranku: "Kekayaan sejati ada saat kau tak lagi merasa kekurangan." Malam itu, aku menatap langit Flores yang dipenuhi bintang---berkilau seperti permata yang tak bisa disentuh, miliaran tahun usianya, begitu tua dan abadi. Di hadapan alam semesta yang luas itu, aku merasa kecil, hampir tak berarti. Tapi anehnya, kesadaran itu tak membuatku takut. Justru aku merasa utuh. Lega. Aku tak perlu jadi besar di mata dunia. Aku hanya perlu jadi diriku sendiri.
Ketika akhirnya pulang, aku tahu aku tak bisa kembali ke kehidupan lama. Aku tinggalkan pekerjaan mengajarku dan kembali ke desa. Aku mulai berkebun---menanam kangkung, cabai, dan tomat, juga memelihara beberapa ekor ayam. Di sela-sela itu, aku menulis lagi---cerita tentang tanah, tentang orang-orang di sekitarku, tentang hidup yang perlahan kujalani dengan cara yang berbeda. Aku bagikan hasil kebun dan kata-kataku pada tetangga, dan dari situlah aku temukan makna. Uang tetap jadi tantangan---hidup dari tanah tak pernah mudah, apalagi di zaman di mana segalanya diukur dengan rupiah. Tapi setiap kali tanganku kotor oleh tanah, atau mataku menangkap senyum seseorang yang membaca tulisanku, aku merasa ada pijar kecil di dadaku. Itu adalah sisa-sisa keresahanku yang dulu, kini berubah jadi bahan bakar untuk sesuatu yang lebih nyata.
Aku tak bermimpi tentang dunia yang sempurna. Utopia terdengar terlalu rapi, terlalu dingin bagiku. Aku justru jatuh cinta pada kekacauan ini---angin yang berantakan, hujan yang datang tanpa permisi, dan orang-orang yang berjuang bersama dalam ketidaksempurnaan. Aku ingin hidup jujur, jadi bagian kecil dari cerita besar ini, berbagi apa yang kumiliki walau tak seberapa. Aku tahu aku tak akan mengguncang dunia. Aku bukan tokoh dalam dongeng. Tapi aku bisa jadi angin sepoi yang menyentuh daun-daun di sekitarku, membawa sedikit kesejukan pada siapa saja yang kebetulan lelet jalannya bersamaku. Dan entah dari mana, aku merasa ada tangan tak terlihat yang menuntunku di jalan ini. Aku tak sendiri.
Hidup sederhana bukan berarti hidup tanpa perjuangan. Tapi di antara kekurangan dan ketidakpastian, aku menemukan sesuatu yang jauh lebih berharga: kebebasan untuk menjadi diriku sendiri. Alam semesta, dengan segala kekacauannya, seolah berbisik padaku bahwa aku sudah cukup---bahwa kita semua, dalam segala kerapuhan kita, sudah cukup. Dan mungkin, itulah makna yang selama ini kucari.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI