Mohon tunggu...
Daniel Frierido
Daniel Frierido Mohon Tunggu... wiraswasta -

kopi hitam

Selanjutnya

Tutup

Bahasa

‘Yang Dilupakan’ dari Bahasa

2 September 2012   17:39 Diperbarui: 25 Juni 2015   01:00 170
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Jika melirik keadaan saat ini, situs komunikasi Facebook dan Twitter menjadi ‘konsumsi’ yang paling ‘lezat’ bagi kita di Indonesia, terutama yang berdomisi di kota-kota besar. ‘Konsumsi’ tersebut semakin ‘lezat’ dengan hadirnya BlakBerry(BB) serta Ipad yang mempermudah tiap pribadi untuk ‘mengkonsumsinya’ tanpa harus terikat dengan pc atau laptop. Pemandangan dalam bis yang penumpangnya diam dan menunduk sembari memandang BB atau ipad adalah hal biasa. Pemandangan seseorang yang tertawa dalam bis atau yang mengeluh tiba-tiba setelah memandang BB atau ipad juga sudah hal yang biasa. Semakin ‘lahapnya konsumsi’ Facebook dan Twitter diperlihatkan oleh jarak waktu penulisan yang berdekatan.

Bukanlah menjadi urusan kita juga dan bukan hak kita melarang ‘mengkonsumsi’ Facebook dan Twitter karena kita tidak mau disebut ‘kepo’ dan kita termasuk yang mengkonsumsinya. ‘Kepo’ merupakan kata yang menjalar baru-baru ini disamping kata-kata ‘galau, dan unyu’. ‘Kepo banget sih lu..” demikian penggalan penggunaan kata tersebut. Jika melihat penggunaan kata  ‘kepo’ tersebut beberapa orang mengartikannya “mau tau urusan orang”. Pernah terlintas status seseorang pada beranda Facebook saya: “Kepo banget sih lu jadi manusia? lu bukan peduli tapi kepo!! Emang lu syp? ngomentari foto gue sembarangan! Suka-suka gue mau foto pake rok pendek kek! celana pendek kek! Yang tau gue perawan atau ngga ya gue! Shit! Fuck!!”. Saya hanya heran maksud dari penulisan status tersebut. Namun, pikiran saya lebih meruncing kepada peran bahasa pada status tersebut dan bukan bermaksud ‘kepo’.

Perlu diperhatikan bahwa Geoffery Leech menyebutkan bahasa memiliki fungsi ekspresif, yaitu dapat dipakai untuk mengungkapkan perasaan dan sikap penuturnya. Jika dihubungkan dengan kasus status di atas, maka secara tidak langsung kita dapat melihat bahwa status tersebut mengandung perasaan penulis status. Status di atas jelas menggambarkan perasaan tidak senang penulis status terhadap seseorang. Memang tidak ada undang-undang untuk melarang seseorang berekspresi karena ekspresi bersifat pribadi dan bebas. Namun, yang harus digaris bawahi, kecuali menggabarkan perasaan, bahasa juga memiliki subsistem yang berhubungan dengan perasaan, yakni semantik leksikal.

Pada semantik leksikal terdapat makna piktorial. Makna piktorial ini merupakan makna kata yang berhubungan dengan perasaan. Mansoer Pateda lebih menegaskan bahwa makna piktorial adalah makna yang muncul akibat bayangan pendengar atau pembaca terhadap kata yang didengar atau dibaca. Didefinisikan secara sederhana, bahwa kasus status di atas tidak hanya mengandung perasaan, namun makna perasaan. Makna tersebut dapat dilihat pada kata lu. Lu pada status di atas adalah pronominal nama seseorang. Misalkan lu tersebut adalah Budi, maka sesuai dengan ekspresi diatas, makna Budi = manusia kepo (pengen tahu urusan orang lain).

Kasus lebih jelasnya adalah ketika timnas Indonesia dilatih oleh WIM, maka makna piktorial pada WIM begitu banyak pada ekspresi verbal pecinta FacebookWIM = pelatih murahan, WIM = pelatih banyak bacot, WIM = orang yang goblok. Makna piktorial yang dihadirkan pada WIM bukanlah hadir tiba-tiba, akan tetapi mengacu kepada konteks situasi atau pengalaman yang menjadi konsep pada otak. Sesuai dengan segitiga makna, bahwa makna sebuah kata diperoleh dari pengalaman yang dijadikan rujukan. Oleh karena itu, makna piktorial WIM hadir karena hasil buruk kinerjanya.

Perlu digaris bawahi bahwa perasaan jika tidak diungkapkan atau tidak diekspresikan akan menjadi penyakit dalam diri seseorang. Namun, ada baiknya pengungkapan ekspresi dalam Facebook dibenahi. Hal ini mengingat ekspresi dapat secara tidak langsung menggambarkan karakter pribadi penulis ekspresi.  Jika mengekspresikan perasaan pada individu yang terkenal mungkin wajar-wajar saja, akan tetapi jika perasaan kepada individu yang memiliki kedekatan sosial, ada baiknya ekspresi perasaan dilakukan secara personal (tidak melalui facebook ataupun tiwitter).

Mohon tunggu...

Lihat Konten Bahasa Selengkapnya
Lihat Bahasa Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun