Borobudur adalah mahakarya orang-orang Indonesia. Dari sana ada fakta tak terbantah kalau Indonesia pernah berada pada satu pencapaian peradaban tinggi dunia, sebelum kolonialisme datang. Sistem kolonial menjungkirbalikkan posisi Indonesia yang menurut Pramoedya Ananta Toer (alm) dalam kesaksiannya di dalam film dokumenter karay John Pilger berjudul "The New Rulers of the World" kini telah menjadi bangsa budak.
Sebagai mahakarya, Borobudur bukan sekadar bangunan tanpa makna. Bagiku, dia adalah sumber pengetahuan tak bertepi yang terpahat. Celakanya, kini candi itu sedang dimaknai oleh pihak-pihak yang ingin memaksakan keyakinannya dengan cara menyambung-nyambungkan esensi keyakinannya dengan Borobudur.
1 Agustus 2010
Waktu itu aku bersama-sama dengan 30 penulis muda yang sedang mengadakan workshop di Jogja, menyempatkan diri melancong ke Candi Borobudur. Perjalanan tersebut kami percayakan kepada pengelola biro tour partner hotel tempat kami menginap. Selama perjalanan kami di candi itu didampingi oleh seorang guide.
Aku ingat benar namanya Sony. Umurnya kira-kira 40-an tahun. Dia berpawakan gempal dan berkulit coklat terbakar serta memiliki kening yang hitam. Awalnya Sony menjelaskan kalau Borobudur adalah mahakarya jenius para pendahulu pada masa wangsa Sanjaya dan Sailendra, jujur awalnya aku menyimak penuh penjelasan sang guide tentang di mana esensi kejeniusan Borobudur.
Kemudian menjadi aku kaget luar kepalang ketika dari penjelasan matematisnya bahwa Borobudur terdiri dari 7 tingkatan, yang diasumsikan seperti keyakinan umat Islam bahwa ada tujuh tingkatan langit untuk mencapai sorga (Mohamad di langit ketujuh saat Isra Miraj). Kekagetanku tidak bertahan lama dan berubah menjadi kekesalan karena ilmu gothak-gathikgathuk-nya Sony ini semakin menjadi-jadi. Ada banyak sekali penjelasan matematis yang aku tidak ingat persis yang semuanya ditautkan ke ajaran Islam. Dalam satu penjelasan, dia mengatakan kalau patung-patung yang ada di borobudur bukanlah patung Budha!
"Lalu patung siapa?" tanyaku.
"Orang Budha saja akan marah kalau patung-patung itu disebut Budha!" terang Sony.
Kontan aku protes keras dipenghujung perjalanan.Aku memarahi balik orang ini. Dia hanya mesem dan sambil ngacir dan berkilah , "Ya kalau mas percaya itu patung Budha ya boleh-boleh saja!"
Jujur aku menjadi sangat curiga dari sini.Aku telpon pacarku yang juga penganut ajaran Budha dan heran luar biasa dengan ceritaku. Dan dia membantah guide ini.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H