Suasana kehidupan bermasyarakat kembali menghangat di akhir bulan September. Penyebabnya apalagi kalau bukan isu G30S/PKI. Setiap tahun kita selalu dirundung polemik yang sama, yaitu apakah peristiwa G30S/PKI itu benar-benar ada atau hanya rekayasa sejarah?Â
Tahun ini, polemik itu bertambah dengan isu seputar film G30/PKI. Di jaman Orde Baru, kita masih ingat bahwa setiap tanggal 30 September selalu diputar film G30S/PKI. Â Film yang diproduksi oleh Pusat Produksi Film Negara (PFN) itu pertama kali diputar tahun 1984, diangkat dari buku sejarah Tragedi Nasional Percobaan Kup G30S/PKI yang ditulis oleh Nugroho Notosusanto. Sutradara film ini adalah Arifin C. Noer, melibatkan 200 aktor dan ribuan figuran, dengan anggaran mencapai Rp 800 juta. Angka yang fantastis di saat itu. Biaya yang besar ini mendapat ganjaran setimpal dengan jumlah penonton yang membludak di bioskop dan menerima beragam penghargaan FFI (Festival Film Indonesia).Â
Sejak itu, film ini diwajibkan diputar di TVRI setiap tanggal 30 September. Rutinitas itu baru berhenti 14 tahun kemudian sejak masuk jaman reformasi, tepatnya bulan Oktober 1998. Penyebabnya, banyak kalangan yang protes dengan film itu karena banyak terdapat kesalahan sejarah. Salah satu protes keras datang dari TNI AU yang merasa disudutkan karena seolah-olah Halim Perdanakusuma adalah sarang PKI. Kesalahan lain adalah adegan Presiden Soekarno yang digambarkan sedangf sakit, padahal di berbagai rekaman sejarah terbukti Soekarno cukup bugar karena menghadiri berbagai acara nasional, seperti  Musyawarah Nasional Teknik di Istora Senayan Jakarta tanggal 30 September 1965. Sejarah memang penuh dengan penafsiran dan interpretasi.
Kejatuhan Orde Baru telah membuka peluang munculnya berbagai macam analisis dan interpretasi baru dari peristiwa G30S/PKI, yang bertujuan untuk menggali peristiwa sebenarnya dan meluruskan sejarah. Analisis itu bergerak di seputar alternatif 'dalang' lain dalam peristiwa tersebut, lalu penggambaran penyiksaan dan pembunuhan yang sadis yang menjadi salah satu bagian vital dalam film tersebut karena paling diingat oleh penonton, dan tentunya kritik terhadap peran Soeharto yang digambarkan sebagai problem solver atau pahlawan di setiap sudut peristiwa di film tersebut. Tetapi, analisis dan interpretasi segar tersebut, alih-alih diterima, ternyata belum mampu mencuri perharian masyarakat Indonesia. Bayang-bayang kekejaman PKI yang direkonstruksi melalui film G30S/PKI itu telah demikian menancap dalam pikiran bangsa ini, hingga menutup pintu bagi munculnya pemaknaan sejarah yang berbeda. Realitas yang dikonstruksi dari film tersebut telah sukses menjadi sebuah hegemoni dalam masyarakat. Bahkan, setelah sekian lama, kini animo masyarakat untuk menonton film tersebut muncul kembali untuk mengantisipasi kekhawatiran terhadap isu-isu bangkitnya kembali ideologi komunis ala PKI di masyarakat modern kita.
Tidak tanggung-tanggung, Panglima TNI Jenderal Gatot Nurmantyo menerbitkan anjuran untuk jajaran militer di bawahnya agar menyelenggarakan nonton bareng (nobar) film ini bersama masyarakat. Walaupun diterpa isu miring kiri kanan, namun Gatot tak bergeming. "Tujuan saya adalah agar generasi muda tahu bahwa negara ini pernah punya sejarah kelam, dan jangan sampai sejarah itu berulang", kata Gatot. Anjuran itu mendapat sambutan cukup hangat dari masyarakat. Kenyataannya yang menggelar nobar bukan hanya jajaran TNI, tetapi juga berbagai lapisan masyarakat: masjid/tempat ibadah, sekolah, kampung-kampung, ormas, dan lain-lain. Media sosial pun riuh rendah dengan berbagai postingan dan hestek tentang nobar ini di berbagai kesempatan.
 Yang unik, film yang diputar saat ini ternyata bukan versi full-nya. Banyak edit dan cut di sana-sini dan terlihat hanya berfokus pada penggambaran kekejaman PKI terhadap para jenderal yang menjadi korban. Bahkan logo PKI pun dibuat blur. Padahal film asli yang berdurasi 3,5 jam itu tentunya sebuah kesatuan narasi yang saling berkaitan antara satu adegan dengan adegan lain. Di pihak lain, Presiden Jokowi sudah mengusulkan agar film tersebut direkonstruksi ulang agar mudah dipahami oleh generasi muda milenial saat ini. Pertanyaan yang muncul adalah, akankah film yang akan dibuat ini menjadi narasi baru untuk menancapkan hegemoni lain dari rezim ini? Wallahu a'lam.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H