Indonesia ini negara kaya bahkan super kaya dibanding negara-negara yang ada di belahan dunia manapun. Segala sumber daya alam ada di bumi nusantara ini, sumber daya manusia juga bisa diandalkan. Namun apa yang terjadi dengan negara kita saat ini,selain reformasi demokrasi tidak ada yang berubah dibanding di masa pemerintahan Soekarno dan Soeharto.
Bila mau lihat Indonesia maka lihatlah Daerah Khusus Ibukota Jakarta. Bila Indonesia di analogikan seperti seorang wanita, maka Indonesia ini cantik luar saja tapi dalamnya rusak. Wajah berlubang-lubang di dempul dengan bedak tebal biar mulus, kulit tubuh yang penuh penyakit kulit ditutup-tutupin dengan lotion bila perlu pakai pakaian mahal menutupinya. Pakai wangi-wangian untuk menutup bau badan yang menyengat.
Tahun 2014 ini benar menjadi ujian Gubernur Joko Widodo dan Wakil Gubernur Basuki Tjahja Purnama dalam mewujudkan mimpinya Jakarta Baru sesuai Jargon Kampanyenya pada tahun 2012. Tiga Program Utama kampanye Duet Jokowi-Basuki, antara lain: 1. Kartu Jakarta Pintar (KJP), yang sudah terlaksana; 2. Kartu Jakarta Sehat (KJS), yang juga sudah terlaksana dimana tahun 2013 juga dilakukan pembenahan akibat tidak mampunya rumah sakit menampung banyak pasien yang menggunakan KJS. Tahun ini KJS akan diintegrasikan dengan Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) Kesehatan untuk menyukseskan program pemerintah pusat akan Jaminan Kesehatan Nasional (JKN); 3. Reformasi Birokrasi, Inilah program yang paling penting agar para siluman dan relasi-relasinya yang tiap tahun makan Anggaran Pendapatan Belanja Daerah (APBD) Provinsi DKI Jakarta bisa dikurangin bahkan dihilangkan. Program ketiga dari duet Jokowi-Basuki ini menambah daftar musuh karena lawan politik mereka sudah menjadi musuh utama. Namun keduanya konsisten melakukan program tersebut untuk kepentingan masyarakat Jakarta.
Terlaksananya Tiga Program utama itu tidak membuat mereka melupakan Dua Persoalan utama di Jakarta yaitu: banjir dan kemacetan. Dari zaman Hindia Belanda hingga saat ini banjir menjadi persoalan tidak terselesaikan. Dalam kurun waktu lima belas tahun terakhir kemacetan menjadi persoalan yang tidak terselesaikan. Dua persoalan ini yang menjadi tuntutan semua orang termasuk saya pribadi. Namun yang sangat mengherankan kok baru sekarang kita menuntut bukan dari 20 atau 30 tahun yang lalu? Walau itu hanya sekedar mengingatkan para pemimpin-pemimpin tersebut.
Hanya Presiden Soekarno yang membuat seorang pejabat untuk mengatasi masalah banjir di Jakarta. Hanya Gubernur Ali Sadikin yang memetakan ruang terbuka hijau dan daerah resapan air di DKI Jakarta serta yang merencanakan pembangunan tujuh waduk untuk menampung air dari sejumlah titik-titik banjir tersebut. Sayangnya dalam masa jabatan Bang Ali hanya sempat membuat tiga waduk sisanya hingga sekarang hanya bisa tinggal kenangan, karena sudah menjadi daerah pemukiman bahkan dua dari tiga waduk yang dibangun oleh Gubernur Ali Sadikin yaitu menjadi Waduk Pluit dan Ria Rio menjadi daerah pemukiman liar juga sebelum di normalisasi oleh Jokowi-Basuki saat ini. Lalu datanglah Bang Yos membangun Kanal Banjir Barat dan Kanal Banjir Timur. Khusus Kanal Banjir Timur penyelesaiannya di teruskan penerus Bang Yos, Bang Fauzi.
Bertambahnya laju penduduk DKI Jakarta dan juga daerah satelitnya seperti Bogor, Depok, Tangerang, dan Bekasi menjadi menambah persoalan kemacetan yang seharusnya menjadi perhatian khusus pemerintah daerah bahkan pemerintah pusat. Namun benar yang dikatakan Pak Jokowi, bahwa Rakyat Indonesia yang lain tidak bisa dilarang datang dan hidup di Ibukota Negara Indonesia, Jakarta. Tapi tepat juga yang dikatakan Pak Basuki (Ahok) bahwa harus punya kemampuan dan keahlian agar bisa bekerja di Jakarta agar tidak menjadi pengangguran dan menjadi beban Ibukota Jakarta.
Sebelum Jokowi-Basuki tidak ada pemimpin yang visioner untuk membangun angkutan massal bahkan langkah Bang Yos membangun TransJakarta yang dulunya mendapat tantangan di tahun 2004 sekarang menjadi salah satu solusi, namun itu tidak cukup karena di negara-negara lain kereta merupakan angkutan umum yang paling berhasil. Olehnya Bang Yos segera merencanakan pembangunan Monorail dan Mass Rapid Transit (MRT). Khusus MRT ini, studi kelayakan dan perencanaan sudah dijalankan pada masa Presiden Soeharto. Namun kembali setelah Bang Yos meletakkan jabatan, pembangunan Monorail dan MRT hanya sekedar wacana yang tidak kunjung dilanjutkan pembangunannya oleh penerus Bang Yos.
Kapan banjir dan macet Jakarta dapat terselesaikan? Pertanyaan ini terlalu klise karena baru tahun 2014 ini ada pertanyaan seperti itu. Saya ingat sekali liputan media akan banjir besar di Jakarta pertama kali diliput itu pada tahun 2002, lalu mengalami sendiri pada tahun 2007, 2013. Namun daerah Grogol adalah daerah langganan banjir maka tiap hujan pasti banjir, 2010, 2011, 2012, 2013,dan 2014. Tahun 2014 ini agak aneh karena kadang banjir kadang tidak banjir walau diguyur hujan seharian dan kalaupun banjir cepat surutnya. Mengapa media di negara ini tidak menagih janji Pemerintah Pusat dimana pada tahun 2010 Pemerintah Pusat mengambil alih penanganan kemacetan DKI Jakarta dari Pemerintah Provinsi DKI Jakarta? Hanya Tempo yang sempat mengingatkan untuk melawan lupa.
Buat Joko Widodo dan Basuki Tjahja Purnama (Ahok) yang ingin mewujudkan mimpinya Jakarta Baru mau tidak mau harus mengambil kebijakan gila yang tidak rasional lagi dan harus memiliki ketegasan yang dipunyai Bang Ali Sadikin dan Bang Yos untuk mengatasi masalah banjir dan kemacetan DKI Jakarta. Segala master plan yang telah dibuat para ahli untuk mengatasi banjir dan kemacetan segera dieksekusi namun saya yakin dan pasti akan berbenturan dengan Komnas HAM dan itu akan menjadi bahan politisisasi.
Khusus daerah Grogol pengerukan endapan tanah dari saluran air yang besar itu belum juga dilakukan padahal endapannya udah setinggi jalan sehingga bila hujan sudah pasti air mengalir ke saluran air kecil lalu ke saluran air besar. Namun sayangnya saluran air besar tidak mampu menampung menampung air lagi sehingga mau tidak mau air akan meluap ke jalan dan banjir. Sehingga satu-satunya jalan selain mengeruk endapan tanah tersebut adalah membongkar jalanan dari tebalnya aspal diganti dengan paving blok yang sebelumnya di timbun dengan tanah untuk ditinggikan sehingga ini menjadi "Area Resapan Air Yang Baru". Dengan kata lain semua titik-titik banjir di Jakarta itu dibuatkan area resapan air yang baru disamping pembuatan sumur-sumur resapan.
Selain normalisasi sungai besar dan kecil juga dibuatkan ruang terbuka hijau di sekitar daerah pinggiran sungai baik yang besar dan kecil agar tidak ada pemukiman baru lagi dan ditambah lagi dengan area resapan air yang baru yang mau tidak mau harus mengorbankan banyak jalan-jalan beraspal dan juga sudah pasti pemukiman penduduk baik yang tidak permanen hingga permanen.
Tanah-tanah milik pemerintah Provinsi DKI Jakarta bahkan Pemerintah Pusat alias milik Negara begitu banyak tersebar dan terabaikan pengurusannya sehingga banyak tanah-tanah tersebut ditinggali orang dan itu akan menjadi persoalan baru lagi bila tidak segera difungsikan menjadi ruang terbuka hijau atau jadi waduk karena dengan semakin panjangnya musim kemarau sudah pasti DKI Jakarta akan mengalami kesulitan air bila tidak membuat banyak area resapan air dan penampungan air.
Pembangunan rumah susun, apartemen bersubsidi, dan apartemen yang disertai ruang terbuka hijau itu sepertinya sudah wajib di bangun di Jakarta dan tentu saja juga daerah-daerah satelit seperti Bogor, Depok, Tangerang, dan Bekasi karena bila Jakarta sukses membangun untuk mengatasi persoalan banjir dan kemacetan namun daerah satelitnya tidak sukses alias membangun tidak memperhatikan lingkungan maka Jakarta tetap akan banjir dan macet. Pembangunan MRT dan Monorail sudah dieksekusi oleh Jokowi, walau pembangunan MRT di Terminal Lebak Bulus sedikit menjadi polemik dan politisisasi lagi karena menyangkut orang-orang yang hidup dan kerja selama ini di terminal itu.
Program Giant Sea Wall yang diwacanakan Bang Foke dan Program Giant Tunnel yang diwacanakan Jokowi tahun 2013 perlu dilakukan studi kelayakan dan perencanaan matang pembangunannya sebelum dieksekusi Jokowi-Basuki. Tapi apapun yang dilakukan dan akan dilakukan Jokowi-Basuki untuk mengatasi dua persoalan besar DKI Jakarta akan membutuhkan anggaran dana yang sangat besar dan juga akan menghadapi persoalan HAM. Penegakan UU dan Perda yang akan denda dan/atau hukuman buat pelanggar berlalu lintas dan buang sampah sembarangan itu mendapatkan tantangan dari lawan politik.
Jadi, lebih baik kita biarkan saja pengrusakan Ibukota Negara kita tercinta ini terjadi seperti yang sudah-sudah terjadi dan dibiarkan pada masa pemimpin-pemimpin sebelumnya karena apapun yang dilakukan Jokowi-Basuki buat pembenahan dan mengatasi dua persoalan besar dari Ibukota Jakarta pasti selalu mendapat tantangan dan rintangan dari golongan masyarakat yang tidak ingin melihat mereka sukses membenahi dan mengatasi dua persoalan besar tersebut apalagi mereka adalah lawan politik.
Ibukota Jakarta adalah cerminan Indonesia dan lihatlah Indonesia sekarang-sekarang ini, banjir dan macet juga terjadi dimana-mana. Bahkan ada yang mengalami musibah banjir yang lebih parah dari Jakarta. Bila melihat kondisi saat ini, alam saja sudah muak dengan pembangunan yang tidak perhatikan lingkungan. Pilihan kita sebagai masyarakat Jakarta hanya ada dua yaitu: 1. Membantu membenahi dan mengatasi dua persoalan besar ini dengan kritikan yang membangun dan juga segera sadar diri bila kita melakukan kesalahan akan aturan-aturan yang telah ada, atau 2. membantu merusakin seperti yang sudah-sudah terjadi sebelumnya dan juga terus saja mencari-cari kesalahan untuk menjatuhkan. Pilihan sekarang ada pada kita!
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H