Mohon tunggu...
Dwi Nirwati
Dwi Nirwati Mohon Tunggu... -

Aku hanyalah seorang pengagum Dandelion Dan hidupku seperti bunga - bunga liar yang tumbuh bebas dalam keindahan dan kebahagiaan

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

“Because They were Roses and I was just A Dandelion"

8 Januari 2014   10:03 Diperbarui: 24 Juni 2015   03:02 76
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Setiap manusia yang Tuhan ciptakan pastilah pernah mengarungi lautan masa lalu. Bertarung melawan ombak dan badai atau mencari celah untuk melewati sekumpulan batu karang dan lain sebagainya. Kami sebagai manusia pastilah mengupayakan yang terbaik untuk hari esok yang akan datang tentunya dengan jalan yang Allah kehendaki. Memang ada begitu banyak liku-liku kehidupan, begitu juga dengan banyaknya warna yang menghiasinya. Banyak diantara kami saling mencaci, memaki dan menjatuhkan satu sama lain demi sebuah pujian dan predikat baik. Tapi bagaimana dengan ketidaksempurnaan? Haruskah itu menjadi batu besar dalam perjalanan hidup ini? Entahlah …

Ku buka kembali diary lama yang terlihat kusam dimeja kamarku. Diary hadiah  dari Ibuku saat aku mendapatkan rangking pada saat kenaikan kelas. Diary tebal bertuliskan “five years diary” itu masih terlihat sama tak ada cacat sedikitpun, hanya terlihat lebih jelek karena termakan usia. Sudah hampir 9 tahun buku diary ini masih tetap kujaga, dan sampai saat ini aku masih terus menulis disisa halaman yang kosong, menulis setiap kejadian-kejadian yang akan selalu terpatri dalam ingatanku. Aku membuka lembar pertama, aku teringat pertama kali menulis diary ini saat aku duduk dibangku kelas 2 SMP, dan seperti biasa diary anak SMP selalu diawali dengan biodata lengkap “ haha “aku terkekeh sendiri menyadari bahwa tulisan itu adalah benar tulisanku dan tentunya memang akulah yang menulisnya karena memang itu adalah diaryku. Kurang lebih seperti inilah isinya :

Nama: Didi Wulandari
TTL: Tirtomoyo,23 desember 1991
Zodiak: Capricorn
Mak. Fav: Indomie dan soto ayam
Min. Fav: banyak sekali
Lagu Fav: lagu2 mandarin dan ost. Drama Korea
Aktor Fav: F4 dan Bae yong Joon
Aktris Fav: Choi ji woo

Haha” … tak kusangka aku dulu selugu itu. Aku adalah penggemar berat film Meteor Garden dan Winter sonata. Dan sampai saat ini aku masih suka menonton mellow drama karya-karya dari Negeri Gingseng itu. Aku membuka lembar kedua dan seterusnya. Aku menyadari bahwa buku diary itu tertulis tanpa tanggal dan bulan. Tapi yang pasti aku ingat betul itu adalah tulisan semasa aku duduk disekolah menengah pertamaku.

Aku tidak betah disekolah ini, setiap hari selalu ada teman yang mengatakan bahwa aku adalah gadis berkulit hitam dan jelek. Apa segitu buruknya diriku Tuhan? Aku memang berkulit hitam, aku juga tak merasa cantik, tapi aku mempunyai sebuah lesung pipit dan senyum yang manis. Tidakkah itu cukup?

Didi Wulandari

Tak ada hal yang tak menyedihkan yang aku lalui disekolah. Baru menginjak tahun kedua disekolah SMP aku sudah mendapat banyak cacian. Bagaimana aku bisa melewati hari esokku Tuhan? Aku harus marah kepada siapa?? Maafkan aku !

Didi Wulandari

Halaman demi halaman aku buka , dan tanpa kusadari aku sudah berurai air mata, mengenang kembali perjalananku disekolah dulu. Hanya karena warna kulitku hitam , banyak sekali cacian yang aku terima saat itu. Ternyata semuanya begitu berat, aku harus banyak bersyukur berada dititik saat ini. Setidaknya sahabat dan temanku kini lebih menghormati aku dibanding saat masa-masa sekolah dulu.

Aku sudah mengenal Ardika selama dua tahun disekolah.. Ardika adalah teman sekelasku , disaat semua orang mencaciku, dia bahkan tak pernah sekalipun mengataiku demikian. Malah dia sering membelaku didepan teman-teman, dia balas mencaci temanku yang sengaja mengatai aku. Memang aku tak pernah berteman dekat dengannya. Tapi aku selalu berharap dia bisa menjadi temanku, bahkan mungkin lebih dari itu. Aku sangat kagum pada sosoknya. ? Selain putih dia juga tampan dan baik. Ahh.. aku tak tahu ini perasaan suka atau kagum Aku terlalu banyak berhayal? Tapi… bolehkan aku mempunyai perasaan ini?

Didi Wulandari

Aku jadi teringat bahwa Ardika adalah cinta monyetku dulu, yang sangat aku kagumi. “haha… Ardika?? Oh sampai saat ini aku masih mengaguminya.

Hari ini Neni teman sekelasku mengataiku. Dia bilang walaupun aku mendapatkan rangkingkedua dikelas itu bukan berarti aku bebas berteman dengannya. Katanya aku lebih pantas berteman dengandengan orang-orang yang sama hitamnya sepertiku. Aku berlari kekamar mandi dan menangis tersedu-sedu. Aku tidak tahu kesalahan buruk apa yang aku lakukan hingga mau bertemanpun harus dihalangi. Aku memang tidak pantas berteman dengan Neni, Terlebih karena dia sangat cantik. Banyak teman pria dikelasku yang menyukainya. Biarlah aku mengalah, aku juga tidak berharap banyak. Aku hanya berjanji pada diriku sendiri bahwa kelak aku harus bisa dihormati oleh orang lain. Dan tak mengangapku remeh lagi. Aku pasti bisa, biarlah ini sebagai alat dari Tuhan untuk menjadikanku kuat. Karena mungkin diluar sana dunia ini lebih kejam.

Didi Wulandari

“Neni… cewek tengil dan centil itu apa kabarnya ya? Bahkan sampai saat ini aku masih jengkel dengan kelakuannya dulu”.Pernah aku mendengar kabar bahwa Neni sudah memiliki anak, dia dulu terkena kasus MBA alias Married By Accident. Yaa.. mungkin karena kecentilannya itu memancing pria-pria hidung belang. Aku rasa dia dulu hanyalah seorang anak manja yang segala keinginannya harus terpenuhi. “Ahh.. entahlah. Aku bahkan tak terlalu peduli. Lebih baik aku meneruskan kisah sedih disekolahku dulu”.

Aku dihukum guru olahraga untuk berlari keliling halaman sekolah tiga kali. Alasannya karena aku lupa membawa seragam olahraga. Padahal malem sebelumnya sudah aku siapkan disamping tas sekolahku. Hemm.. aku kelupaan. Jadi aku tidak ikut olahraga. Karena aku hanya sendirian aku lebih memilih keperpustakaan sekolah. Setidaknya aku bisa mengisi waktu luangku untuk belajar. Seperti biasa aku sangat suka mengambil buku besar butih bertuliskan “Ensiklopedia” ahaha… sebenarnya aku tak terlalu tertarik. Hanya saja buku itu yang menarik perhatianku dengan gambar-gambarnya yang berukuran besar itu. Ahh.. sekolah hari ini membosankan. Setelah jam olahraga ada ulangan Geografi mendadak. Pak guru tak member tahu sebelumnya jadi kami sangat klabakan. Meski begitu aku harus puas dengan nilai 85. Masih terlalu kecil dari targetku. Aku tak akan mendapatkan beasiswa untuk masuk SMAjika aku tak belajar lebih keras lagi. Semoga aku bisa lebih dari hari ini.

Didi Wulandari

Tak pernah menyerah, itulah sosokku. Di kelas 3 , aku berhasil lolos mengikuti ujian beasiswa dan mendapat beasiswa penuh untuk melanjutkan sekolah SMA. Aku hanya terus berupaya untuk bisa membuktikan kepada sahabat-sahabatku bahwa kekurangan fisik bukanlah suatu penghalang. Aku yakin saat itu aku mampu. Yang harus aku lakukan saat itu adalah mempercayai diriku sendiri bahwa aku bisa lebih daripada yang aku bisa saat itu. Meski banyak cacian yang kuhadapi hingga tahun ke tiga masa SMP aku masih terus bertahan.

Sekarang hari jumat, dan siang tadi seperti biasa aku pulang jam 12. Karena disetiap jumat hanya ada 5 mata pelajaran yang diberikan. Hari ini bisa dibilang puncak kesedihanku. Sepulang sekolah aku melihat Ardika berdiri didepan gerbang sekolah. Ingin sekali kuberanikan diri untuk menyapanya , sekedar untuk berterima kasih karena selama ini dia terus membelaku. Tapi sebelum aku melakukan itu, ada seorang gadis cantik berambut panjang dan berkulit putih menghampiri Dika. Dengan bandana warna hitam yang dihiasi pita biru muda gadis itu terlihat anggun sekali. Sepertinya gadis itu dari sekolah sebelah. Dan memang benar demikian. Dan mungkin saja itu adalah kekasihnya, aku tak bisa apa-apa. Aku hanya diam terpaku menatap mereka berjalan sambil bergandengan tangan. Tak kuasa mataku sudah berkaca-kaca, aku mencoba menarik nafas dalam-dalam dan menahan tangisku. Untuk pertama kalinya aku mempunyai perasaan seperti ini. Aku cemburu , bahkan aku sangat iri pada gadis itu ,terlebih lagi karena dia sangat cantik dan bisa memikat hati Ardika. Ardika… meski aku satu kelas dengannya tapi kami tak pernah mengbrol bersama. Memang dia yang selalu membelaku saat aku dihina , tapi mungkin memang karena jiwa sosialnya yang sangat tinggi. Ya.. mungkin aku saja yang terlalu berharap jauh, berharap dia ada sedikit rasa suka terhadapku. Ahh mana mungkin?? Banyak gadis cantik dan anggun, mana mungkin Dika akan melirikku. Dan hari ini aku menyaksikan diriku kalah. Aku kalah . Tidak, karena aku tak sedang bertanding dengan siapapun. Aku hanya lemah karena aku tak sepopuler mereka. Aku hanya iri karena aku tak seperti mereka yang selalu diterima dikalangan manapun. Aku hanya perlu sabardan bertahan. Toh pada akhirnya nanti aku tak kan pernah tahu takdir yang Tuhan berikan. Tapi saat ini aku tak bisa memungkiri semuanya, perasaanku, rasa sakit ini juga cacian-cacian sebelumnya. Aku masih 14 tahun bagaimana aku menghadapi tahun-tahun yang akan datang dengan rasa yang mungkin sama?

Didi Wulandari

“Ahh.. sampai saat aku masih ingat betul perasaan itu”. Perasaan sukaku terhadap Ardika , cinta monyet, cinta pertama dan terakhirku itu.

Semenjak kejadian kemarin aku jadi lebih bersemangat untuk membuktikan kepada teman-teman disekitarku bahwa aku bisa. Hari ini aku begitu semangat belajar. Sepulang sekolah aku tidak langsung menuju kerumah. Seperti biasa aku bermain di jalanan setapak dibelakang sekolah. Tepat diatas batu besar itu. Aku sangat suka bermain disana, terlebih lagi karena disekeliling batu itu ditumbuhi bunga-bunga lucu. Aku tak tahu nama bunga itu. Tapi tiap kali angin datang putik putihnya selalu terbang berjatuhan. Sesekali aku sengaja meniupnya. Bunga itu tumbuh berpencar-pencar ada juga beberapa yang berkelompok. Mungkin jika bunga ini tumbuh bersama disuatu padang luas pasti tak akan terbayangkan keindahannya. Ahh.. aku sangat mengaguminya, bahkan mungkin aku sama dengannya, orang-orang tak banyak mengenalnya.Tidak seperti mawar yang selalu dikagumi banyak orang didunia. Tapi biarlah, aku hanya akan menjadi pengagum bunga yang satu ini. Yang Sangat sederhana.

Didi Wulandari

Nama bunga itu adalah Dandelion, aku tak sengaja menemukan nama itu 3 tahun silam pada sebuah judul lagu Mandarin. Lagu berjudul “Dandelion’s Promise” karya dari seorang composer tekenal di Taiwan “Jay Chou”. Ya .. nama bunga itu “Dandelion”.

Bersambung ….

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun