Kami tidak pernah mengundangnya, apalagi mengijinkannya masuk.
Tetapi tidak pernah kami duga bahwa ia dapat menerobos masuk ke dalam tubuh kami.
Selama ini kami berusaha menjaga jarak, taat protokol kesehatan, dan sebisa mungkin menjauhinya, bahkan mengusirnya. Tapi ia tidak terlihat secara kasat mata, sehingga akhirnya lolos dan bertengger dalam tubuh kami.
Kini kami mesti terbaring di ruangan khusus isolasi, jauh dari keluarga, teman, sahabat, terlebih anak semata wayang kami yang baru berusia 3 tahun 10 bulan.
Sedih. Sungguh pedih perasaan ini.
Bukan tentang ia yang bertengger dalam tubuh kami, tapi karena kami mesti rela meninggalkan anak semata wayang kami dalam usianya yang masih sangat kecil. Apalagi ketika beberapa kali anak kami berkata: "Papa Mama tidak akan kasih tinggal Naysa, kan?" Walau usianya masih kecil, dia punya feeling yang kuat.
Mendengar apa yang anak kami tanyakan, hati kami menangis dan seperti disayat sembilu. Tapi apa boleh buat. Meninggalkannya beberapa waktu, walau belum ada kepastian berapa lama, adalah pilihan terbaik.
Mengasihinya berarti harus rela meninggalkannya. Bila kami tidak rela meninggalkannya, mungkin kami akan menyesal sepanjang hidup kami.
Kami sangat bersyukur pada Tuhan yang luar biasa karena Dia tidak mengijinkan ia bertengger dalam diri anak kami yang masih kecil dan imut. Kami bersyukur pada Tuhan yang luar biasa karena Dia mengijinkan hal ini terjadi pada kami.
Kami percaya bahwa tidak ada hal yang terjadi begitu saja tanpa tujuan-Nya bagi kami. Biarlah melalui ini semua, kami menemukan tujuan itu.