Bayangkan Anda membeli minyak goreng yang dikira cukup untuk seminggu, tapi ternyata isinya lebih sedikit dari yang tertera di kemasan. Atau mengisi tangki kendaraan dengan BBM yang diyakini berkualitas, tetapi diam-diam sudah dioplos---merusak mesin dan menguras dompet.
Ini bukan skenario fiksi, melainkan kenyataan yang sudah berlangsung bertahun-tahun di Indonesia. Baru pada 2025 pemerintah menggelar inspeksi mendadak (sidak) untuk "menyelamatkan" rakyat dari praktik curang ini. Tapi, tunggu dulu. Jika pelanggaran ini sudah lama terjadi, mengapa baru sekarang sidak dilakukan? Dan lebih penting lagi, ke mana quality control yang seharusnya menjadi benteng utama dalam mencegah skandal ini sejak awal?
Minyak Goreng: Takaran Siluman dan Harga yang Mencekik
Awal 2025, sorotan pemerintah tertuju pada minyak goreng---komoditas esensial di dapur rakyat. Hasil sidak membuka fakta mencengangkan:
- Merauke, 21 Januari -- Minyak Kita dijual Rp18.000 per liter, jauh di atas Harga Eceran Tertinggi (HET) Rp15.700. Pemerintah berjanji "melindungi daya beli rakyat," tapi mengapa distributor baru diperiksa sekarang?
- Lenteng Agung, 8 Maret -- Minyakita yang diklaim 1 liter ternyata hanya berisi 750--800 ml. "Ini penipuan!" kata Menteri Pertanian, tapi rakyat bertanya: sudah berapa lama praktik ini dibiarkan?
- Karawang, 13 Maret -- Sebuah pabrik disegel karena mengurangi takaran dan menyalahgunakan lisensi. "Tak ada toleransi," tegas Menteri Perdagangan. Tapi, kalau quality control berjalan baik, mengapa masalah ini baru terungkap?
- Pasar Kramat Jati, 14 Maret -- Ditemukan minyak goreng tanpa tanggal kedaluwarsa dengan takaran yang tidak sesuai. Produk cacat ini sudah bertahun-tahun beredar di pasar, di mana pengawasannya?
Harga minyak melambung, takaran dikurangi, dan kualitas dipertanyakan. Rakyat sudah lama dirugikan, sementara quality control yang seharusnya mencegah ini justru gagal total.
BBM: Kualitas yang Dipertaruhkan
Bukan hanya minyak goreng, sidak juga mengungkap buruknya pengawasan pada BBM.
- Cibubur, 27 Februari -- Komisi VII DPR menginspeksi SPBU setelah dugaan pengoplosan Pertalite dengan Pertamax. Hasil awal "bersih," tapi kalau quality control di kilang dan SPBU benar-benar berfungsi, mengapa kasus serupa terus terjadi?
- Lamongan, 3 Maret -- Polres dan Disperindag menyatakan BBM sesuai standar. Namun, jika pengawasan benar-benar berjalan, mengapa isu BBM oplosan terus menghantui masyarakat?
Triliunan rupiah hilang setiap tahun akibat BBM oplosan. Mesin kendaraan rusak, polusi meningkat, dan rakyat kembali jadi korban. Jika pengawasan berjalan sejak awal, sidak tidak perlu menjadi "kejutan tahunan."
Quality Control: Tameng Rapuh yang Membiarkan Kecurangan Merajalela
Pengawasan seharusnya menjadi garda terdepan dalam mencegah praktik curang. Tapi kenyataannya, sistem quality control di Indonesia lebih mirip tameng rapuh ketimbang benteng kokoh.
Minyak Goreng:
- Quality control di pabrik gagal mendeteksi takaran yang curang.
- Pengawasan di pasar tidak mampu menarik produk cacat sebelum sampai ke konsumen.
- Harga dikontrol di atas kertas, tapi di lapangan tetap melambung tanpa intervensi berarti.
BBM:
- Pengoplosan terus terjadi meskipun ada sistem pengawasan berlapis dari kilang hingga SPBU.
- Sertifikasi dan audit rutin hanya formalitas tanpa dampak nyata.
- Teknologi pemantauan ada, tapi implementasinya lemah.
Di mana peran lembaga yang bertanggung jawab? Dengan anggaran triliunan rupiah untuk pengawasan dan pelatihan, mengapa kecurangan tetap terjadi? Apakah quality control hanya sekadar stempel formalitas tanpa fungsi nyata?