SURABAYA - Industri film Hollywood telah menjadi sumber hiburan global yang tak terbantahkan, tetapi di balik kilauannya, terdapat kecemasan yang berkembang tentang cara representasi etnis diproses dalam produksi film. Salah satu kontroversi yang sering muncul adalah ketika karakter dalam cerita aslinya, yang secara eksplisit atau implisit dijelaskan memiliki latar belakang etnis tertentu, diubah dalam adaptasi film dengan memberikan identitas etnis yang tidak sesuai.
Contoh yang sangat kontroversial dari fenomena ini adalah film terkini yang mengalami kritik pedas, yaitu adaptasi live-action dari serial animasi populer "Avatar: The Last Airbender". Dalam serial animasi, karakter utama, Aang, dan beberapa karakter lainnya, jelas-jelas diwakili sebagai berkulit putih. Namun, dalam adaptasi live-action yang diumumkan, beberapa peran utama yang seharusnya berkulit putih diubah menjadi karakter berkulit hitam. Keputusan ini menimbulkan reaksi negatif dari penggemar setia serial, yang merasa bahwa ini adalah pengkhianatan terhadap karakter asli dan menunjukkan ketidakpedulian terhadap integritas cerita.
Sorotan pertama jatuh pada peran Katara, seorang pengendali air yang kuat dan penuh semangat. Dalam serial animasi, Katara digambarkan sebagai seorang perempuan dengan fitur wajah yang khas, yang menggambarkan warisan budaya Inuit, yang juga dikenal sebagai Eskimo. Namun, ketika pengumuman pemeran untuk versi live-action dilakukan, penggemar dengan cepat menyadari bahwa pemeran yang dipilih, Nicola Peltz, adalah seorang aktris kulit putih dengan latar belakang etnis yang jauh dari karakter aslinya. Hal yang sama berlaku untuk karakter Sokka, yang dalam versi animasi memiliki ciri-ciri yang mirip dengan Katara, tetapi dalam versi live-action diperankan oleh seorang aktor kulit putih, Jackson Rathbone.
Pilihan casting yang kurang sesuai ini menjadi sorotan utama di media sosial dan forum penggemar. Bukan hanya karena ketidaksesuaian etnisnya, tetapi juga karena keputusan ini terasa seperti pengecualian terhadap kesempatan bagi aktor-aktor Asia atau keturunan Inuit untuk mengambil peran yang begitu penting dalam representasi budaya yang kuat dalam serial ini. Ketika industri hiburan terus berbicara tentang pentingnya inklusi dan representasi yang akurat, keputusan seperti ini tampaknya berlawanan dengan nilai-nilai tersebut.
Alasan di balik pilihan casting yang kontroversial ini bervariasi. Beberapa pihak menyebutkan masalah keterbatasan dalam audisi, sementara yang lain mengkritik keputusan studio untuk memilih nama-nama besar yang dianggap lebih "komersial" daripada memprioritaskan akurasi etnis. Bagaimanapun juga, ketidaksesuaian ini menggarisbawahi masalah yang lebih luas dalam industri hiburan, di mana pemeran kulit putih sering kali dianggap sebagai pilihan yang "aman" atau "dapat dijual" dibandingkan dengan aktor-aktor dari latar belakang etnis yang sesuai dengan karakter yang digambarkan.
Namun, perdebatan ini juga menyoroti kekuatan komunitas penggemar dalam memperjuangkan representasi yang lebih akurat. Dengan suara mereka yang keras dan jelas di media sosial, penggemar Avatar: The Last Airbender menegaskan bahwa mereka tidak akan diam melihat perwujudan yang kurang tepat dari karakter-karakter yang mereka cintai. Ini menunjukkan pentingnya mendengarkan dan merespons harapan dan kekhawatiran penggemar, serta menekankan bahwa pengaruh budaya dapat bertindak sebagai cermin nilai- nilai masyarakat yang lebih luas.
Sementara Avatar: The Last Airbender live-action tetap menjadi topik yang kontroversial, kontroversi ini telah memberikan kesempatan bagi industri hiburan untuk merenungkan kembali praktik-praktik casting mereka dan untuk lebih memperhatikan representasi yang akurat dan inklusif. Dengan harapan, hal ini akan menjadi langkah awal menuju dunia hiburan yang lebih mewakili keberagaman budaya yang kaya di seluruh dunia.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H