Pernahkah Anda merasa tak bisa lepas dari ponsel? Bukan sekadar kebiasaan, kecanduan gadget kini menjadi fenomena global yang mengkhawatirkan. Dari China hingga Amerika Serikat, dari kota besar hingga pelosok Indonesia, dampaknya terasa nyata: anak-anak semakin terisolasi, kesehatan mental menurun, dan kehidupan sosial bergeser ke dunia maya.
Namun, bagaimana dunia menanggapi masalah ini? Ada yang memilih pendekatan ekstrem, ada yang mencari solusi berbasis kesadaran. Mari kita telaah bagaimana kecanduan gadget menjadi tantangan global dan bagaimana kita bisa menghadapinya dengan cara yang lebih bijak.
China: Rehabilitasi atau Hukuman?
China mengambil langkah tegas dalam menghadapi kecanduan gadget, bahkan menyebutnya sebagai "heroin elektronik." Sejak tahun 2006, berbagai kamp rehabilitasi berbasis militer didirikan untuk "menyelamatkan" remaja yang dianggap terlalu larut dalam dunia digital.
Namun, metode yang digunakan menuai kritik. Berdasarkan laporan The New York Times dan The Guardian, beberapa kamp menerapkan disiplin ketat yang menyerupai hukuman militer, bahkan terdapat dugaan penggunaan terapi kejut listrik dan pemberian obat-obatan tanpa persetujuan. Pada tahun 2017, pemerintah China akhirnya melarang terapi fisik yang berbahaya, tetapi kamp serupa masih beroperasi dengan metode lain yang tetap kontroversial.
Meski niatnya baik, banyak ahli kesehatan mental menilai pendekatan ini lebih banyak menimbulkan trauma dibanding menyelesaikan akar masalah. Studi dari China Youth Daily (2021) menunjukkan bahwa 36,7% warga China justru semakin bergantung pada internet selama pandemi. Ini membuktikan bahwa mengatasi kecanduan gadget bukan sekadar soal paksaan, tetapi juga tentang pendidikan digital yang lebih sehat.
Amerika Serikat: Generasi yang Tenggelam dalam Layar
Di Amerika Serikat, data dari Common Sense Media menunjukkan bahwa anak-anak menghabiskan rata-rata lebih dari 6 jam sehari di depan layar, yang jika dikalkulasi, setara dengan 91 hari penuh dalam setahun. Dampaknya mulai terasa: meningkatnya kecemasan, depresi, penurunan prestasi akademik, hingga gangguan tidur akibat paparan cahaya biru yang berlebihan.
Berbeda dengan China, AS lebih mengandalkan kampanye kesadaran dan teknologi untuk mengurangi dampak negatifnya. Beberapa sekolah telah menerapkan kebijakan pembatasan penggunaan ponsel di kelas, sementara platform media sosial mulai mengembangkan fitur pengingat waktu layar. Namun, tantangan terbesar tetap ada: bagaimana membangun kesadaran kolektif di tengah ekosistem digital yang dirancang untuk membuat penggunanya kecanduan?
Indonesia: Juara dalam Penggunaan, Tapi di Lintasan yang Salah
Indonesia menempati posisi teratas dalam hal penggunaan gadget. Laporan State of Mobile 2024 dari Data.ai menyebut bahwa rata-rata orang Indonesia menghabiskan 6,05 jam per hari di depan layar, lebih tinggi dari negara lain seperti Thailand, Argentina, dan Arab Saudi.
Dampaknya mulai terlihat di berbagai aspek kehidupan. Anak-anak lebih banyak menghabiskan waktu di dunia virtual dibanding berinteraksi langsung dengan keluarga dan teman. Studi dari Kementerian Kesehatan RI menunjukkan bahwa penggunaan gadget yang berlebihan berkontribusi terhadap gangguan tidur, penurunan aktivitas fisik, serta peningkatan risiko gangguan kesehatan mental seperti kecemasan dan depresi.
Namun, berbeda dengan China yang memilih pendekatan keras atau AS yang mengandalkan teknologi, Indonesia masih mencari bentuk intervensi yang efektif. Kampanye literasi digital dan bimbingan orang tua menjadi langkah awal, tetapi tantangan sebenarnya adalah bagaimana menyeimbangkan pemanfaatan teknologi dengan kehidupan nyata.