Mohon tunggu...
Burdani Dani
Burdani Dani Mohon Tunggu... Insinyur - Sastra Mengubah Dunia

Saya senang membaca, saya juga berusaha menuliskan sesuatu yang berguna bagi orang. Boleh jadi menjadikannya hiburan atau penggugah inspirasi bagi orang.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Sepertiga Senja di Tangkuban Perahu

4 Desember 2011   15:40 Diperbarui: 25 Juni 2015   22:50 162
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

“Mengertilah angin, izinkan aku menunggu kekasihku menjumpaiku disini. Jangan bertanya kepadaku angin, mengapa aku datang begitu pagi hingga tak menunggu kabut ini hilang. Kau nanti akan mengerti mengapa aku lakukan tindakan lucu atau bodoh menurutmu. Temani saja aku dan jangan berhembus terlalu kencang dengan dingin yang kau tawarkan. Lirih saja hembusanmu, sehingga nalar dan emosiku bisa tenang mengenang kembali semua keindahan sisi cintaku. Wahai angin, jangan kau merasa terusik atau terhalangi perjalanan hembusanmu, bersahabatlah denganku, tak akan lama aku disini.”

Begitu murung raut muka Jaka, ia memikirkan baik-baik kata-kata yang akan dia ucapkan nanti. Jaka berharap ini sebuah pertemuan terakhir yang indah meski akan sangat menyakitkan hatinya. Bagaimanapun ini sebuah pertemuan yang akan menghasilkan keputusan secara sepihak dan harus Jaka paksa terima dengan kebesaran hati. Jaka tak bisa memaksakan atas sebuah cinta, baginya cinta adalah anugerah Tuhan yang terindah tuk dirasa dan dihayati keagungan dan kelembutannya.

“Meski aku yang harus pergi, tak apa meski itu tak kumengerti !”

Kau tahu kala cinta itu hadir tanpa sebuah rencana, ia mengalir lembut melewati celah-celah relung kalbu dengan keindahan mencipta nyanyian romantis menghapus elegi duka, cinta berkata sebuah pengorbanan indah atas kesetiaan hati, cinta melangkah bersahaja pada titian hati mengungkap sisi dalam diri, kesetiaan cinta hanya butuh kesederhanaan kejujuran dengan keterbukaan ketulusan, dengan itu cinta akan dimiliki semua hati yang meminta kesejukan dan kebahagiaan.

Pandangan Jaka nanar melihat kepulan asap kawah Tangkuban Perahu,

“Begitukah cintaku ?”

Sejenak Jaka termenung, mengingat kembali untaian kenangan manis sewaktu ia tuk pertama kalinya bertemu Rianti. Cinta berbicara saat ketaksengajaannya beradu pandang dengan Rianti, hatinya seperti terbelah oleh gelombang lembut dengan frekuensi indah. Ada seulas senyum Rianti yang cukup menggetarkan ego rasionya, tak bisa dijabarkan pada sebuah fakta fisika karena cinta berjalan pada garis imaginer antara suka dan duka. Itulah sebuah perubahan awal perjalanan dua hati menyatukan kata dan semangat dengan tangis atau suka bersama.

Jaka sangat berusaha menempatkan cinta pada proporsi secara seimbang, bukan karena ia lelaki yang mengedepankan rasionalitas tetapi itu semata-mata untuk memberikan naungan cinta yang kokoh dan indah agar cinta mempunyai tempat terindah di hatinya. Cinta adalah Cinta, tak santun bila cinta dikotori nafsu duniawi dan tujuan lainnya. Sayang, ini berbeda di mata Rianti, segala kemanjaan senantiasa ia perlihatkan di depan orang saat bersama Jaka. Bukan Jaka tak senang dengan itu, ia lelaki normal dengan seribu hayal akan pesona wanita. Namun perlu dipertimbangkan, ada sisi hati wanita lain dan norma yang berlaku. Ada beberapa mata wanita memandangnya dengan kecemburuan dan sakit hati, akan menjadikan itu sebuah awal masalah.

***

Sore itu pada sebuah cafe kecil, Jaka dan Rianti menikmati sentuhan rasa Kopi Robusta menemani senja. Perbincangan kecil menggelitik hati dipadu canda renyah, Rianti berusaha terus menggoda Jaka,

“Lihatlah Jaka, lihat mataku ini !” Rianti membelalakkan matanya percis di depan wajah Jaka.

“Buka hatimu, matamu akan melihat bola mataku perlahan-laham akan berbentuk hati !” Rianti bak seorang Hipnoterapi meyakinkan pandangan Jaka.

Entah mengapa Jaka pun merasakan bola mata kekasihnya itu benar-benar berubah bentuk, menjadi sebentuk hati. Jaka keheranan apa yang telah ia lihat, ia memejamkan matanya segera. Begitu matanya terbuka kembali, Jaka melihat bola mata kekasihnya itu masih berbentuk hati.

“Hahahahahahaha”....Jaka tertawa, “Aku sudah gila rupanya, pandangan mataku terlalu dirasuki hatiku yang begitu mencintaimu.”

Kini Jaka melihat bola mata Rianti begitu bulat indah, menatapnya dengan seulas senyum.

Kemudian Jaka menggenggam jemari Rianti, dengan nada tenang Jaka berkata :

“Sayangku, aku senang perjalanan waktuku sudah semakin indah, kau juga memberikan tema cerita ceria pada hari-hari kita. Dengarlah namun mengertilah, ketika kau mencintaiku dan aku sambut juga dengan cinta tetapi ada beberapa cinta lainnya yang berharap sama padaku. Aku tentu akan setia pada cintaku, namun aku juga harus menghormati cinta yang mereka harapkan itu. Aku tak mau mereka terluka hati, aku inginkan sebuah pengertian kemudian pada hati mereka. Mereka juga wanita sepertimu yang terdiri dari hati yang sangat halus dan lembut. Pastinya kelembutan hati dan cinta mereka itu harus terjaga dan tak boleh terlukai.”

Rianti kini memandang serius Jaka,

“Lalu maksudmu!”

Jaka tersenyum sebelum ia lanjutkan kata-katanya,

“Sikap manjamu kepadaku yang kau pertontonkan di depan mereka, itu akan melukai hati mereka, cukuplah aku bersusah payah memberikan pengertian secara perlahan kepada mereka. Itupun aku lakukan dengan sangat hati-hati. Janganlah pula kau artikan sikapku itu seakan aku menyambut cinta mereka. Yakinkan, bahwa cintaku hanya kepadamu.”

Rianti memotong perkataan Jaka,

“Jaka, aku bangga bisa menjadi kekasihmu. Aku inginkan mereka mengerti bahwa kau sudah menjadi milikku. Mereka seharusnya bisa menerima kenyataan itu dan mencari lelaki lain untuk mereka cintai dan menyimpannya baik-baik cinta mereka itu !”

Rianti kini berbicara agak gemetar,

“Seharusnya juga mereka menghormati sikapku yang bermanja kepadamu, aku ini kan kekasihmu !”

Jaka menghela nafasnya, seribu gundah dan sayang beradu pada sebuah pemikiran menyelesaikan masalah ini. Bagaimana caranya memberikan pengertian kecil untuk hati kekasihnya, Jaka tak mau kekasihnya terlalu egois terhadap apa yang dia yakini.

Bukankah ketika cinta telah kita miliki, tak ada kata wajib untuk memperlihatkan naluri cinta bukan pada tempatnya, sebuah hati terpilih baiknya dijalin dengan kata penghargaan akan keberadaan cinta lainnya, saat mencinta dan tak mungkin dimilikilah yang membuat sebuah sumbatan hati pada cinta lainnya, rinai tangis akan turun deras pada kisi-kisi hati terluka, jangan tanyakan kata pasrah pada fase itu karena fase itu adalah sebuah jeda kesedihan yang tak berharap untuk dihakimi.

Sadar akan situasi, Jaka mengajak Rianti tuk pulang. Senja pun telah menutup siang dengan meningglakan segala sejarah akan makna cerita kehidupan. Jaka memandang Rianti yang membelakanginya melangkah memasuki rumahnya, sang Bunda menyambutnya di depan pintu dengan ramah.

“Maaf Bunda, kata Jaka, ia tak sempat mampir karena harus segera menghadiri rapat di perusahaannya.”

Dari kejauhan Bunda tersenyum dan melambaikan tangan pada Jaka, Jaka pun membalasnya. Jaka meninggalkan rumah Rianti dengan perasaan berkecamuk, sebenarnya ini masalah yang sederhana untuk disikapi jika Rianti bisa bersikap sedikit dewasa.

Pada sebuah waktu siang, Jaka tak sengaja melihat Rianti berjalan berdua bersama seorang pria di sebuah toko buku tenama. Terlihat Rianti begitu riang, memperlihatkan tawa dengan gerak tubuh begitu santai.

“Siapakah lelaki itu ?”

Jaka bergegas mendekati mereka berdua, namun baru tiga langkah ia mengurungkan niatnya. Jaka berniat melihat mereka dari kejauhan dan mengikuti perjalan mereka. Mereka kini berjalan menuju sebuah restoran fastfood di persimpangan jalan. Mereka kini bergandengan tangan, tetapi dengan kedekatan yang masih wajar. Mereka menempati sebuah meja bundar dipojok kanan ruangan, terlihat dari sebuah jendela besar di samping mereka. Mereka masih terus memperbincangkan sesuatu sepertinya. Hingga seorang teman Jaka mengejutkannya,

“Hai Jaka sedang apa kau disini ?”

Teman Jaka juga ikut menelusuri penglihatan Jaka yang sedang memperhatikan sesuatu, untunglah ia tidak melihat Rianti yang sedang berdua dengan pria lain di restoran itu.

“Oooh, aku sedang mencari teman lama yang sepertinya tadi aku melihatnya di sana !”

Jaka berusaha membuat alasan sekenanya, menutupi kejadian sebenarnya. Selajutnya mereka terlibat pembicaraan formal pekerjaan, meskipun sesekali mata Jaka mencuri pandang mengamati Rianti dari kejauhan. Sayang, temannya kini mengajaknya beranjak pergi.

Keesokanharinya Jaka mengajak Rianti mengunjungi toko buku yang sama, Jaka ingin membicarakan dan menanyakan kejadian kemarin pada tempat yang sama.

“Begitu banyak buku yang dijual disini, begitu banyak pula ilmu dan rahasia yang tersimpan dan siap diungkap.”

Rianti tak mengerti apa yang Jaka maksudkan, Rianti balik berkata pada Jaka,

“Apa maksudmu ? Bukankah memang ini toko buku yang menyediakan gudang ilmu.”

“Aku kemarin kemari, mencari referensi untuk data penunjang proyekku.” Jaka melanjutkan.

Rianti kini tak mau beradu pandang dengan Jaka, agak kaku ia membuang pandang pada sebuah rak buku berisikan Novel best seller. Rianti terdiam agak lama, kemudian secara ragu berkata,

“Aku kemarin mengantarkan teman lama menemui keluarganya, dari stasiun kereta kami langsung menuju rumah kakak temanku itu.”

“Bukankah itu sebuah kebohongan !” Hati Jaka menegaskan itu.

Jaka kini balik terdiam mendengarnya, betapa tidak, kekasihnya telah berusaha membohonginya. Jaka tak bisa menerima ini, karena sejauh ini mereka sepakat mengedepankan kejujuran meski itu pahit untuk dirasa dan diterima. Jaka merasakan sudah mulai ada yang berbeda pada Rianti, tentu hati sejati tak bisa ditutupi kepalsuan.

“Jaka, aku harus mengatakan sesuatu !”

“Maafkan, aku inginkan kita jeda sementara waktu, bukan itu tapi maksudku. Aku ingin mengakhiri hubungan kita.”

“Tetapi jangan tanyakan dan paksa aku menjelaskan mengapa itu aku putuskan, karena aku sendiri belum mempunyai jawaban yang bisa kumengerti dengan nalarku.”

Jaka hanya terdiam, kelelakiannya berusaha keras menahan semua gejolak bathinnya, Jaka berusaha menjawab dengan tenang. Sambil berjalan menuju pintu keluar toko buku, Jaka meminta Rianti membahas itu di sebuah tempat yang Jaka tentukan.

Rianti menyetujui, “Baiklah kita bahas itu di sana pukul empat sore, ya !”

***

Kawah Tangkuban Perahu, seperti yang dijanjikan, Rianti menepati janjinya, ia datang dengan senyum menghampiri Jaka. Jaka tak membalas senyum itu, ia hanya memperhatikan dengan lekat mata Rianti. Jaka masih berharap akan mengetahui lebih banyak cerita dibalik bola mata indah itu.

Rianti terlihat gugup menerima pandangan khas Jaka yang sering ia terima di hari-hari kemarin, pandangan sejati seorang lelaki dengan penuh kesetiaan.

“Ada cinta yang tiba-tiba mengikat hatiku, sebuah cinta lama yang entah mengapa kini hadir merusak keutuhan cintaku padamu. Aku tak kuasa akan memposisikan diri di hadapanmu Jaka, cinta itu begitu saja membuatku terhanyut dan tak ada kemampuan tanganku untuk berpegang pada cinta kita. Aku akan bersedih sesungguhnya, aku juga lemah akan kehadiran cinta itu. Seribu tanya aku lontarkan pada hatiku sendiri, mengapa ini menggoyahkan yang ada. Aku terlalu lemah untuk setia kepadamu Jaka !”

Rianti berkata dengan tersendat-sendat, seakan ia tak mau dipersalahkan atas keputusan sepihak yang ia buat. Jaka kembali menatap mata Rianti,

“Sungguh memang itu yang kau rasakan ?Jaka bertanya lirih.

Rianti tertunduk dan tak menjawabnya. Jaka sedikit memaksa mengangkat dagu Rianti, kini Jaka melihat mata indah itu telah berkaca-kaca siap mencurahkan tangis hangatnya.

“Jangan menangis, aku akan coba mengerti akan semua yang kau rasakan. Cinta datang pada kita juga tanpa kita rencanakan, saat cinta itu mengikat kita dengan segala keindahan dan disana kita merasakan kebahagiaan. Tak mustahil, jika cinta itu suatu hari akan meninggalkan kita dengan diam-diam.”

Mendengar itu, Rianti memandang dalam-dalam wajah sendu Jaka. Kini ia melihat wajah itu begitu kelu dan muram, meski sepasang mata tajam seperti elang nan teduh itu masih jelas terkesan. Dalam hati Rianti tak menyangka Jaka akan berkata seperti itu,

“Bagaimana mungkin, hati lelaki ini begitu setia meskidi ujung sebuah cinta. Pengertiannya begitu membumi dan menghantam dahsyat semua keraguan. Cinta ia tempatkan pada posisi kemuliaan dan ketulusan bukan paksaan penerimaan yang semu. Bagaimana mungkin lelaki agung ini aku tinggalkan dengan segala ceritaku kemarin dengannya.”

Saat itu senja telah mulai memerah pada batas cakrawala, memberikan semburat emas pada tirai langit menggandeng awan jingga. Angin tersenyum mendengarkan cinta yang terungkapkan sempurna. Naluri cinta berjalan alami dan tak berkata sengau pada alam, cinta terbawa pada bisikan hati jujur dan mengalir, disitulah cinta akan bertahan.

Illustration by Gooble.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun