Oleh   : Dandi Amar Rizky B
Buzzer atau "para pendengung" sering membikin kita geram. Informasi diputar-putar, seolah junjungan mereka lah yang paling benar. Apalagi kalau sudah menyangkut kebijakan pemerintah, sudah pasti anda-anda akan diarahkan untuk berada di kutub-kutub tertentu. Dan tentu saja anda tidak akan menyadarinya.
Lihatlah bagaimana ketika kebijakan program investasi sawit, atau omnibus law UU Cilaka(Cipta Lapangan kerja) di jagad Twitter muncul trending #sawitbaik. Kita diarahkan pada satu kesimpulan, bahwa  "pokoknya investasi sawit harus jalan!".
Soal Omnibus law lebih kacau. Berminggu-minggu lamanya mereka membikin trending dukungan pada omnibus law, dan tidak sedikit yang menyudutkan kontra UU tersebut sebagai anti-investasi. Ironi memang. Bahkan di tengah pandemic covid-19 upaya mempercepat disahkannya omnibus law tidak kunjung usai. Dan yang bikin kita mengehela napas panjang adalah pembahasan UU tersebut sedang digarap oleh DPR --pembahasan omnibus law UU Cilaka melalui daring, bandingkan gaya kepemimpinan mereka selambat zaman kolonial. Bahkan respon mereka lebih cepat ketimbang penanganan covid-19 itu sendiri.
Makanan apapun yang disodorkan para pendengung ibarat pisau tajam yang siap menggorok leher anda. Dan ironinya, anda sendirilah yang menggerakkan pisau tersebut. Pilihan ada ditangan anda: berada di kubu pro, yakni turut serta merisak kubu kontra. Atau berada di kubu kontra yang siap dilebeli macam-macam oleh mereka.
Berada di kutub manapun tidak akan membuat posisi anda lebih baik. Apalagi jika anda menjadi incaran para pendengung.
Pilihan politik maupun sikap kita pada persoalan politik sebetulnya tidak melulu harus terinsitusi dalam "satu" identitas. Karena menurut Amartya Sen, seorang dapat mengasimilasikan berbagai identitas ke dalam dirinya, seperti seorang warga negara yang memilih calon presiden A, tetapi ketika presiden A telah menang Ia juga memiliki hak untuk mengkritisi kebijakannya. Jadi, kita tidak perlu terlalu fanatik, apalagi memberi ciri-ciri suatu identitas secara kaku.
Kita harus lebih waspada saja, apalagi agar tidak terjebak dalam jaring-jaring para pendengung. Salah satunya adalah mengetahui pola serangan mereka. Bagi saya pola serangan mereka selalu sama, yaitu selalu mempertautkan dengan sentimen-sentimen identitas kelompok. Kemudian mencoba membangun solidaritas terhadap identitas kelompok tersebut. Misalnya, terdapat pernyaan soal "pecel lele", karena makanan tersebut setelah diteliti oleh ahli medis memuat gizi yang lebih sedikit ketimbang ayam goreng.
Di sinilah para pendengung bermain, pertama mereka membentuk sebuah solidaritas, bahwa orang yang membuat pernyataan soal pecel lele adalah "anti-pecel lele". Argument tandingan harus dibuat selogis mungkin, dan sedikit bumbu, misalnya: bahwa pecel lele adalah makanan nenek moyang kita, sehingga apabila kita anti, maka sama artinya melakukan pemberontakan kebudayaan luhur bangsa.
Bisa pula, untuk mengumpulkan solidaritas mereka membuat narasi serangan subjektif. Misalnya, pernyataan soal pecel lele, menunjukkan kecenderungan orang-orang kurang gizi --padahal pernyataan dari para ahli bersifat netral. Serangan secara subjekif, mampu menggalang suara lebih banyak, apalagi menyangkut martabat, hobby, kesamaan nasib, ras, agama, maupun identitas yang sama.
Melihat kelakukan para pendengung itu, mengingatkan saya pada kelakuan Squiller, seorang babi cerdas, tukang propaganda, dan pendukung fanatik rezim. Squiller adalah salah satu tokoh dalam buku Animal Farm, karya George Orwell.