" Bayangin aja, anakku 2 orang, sehari aja satu karton susu formula gak cukup buat mereka, apa gak puyeng nih kepala?. Mana ini lagi puasa, bisa-bisa gak jadi lebaran kalau penumpang sepi begini.", senyum tipis ku goreskan ketika suatu sore terpaksa di suguhi obrolan seorang sopir angkot dan kawannya yang sesama sopir.
Jujur saya tergelitik dengan pernyataan pak sopir (bisa-bisa gak jadi lebaran), saya faham yang dimaksud pak sopir dengan kebingungannya adalah bahwa dia sebagai kepala rumah tangga memiliki kewajiban untuk memenuhi tuntutan keluarganya untuk menyiapkan kebutuhan untuk berlebaran.Tapi apakah jika tak bisa memenuhi kebutuhannya maka lebaran itu di batalkan atau malah bisa di undur ?, tentu tidak kan ?. Selama kita di beri umur panjang oleh Allah sampai hari H lebaran, ya tetap saja lebaran nya di hari H itu kan ?.Toh bukankah yang terpenting adalaha ibadah puasanya, sejauh mana ibadah puasa kita dapat kita genapi dan kita pada saat 1 syawal tiba?.
Satu syawal merupakan hari yang paling dinanti-nanti oleh umat muslim yang berpuasa, datangnya hari raya idul fitri atau juga sering disebut lebaran. Lebaran atau Idul Fitri memiliki arti kembali kepada naluri kemanusiaan yang murni, kembali kepada keberagamaan yang lurus, dan kembali dari segala kepentingan duniawi yang tidak Islami, Inilah makna Idul Fitri yang asli. Sudah merupakan tradisi secara turun menurun umumnya bagi masyarakat Indonesia mempersiapkan hari Kemenangan dengan sesuatu yang istimewa, mulai dari menu makanan yang lain dari hari biasa, pakaian yang tidak hanya bersih dan bagus tapi baru bahkan cat rumah kalau memang ada uang lebih ya di percantik juga, semua demi hari special bernama Lebaran.
Namun yang sangat di sayangkan bahwa realitas di masyarakat banyak penyimpangan dalam memaknai hari kemenangan atau hari lebaran secara benar. Bahkan penyimpangan ini dimulai sepanjang ramadhan berlangsung.Lebih banyak masyarakat yang melakukan puasa di bulan Ramadhan tapi (tidak sedikit) dari mereka yang hanya mendapatkan lapar dan haus, sebagaimana sabda Rasul :" berapa banyak dari mereka yang berpuasa tidak mendapatkan apa-apa, kecuali rasa lapar dan haus.”
Suatu yang nyata dalam masyarakat sekarang adalah berpuasa yang seharusnya untuk mengendalikan nafsu konsumtif dan materialistik manusia, justru di aplikasikan dengan kenyataan yang bersebrangan, malah meningkatkan derajat nafsu konsumtif dan materialistik mereka.
Lebaran yang seharusnya sebagai sebentuk perayaan yang sarat dengan nilai sakralitas kekeluargaan dan persaudaraan / ukhuwah, kini kian pudar dan digeser oleh arus konsumerisme dan gaya hidup,bahkan nilai lebaran kian hambar. Rasa syukur pada hari lebaran yang seharusnya diekspresikan dalam sebentuk ungkapan pengagungan dan rasa syukur kepada Allah dan tindakan saling memuliakan sesama umat untuk saling berbagi, kini tercemar dengan kesibukan masyarakat untuk memikirkan membeli pakaian baru dan bahan makanan untuk memenuhi kebutuhan lebaran yang begitu berlebihan.
Sebelum terlanjur dengan suatu perbuatan yang sia-sia sudah selayaknya lah kita melakukan introspeksi/perenungan diri, untuk memaknai secara benar ibadah puasa yang sedang kita jalani saat ini. Tidak saja makna ibadah yang berhubungan langsung dengan Allah sang pencipta tetapi makna yang tersirat dalam memaknainya di kehidupan yang diisi dengan keinginan saling berbagi. Kepedulian kita untuk saling berbagi dengan sesama yang membutuhkan dapat lebih menyempurnakan ibadah kita secara benar sampai hari lebaran. Dan yang lebih penting adalah hasil ibadah selama satu bulan ini dapat lebih di aplikasikan dalam sebelas bulan selanjutnya yang menjadi essensi dari hasil ibadah kita.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H