Mohon tunggu...
Burdani Dani
Burdani Dani Mohon Tunggu... Insinyur - Sastra Mengubah Dunia

Saya senang membaca, saya juga berusaha menuliskan sesuatu yang berguna bagi orang. Boleh jadi menjadikannya hiburan atau penggugah inspirasi bagi orang.

Selanjutnya

Tutup

Puisi

Catatan Harian Opa Harold

16 Maret 2011   15:44 Diperbarui: 26 Juni 2015   07:44 101
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
1300290111173361350

[caption id="attachment_94847" align="aligncenter" width="640" caption="Gbr dari : http://redscoter.blogspot.com/2011_01_01_archive.html"][/caption]

Kini sudah memasuki pertengahan Bulan Maret, tak lama lagi memperingati Hari Bandung Lautan Api, 26 Maret 1946 kala itu. Tanggal itu selalu mengingatkanku pada Opa Harold. Bagiku Opa Harold tak bisa dipisahkan dari Bandung. Bandung, siapa yang tak mengenalnya. Sebuah kota tua bersejarah yang banyak bersaksi akan kemegahan dan kekuasaan Penjajahan Belanda tempo dulu. Gedung-gedung tua bisu berarsitektur Eropa seakan mengiaskan sebuah sejarah senja dibalik siapa yang dahulu pernah menghuninya. Di deretan rumah tua peninggalan Belanda di Jalan Riau Opa pernah tinggal. Opa dahulu seorang perwira militer Belanda, dia sangat terkenal dengan pribadi yang tegas namun selalu santun dalam bersikap. Terlalu banyak penghargaan yang dia terima dari Kolonial Belanda atas segala jasa-jasa beliau. Bukan saja penghargaan di bidang militer namun opa juga berjasa dalam penataan tata kota Bandung saat itu. Saat itu Tahun 1930 Bandung sudah matang dalam sisi administrasi pemerintahan, tatakota pun sudah berjalan cukup baik. Pekerja Pribumi dan Kolonial Belanda berada di puncak keharmonisan hubungan pekerjaan, memang bangsa indonesia masih terikat status penjajahan penguasa kapitalis namun tidak dapat dipungkiri bahwa tingkat perekonomian saat itu berada pada titik keseimbangan. Bayangkan nilai satu Gulden sama dengan nilai satu Rupiah, cukup fantantis bila mengenang masa-masa itu. Meskipun belenggu penjajahan masih mengikat kaki kita namun kita bisa menikmati segala fasilitas yang Kolonial Belanda bangun. Prasarana jalan dan transportasi sudah Belanda bangun hingga ke pelosok desa, menembus gua dan pegunungan. Kegiatan industri berjalan cukup baik, kegiatan pendidikan sudah bisa dinikmati. Memang tak dipungkiri keterbatasan-keterbatasan masih terasa kental namun tentu semua itu akan sedikit banyak membawa dampak positif di kemudian waktu seiring perjalanan bangsa ini.

Sewaktu kemerdekaan RI diproklamirkan banyak warga Belanda yang sengaja pergi meninggalkan Bandung juga kota-kota besar di Indonesia. Setiap keluarga keturunan Belanda merasa tidak nyaman lagi dengan situasi yang ada, kini sebaliknya hati mereka merasa terjajah dengan suasana kemerdekaan RI saat itu. Berlainan dengan Opa, beliau memilih untuk tetap tinggal di Bandung. Bagi Opa Bandung adalah kota yang menentramkan hatinya, dia sudah hafal betul setiap jengkal tanahnya, dia sudah berusaha keras ikut menata kota Bandung agar terlihat rapih dan asri. Opa adalah salah satu Tentara Belanda yang beristrikan wanita asli pribumi, mungkin Opa sudah terlanjur cinta dengan Mojang Parahyangan yang begitu ramah dan rupawan. Dengan sejumlah alasan itulah Opa memutuskan untuk tetap tinggal di Bandung, menikmati kedamaian Bandung setelah meminta pensiun dini dari kemiliteran.

***

Sore kemarin aku luangkan waktu berkunjung ke rumah peninggalan Opa. Jalan Riau kini sudah banyak berubah. Banyak rumah peninggalan Belanda dijadikanToko atau tempat pendidikan formal, factory outlet tentunya yang lebih banyak. Setiap malam Minggu jalan Riau sudah sangat ramai dipadati manusia yang haus berbelanja, begitu konsumerisme mereka. Begitu macet, aku cukup lama terjebak dalam kemacetan itu. Tak lama aku berhasil membelokkan kendaraanku ke pekarangan rumah peninggalan Opa Harold. Sudah cukup lama aku tidak berkunjung, suasananya masih sama dengan beberapa bulan lalu. Rumput di depan sudah cukup tinggi, mungkin tukang kebun Mang Ujang sedikit melupakannya. Rumah Opa Harold kini dihuni oleh saudaraku, kami keluarga besar sepakat agar Rumah tersebut tidak kosong dan selalu ada yang menjaga dan merawatnya. Aku rindu dengan suasana kamar tidur Opa, dahulu sewaktu aku kecil Opa sering mengajakku berlama-lama di dalam kamar itu. Opa banyak bercerita tentang perang dan cerita-cerita legenda. Opa bagiku pembawa inspirasi terbesar dalam hidupku. Beliau banyak menasehatiku bagaimana menjadi seorang lelaki sejati, mengajarkan kegigihan dalam mempertahankan kehidupan meski sesulit apapun.

Kamar Opa memang tidak pernah berubah, memang itu yang kami inginkan. Biarkan saja seperti itu sehingga semua kenangan manis bersama Opa tidak akan hilang. Aku menuju meja kerja Opa yang terbuat dari Kayu Jati tua yang sudah menghitam. Begitu aku duduk, aku merasakan kenangan bersama Opa begitu terkenang mengharukan, aku sangat rindu melihat tawa Opa. Ada laci kecil di bawah meja yang selama ini terkunci dan belum pernah aku lihat isinya. Aku mencari kuncinya, pada sebuah kotak kecil di atas meja aku temukan kunci klasik terbuat dari Kuningan. Aku coba membuka laci itu, begitu terbuka aku melihat sebuah buku tebal kecil berwarna Maroon bertuliskan "Tjatatan Harian". Begitu penasaran ingin aku buka lembar demi lembarnya, bagaimana tidak karena tentu di setiap lembarnya aku akan mendapatkan kejutan-kejutan cerita perjalan hidup Opa. Lembaran-lembaran kertas tua itu sudah menguning termakan zaman. Warna tinta yang tergorespun sudah sedikit memudar. Namun yang membuatku agak terkejut, Opa menulis catatan kesehariannya disertakan foto-foto saat itu, sesuai dengan kejadian yang dia tuliskan atau ceritakan. Mungkin ada maksud tersendiri Opa lakukan itu. Aku mengerti sekarang, dengan adanya foto semua bisa terungkapkan lebih jelas, foto akan banyak bercerita dan lebih lugas. Aku buka halaman buku itu secara acak dan sedikit membacanya. Opa banyak bercerita tentang negeri ini, dari bahasa yang beliau  ungkapkan rupanya Opa sudah sangat mencintai Kota Bandung.

Sabtu, 27 September 1924 : Pukul 09.00 malam hari.

...Akhirnya Gouvernements Bedrijven selesai dalam kurun empat tahun, Sejak 27 Juli 1920 kami bersama-sama meletakkan batu Pondasi pertama. Perencanaan secara matang oleh suatu tim yang diketuai Kolonel Purnawirawan V.L. Slors, beranggotakan antara lain Ir. J. Berger, arsitek muda kenamaan lulusan Fakultas Teknik Delft Nederland, Ir. Eh. De Roo dan In G. Hendriks serta pihak "Gemeete van Bandoeng". Aku berharap gedung pemerintahan ini dapat berguna dan menjadikan pusat menjalankan roda pemerintahan Hindia Belanda untuk Indonesia. Cukup banyak Gulden yang dikeluarkan untuk gedung ini. Enam Juta Gulden, kami juga abadikan pada puncak menara yang menyerupai tusuk sate itu...

Aku berfikir sejenak, "Memang pantas jika dahulu Bandung dijadikan sebagai Kota Pemerintahan Kolonial Belanda untuk Indonesia, Bandung mempunyai iklim yang sejuk dan senyaman iklim Perancis Selatan di musim panas. Pusat kemiliteran berbagai segi sudah Belanda tempatkan di Bandung, begitu juga dengan Pusat Logistik dan Telekomunikasi juga transportasi. Bandung sangatlah memegang peranan penting bagi Hindia Belanda kala itu.

Aku kembali melihat lembar demi lembar buku usang itu, aku temukan tulisan Opa tentang Bandung Lautan Api.

Sabtu, 30 Maret 1946 : Pukul 10.00 malam hari.

...Aku kecewa dengan sikap pemerintah Hindia Belanda yang masih saja memaksa untuk kuasai negeri ini. Jika mereka bisa menahan diri tentu Bandung Lautan Api tidak akan terjadi. Betapa nista perbuatan manusia mempertahankan kemauan dan ambisi kapitalis. Aku tak salahkan kaum pribumi marah dan memilih membakar kota dan desa mereka sendiri. Mereka rencanakan agar Hindia Belanda tak dapatkan apapun pada Bandung. Hindia Belanda tak hiraukan orang Belanda yang masih memilih tetap di Bandung. Kami lari ketakutan, anak kami menangis melihat lautan api yang memanas dan membakar segalanya. Aku sudah habiskan waktuku membangun Bandung dengan ilmu dan seni. Kini Bandung hancur tak berbentuk, aku sangat bersedih. Ini merupakan kemunduran keberadaban dalam puluhan tahun ke depan. Aku manusia Belanda yang benci peperangan dan keterbelakangan budaya, pensiun dini yang aku ajukan pada komandan adalah sebuah pengakuan dosaku pada Tuhan. Kini mataku bersedih pada wajah Bandungku, adakah waktu untuk perbaiki semuanya ?

Tahun 1989 dahulu Opa pernah menceritakan ini dengan suara tangis yang tertahan, meski sudah kakek-kakek Opa sangat anti meneteskan air mata. beliau serdadu Belanda dan juga arsitek kota, dia pernah kehilangan maha karya yang dia rintis untuk negeri ini. Aku faham betul bagaimana Opa memaknai semua itu. Aku lanjutkan membacanya,

...saat Bandung terbakar, Sartika istriku berlari bersama wanita Belanda lainnya menyelamatkan diri ke distrik Gudang Selatan. Mereka akan dijemput pasukan untuk mengungsi ke Batavia. Kami lelaki Belanda harus berkumpul di Dewan kota tanpa terkecuali. Aku sudah menyarankan agar aku tidak mereka ganggu lagi untuk bertugas. Mereka memaksaku untuk ikut berunding, bagaimana cara paling aman memulangkan para wanita dan anak-anak Belanda ke Netherland melalui Batavia. Karena itu aku terpisah dengan Sartika. Sudah empat hari ini aku mencari khabarnya. Kantor Telpon terbakar, semua informasi amat sulit dan rahasia...

Aku kembali terkenang Oma yang saat itu terpaksa ikut ke negeri Belanda menyelamatkan diri. Sebenarnya Oma bisa pulang ke Lembang menemui keluarganya namun saat itu semua berjalan begitu cepat dan dipaksakan. Akhirnya Oma harus mau berlayar dengan Kapal Perang Belanda menuju Netherland. Lima tahun Oma baru bisa kembali menemui Opa di Bandung. Itupun dengan usaha yang susah payah, Oma sempat dicurigai ketika datang ke Bandung oleh pemerintah Indonesia. Saat itu Oma disangka sebagai mata-mata Belanda, memang sekitar tahun 1950-1951 tersebar berita bahwa Belanda sedang merencanakan untuk kembali menjajah negeri ini. Pertemuan mengharukan itu membangkitkan semangat hidup Opa. Selama lima tahun Opa sudah menunggu. Lima tahun itu pula Opa tak bisa berbuat banyak untuk Bandung yang ia cintai. Suasana politik dan keamanan masih sangat kacau. Opa tak berani sering keluar rumah. Opa sering mendapatkan ejekan ketika pergi berbelanja kebutuhan sehari-hari. "Belanda kejam", "Belanda rakus" atau "Belanda gila", itu ejekan yang sering Opa terima. Dalam hati Opa mengatakan : "Wajar pribumi mengejekku seperti itu, mereka telah banyak menderita karena ulah kapitalis Belanda. Mereka kini telah merdeka dan mereka ingin sekali bebas berkata sesuai hati nurani mereka. Tapi ketahuilah, semestinya tidak memandang lelaki Belanda itu sama dalam prinsip, aku berbeda dengan lelaki Belanda lainnya. Aku tak suka berperang, aku lelaki Belanda yang berusa membangun negeri ini agar indah dan nyaman. Biarlah para pribumi itu menyadari hasil karyaku untuk Bandung yang aku cintai ini !"

Ada lembaran yang tidak bertanggal sama sekali, Opa rupanya menuliskan puisi dengan gaya bahasa saat itu,

Aku berdiri di penghujung malam berhias purnama

Aku tertawa pada kebodohan manusia

Aku bersedih pada kemauan dosa manusia

Aku menantang peluru yang akan berlumur darah

Aku tak akan takut pada mesiu yang memerah

Kakiku akan tetap berada pada harumnya tanah Bandung

Jiwaku akan berkunjung pada setiap gedung indah

Aku menunggu pujaanku

Sangat sederhana namun bermakna dalam kata, aku berinisiatif menambahkan deretan puisi itu, "Maafkanku Opa, aku mengotori bukumu dengan puisiku !"

Biarkan Purnama bersinar dalam rentang tabir waktu

Tak ada lagi desing peluru memecah kehidupan

Keindahan akan tercipta pada pustaka masa

Titian sejarah akan menggoreskan pena emas kejayaan

Kala waktu akan bercerita dan membuktikan usia Bandung

Kemegahan Bandung kembali temui makna yang terpendam

Pada masa itu Bandung kembali memimpin kota negeri

Malam sudah menyelimuti Jalan Riau dan sudah terhiasi dengan cahaya lampu-lampu pertokoan dan papan reklame yang beraneka bentuk dan warna. Jalan Riau sudah terlihat bertambah ramai ketika aku hendak melewati gerbang pagar rumah Opa. Aku berpamitan pada mang Ujang, aku berpesan agar jangan lupa memotong rumput halaman depan. Mang Ujang terlihat begitu malu ketika aku ingatkan, mang Ujang mengerti betul apa isyarat perkataanku, karena mang Ujang pun tahu kebaikan Opa Harold sebelum Opa meninggal Tahun 1997 lalu.

Aku kagum padamu Opa...!

Mohon tunggu...

Lihat Konten Puisi Selengkapnya
Lihat Puisi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun