Mohon tunggu...
Burdani Dani
Burdani Dani Mohon Tunggu... Insinyur - Sastra Mengubah Dunia

Saya senang membaca, saya juga berusaha menuliskan sesuatu yang berguna bagi orang. Boleh jadi menjadikannya hiburan atau penggugah inspirasi bagi orang.

Selanjutnya

Tutup

Puisi

Mak Iroh Pemetik Teh

5 Mei 2011   15:14 Diperbarui: 26 Juni 2015   06:02 2721
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Puisi. Sumber ilustrasi: PEXELS/icon0.com

Mata Mak Iroh tak tahan menahan kantuk menunggu hujan sedikit mereda, duduk pada bale-bale kusam depan rumah sederhananya. Nanar Mak Iroh memandang arakan kabut yang turun dari perbukitan, kabut segera menyebar pada hamparan hijaunya kebun teh tepat di hadapannya. Suasana begitu hening namun sangat menentramkan hati ditemani dinginnya angin yang bertiup semilir menggoyangkan pucuk-pucuk muda daun teh. Mak Iroh masih memandangi rintik hujan dengan sejuta kenangan dan pemikiran yang senantiasa terus membayanginya. “Aku sudah begitu lama disini, sejak muda tanganku sudah disibukkan memilih pucuk-pucuk terbaik daun teh. Dahulu memang masaku untuk memetik dengan penuh semangat karena saat itu hatiku begitu berbahagia. Hatiku selalu segar dalam menerima keindahan cinta, sesegar pucuk teh diterpa rinai hujan pagi. Tak ada keluhan yang menyumbat tenagaku, tak ada sedih yang memaksa bulir mataku menetes, semua seperti berjalan begitu sempurna untuk sebuah perasaan wanita muda. Raden Sumadilega begitu merenyuhkan kekakuan cintaku ketika mulai mengenal seorang lelaki. Ia Raden yang sangat sopan juga tampan, meskipun pernah aku sedikit ragu saat kata-kata cinta Raden Sumadilega membuai telingaku. Waktu kian meneguhkan cintaku yang dipersunting manis sang Raden tampan itu.” Itulah sebetulnya yang masih menyemangati Mak Iroh hingga kini, saat kerentaan usia yang ia jalani kenangan itu yang membuat kekuatan gaib dalam hati dan otot-otot tuanya untuk terus memetik teh. Mak Iroh masih terngiang-ngiang perkataan lirih Raden Sumadilega saat mereka berteduh di bawah pohon pinus menghindari rintik hujan sore hari kala itu:

“Nyai, kebun teh ini perlu sentuhan jari lentik seorang wanita sepertimu.” Raden Sumadilega menatap mata Nyi Iroh begitu serius.

“Mengapa begitu ?” Nyi Iroh malah tersenyum manis dan mengerlingkan mata ke arah hamparan kebun teh sebelah kanan mereka.

“Kebun teh ini peninggalan Bapakku, meskipun ia seorang Belanda namun ia berpesan kepadaku , jika Belanda sudah meninggalkan negeri ini, sebagian hasil dari perkebunan teh ini ia ingin agar disumbangkan kepada masyarakat perkampungan disini. Meskipun sebagian masyarakat disini telah ikut bekerja pada perusahaan teh dan telah diberi upah, biarlah mereka menerima kegembiraan lebih karena merekalah yang bertetangga dengan hamparan kebun teh ini. Untuk itu pucuk-pucuk teh tersebut harus terus tumbuh dari pohon teh yang berkualitas dan sehat. Diperlukan pembibitan yang seksama dan teliti memilih benih. Tangan dinginmu lah yang kurasa bisa menjaga itu semua, karena aku telah melihat bakatmu yang melebihi wanita desa lainnya.

Cintaku membumi dan mengakar

Bersemi bersamaan merekahnya pucuk-pucuk teh

Tak ada enggan tercipta di balik kehijauan perbukitan

Kulindungi cintamu dengan rengkuhan kabut bersemangat

Senyummu berarti terhias sesaat melintasi ketulusan asmara

---000---

Saat Belanda hengkang dari negeri ini, Nyi Iroh mendapatkan khabar pemerintah mengeluarkan aturan bahwa semua perusahaan peninggalan Belanda akan dikuasai oleh pemerintah. Nyi Iroh begitu terkejut, “Aku istri yang sah Raden Sumadilega, seharusnya ada sedikit kebijakan untukku. Aku seperti dirampas dengan paksa, tanpa ada hak bagiku untuk membela sedikitpun ! Bukankah ini dinamakan penjajahan yang hanya berbeda bentuknya !”

Sejak itu Nyi Iroh kehilangan segalanya, Raden Sumadilega meninggal karena sakit saat kemerdekaan RI didengungkan dan kini ia pun kehilangan harta yang berjuta kenangan. Seharusnya ia bisa menikmati harta yang ditinggalkan Raden Sumadilega, ia bisa berbagi kegembiran dengan semua penduduk kampung sederhana disini. Nyi Iroh hanya bisa menahan getir dengan menjadi pemetik teh bersama-sama para wanita kampung lainnya bekerja pada perusahaan teh negara.

Gundah gulana kini menyesak sudut hatiku

Kulagukan kepiluan merepih kesedihan dalam cipta tangis

Terhempas keindahan dalam surya terbenam

---000---

Lamunan Mak Iroh dikejutkan suara riuh rombongan pemetik teh yang akan melewati rumahnya, memang hujan telah enggan turun dan kabut pun juga menghilang ke arah rimbunan hutan pinus. Cahaya mentari menerobos sisa rintik hujan di angkasa, meninggalkan guratan pelangi di puncak bukit. Mak Iroh segera menuruni pekarangannya dan menyapa para wanita rombongan pemetik teh,

“Lami nyak hujanna, sareng meni tiris pisan jadi hoyong nunutan wae, hahaha !”

“Tah nyak, etateh panyawat nu tos sepuh Mak Iroh, hehe !”

Rombongan wanita pemetik teh itu terlihat begitu akrab seperti hubungan keluarga dalam bertegur sapa. Kesederhanaan dan sikap bersahaja mereka yang menyatukan hati berlandaskan ketulusan dan kejujuran bersikap. Langkah-langkah kaki mereka menyeruak semak-semak menuju kebun teh di sela perbukitan. Panen teh memang mereka atur secara berkelompok, selain untuk menjaga kualitas teh yang mereka petik juga memberikan semangat bagi mereka dalam bersama-sama memetik teh. Mereka bersenda guran dan tak segan tertawa lepas selagi memetik teh.

Mak iroh pun begitu ceria memetik teh, ia selalu tersenyum sambil ikut bercengkrama dengan teman di dekatnya. Tangan keriput yang renta itu masih terlihat lincah memainkan jemarinya memetik pucuk teh daun termuda. Keranjang di punggungnya tak lama telah terisi tigaperempat daun teh muda, ia memang sengaja tak memenuhi keranjangnya, ia sadar diri bahwa pundaknya sudah rapuh dan lemah. Mak Iroh bersama yang lainnya kembali menuruni perbukitan kebun teh untuk beristirahat sejenak, ia bersama pemetik lainnya berkumpul saling membuka bekal sederhana mereka. Kebersamaan mereka begitu syahdu terlihat, meskipun hanya dengan lauk sederhana mereka menikmati semuanya dengan gembira dan rasa syukur. Bagi mereka rutinitas kedamaian itu sudah cukup melegakan ruang hati meraka. Keluasan hati mereka serasi dengan keindahan alam yang disajikan sang penguasa alam.

Mungkin tangis itu telah hilang jejak

Tertindas masa membilang kegelisahan

Kepada cinta aku mengadu juga ceria

Yakin kenangan tersisa membakar lara

Langkahkan jejakku pada waktu bermakna

Menjelang pukul tiga sore hari, rombongan pemetik teh berjalan beriringan melewati jalan bebatuan di tepi bukit. Tempat pengumpulan daun teh yang mereka tuju, lagi-lagi mereka berjalan sembari cekikikan tertawa bersenda gurau. Karung-karung plastik telah padat dengan daun teh muda, dipikul oleh beberapa orang lelaki. Mak Iroh berjalan tertatih, namun bukan karena lelah tetapi karena ikut tertawa terbahak-bahak karena lelucon teman-temannya. Terkadang teman-temannya menyindirnya akan kenangan masa lalu, memang hanya beberapa wanita tua yang mengetahui kejadian puluhan tahun silam akan dirinya, karena sering dibicarakan tak ayal semua mengetahuinya lambat-laun. Semua bersimpatik kepada Mak Iroh dan menaruh hormat yang sedalam-dalamnya. Mereka menganggap sebenarnya Mak Iroh lah yang wajib mereka hormati sebagai juragan mereka, karena menurut mereka Mak Iroh sebenarnya pemilik hamparan kebun teh yang membentang di sebagian perbukitan ini. Meskipun kini mereka harus bersama-sama memetik teh bersama Mak Iroh, rasa hormat itu telah tertanam secara turun-temurun.

Gbr dr ://www.flickr.com/photos/59323878@N06/5440251781/

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Puisi Selengkapnya
Lihat Puisi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun