Mohon tunggu...
Amakusa Shiro
Amakusa Shiro Mohon Tunggu... Engineer -

A masterless Samurai

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

''Are You Happy?''

3 Januari 2018   19:37 Diperbarui: 6 Januari 2018   11:56 739
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

"Selamat Tahun Baru. Saya bergembira karena bisa merayakan Tahun Baru bersama anda sekalian. Harapan saya, semoga di tahun ini, ada lebih banyak orang bisa hidup tenang dengan hati yang tentram. Memasuki awal tahun ini, saya berdoa untuk kebahagiaan kita dan bangsa2 di dunia."

Itulah kata2 dari Kaisar Jepang dalam acara tahunan setiap awal tahun (tanggal 2 Januari) dari balkoni di chouwaden, di dalam komplek kediaman Kaisar di Tokyo, menyambut masyarakat yang datang ke sana.

Seorang Kaisar sampai berdoa demi kebahagiaan rakyat dan bangsa2. Lalu, kita pun tentunya mempunyai pertanyaan, "Apakah bahagia itu ? Bagaimana kita bisa (merasa) bahagia ?" 

Tiap orang tentu mempunyai ukuran dan parameter sendiri tentang apa yang bisa membuat dirinya menjadi (atau setidaknya merasa) bahagia. Tentunya, ukuran bahagia dari seseorang juga relatif, tidak dapat langsung diterapkan pada orang lain. Artinya, kalau satu orang itu misalnya merasa bahagia ketika dia makan enak (enak menurut definisinya sendiri), belum tentu orang lain bisa merasa bahagia jika dia makan makanan yang sama (disamping rasa "enak" sendiri juga relatif).

Bahagianya anak-anak

Menurut hasil survei yang dirilis tahun 2015 oleh OECD sebagai hasil pengumpulan data dari anak2 usia 15 tahun dalam program yang bernama PISA, dari 47 negara yang menjadi objek pengumpulan data, Republik Dominika dan Meksiko berada urutan paling atas untuk tingkat rasa kebahagiaan yang dirasakan. Hasil ini mengungguli negara2 maju seperti Finlandia, Perancis, Amerika dan lainnya. Jepang sendiri ada pada urutan terburuk 5 besar, sedikit lebih baik bila dibandingkan dengan negara tetangga seperti Korea, Taiwan maupun Hongkong, yang berada di urutan di bawahnya.

Apa yang menjadi alasan anak2 itu merasa bahagia di negara2 yang kita tahu angka kemiskinan dan juga kejahatannya masih tinggi tersebut?

Ternyata, alasannya sederhana saja, seperti juga kita tahu, kebanyakan dari anak2 masih mempunyai pola pikiran yang sederhana. Mereka merasa bahagia karena bisa bersama orang2 yang mereka sayangi dan orang yang bisa mereka percaya, yaitu orang tua maupun juga teman2 di sekelilingnya. 

Hal lain yang menunjang rasa bahagia anak2 itu adalah, tingkah laku dari para orang tua mereka yang selalu menanamkan sikap kepada anak2nya, bahwa kalau ada kesulitan dalam hidup, hadapilah dengan senyum. Kita juga tahu bahwa masyarakat di dua negara tersebut selalu ceria dan sering tertawa lebar (dan sering pula menari dalam tiap kesempatan).

Kebahagiaan memang tidak dapat diukur dengan berapa banyak barang/benda yang kita miliki (yang sifatnya jasmani atau materi), namun ukurannya adalah bagaimana kita bisa merasa puas dan gembira serta bahagia secara psikis (spiritual).

Orang memang selalu mencari dan mendefinisikan apa itu rasa bahagia, terutama ketika kemudian orang tahu bahwa materi melulu tidak membuat orang bisa bahagia. Pencarian definisi dan tentunya menemukan rasa bahagia itu kian giat dilakukan beberapa tahun terakhir, yang paling segar dalam ingatan kita terutama setelah ketika krisis moneter yang melanda dunia akibat bangkrutnya Lehman Brothers Holdings, yang peristiwanya kita kenal dengan istilah Lehman Shock di tahun 2008 yang lalu. Kita bisa belajar dari peristiwa ini bahwa "materi" itu bisa hilang atau lenyap sewaktu-waktu, dan terutama segala kepuasan yang berasal dari "materi" tidaklah kekal.

Pencarian terkadang adalah proses panjang yang berliku (Oze National Park. Dokumentasi Pribadi)
Pencarian terkadang adalah proses panjang yang berliku (Oze National Park. Dokumentasi Pribadi)
GDP bukan segala-galanya

Sebuah survei tentang perasaan "bahagia" juga dilakukan oleh perusahaan research WIN Gallup di tahun 2016, dimana hasilnya menempatkan negara Fiji sebagai negara yang penduduknya mepunyai tingkat perasaan bahagia terbanyak di dunia. Ssttt, di hasil survei yang sama, ternyata Indonesia menempati urutan 5 besar lho. 

Sayangnya, saya tidak berhasil menemukan di laman mereka, bagaimana cara mereka atau apa yang ditanyakan (kriteria "bahagia" nya apa) dalam survei.

Namun yang pasti, GDP sebagai ukuran kemakmuran suatu negara, tidak berbanding lurus dengan rasa "bahagia" yang bisa dirasakan oleh penduduk negara tersebut, setidaknya dari data hasil survei diatas. Negara2 seperti Amerika, dan negara maju yang lain di Eropa termasuk Jepang yang mempunyai GDP tinggi, hanya bertengger di tengah2 dalam hasil survei dari WIN Gallup, "dikalahkan" oleh negara2 berkembang.

Tapi, ada berita menarik dari Nikkei di akhir tahun lalu yang menyebutkan bahwa di tahun 2050 nanti, GDP Indonesia akan naik pesat dan menduduki peringkat 4 dunia melebihi Jepang ! 

Kalau itu terjadi, lalu bagaimana hasil dari WIN Gallup di tahun tersebut (jika survei diadakan lagi) nantinya ? Akankah rasa "kebahagiaan" orang akan berkurang dan peringkat Indonesia akan turun di hasil survei itu nantinya ? Kita tunggu saja.

Perubahan pola hidup masyarakat

Perasaan bahagia (shiawase) di Jepang, juga mengalami perubahan secara signifikan. Di akhir era Showa dan awal era Heisei, biasanya orang Jepang senang untuk berkumpul dan bergembira dengan kelompok orang dalam jumlah besar.

Seperti misalnya pergi ke karaoke bersama, atau makan bersama dengan lebih dari 10 orang. Di akhir era Heisei (catatan : April 2019 Kaisar Jepang yang sekarang akan lengser dan nama Heisei juga akan berganti), orang lebih senang dan merasa bahagia kalau sendirian, misalnya bertamasya sendirian, karaoke sendirian dan makan sendirian. 

Hal ini tentunya juga diantisipasi oleh pelaku bisnis, sehingga saat ini di situs2 pemesanan tamasya (akomodasi), penyedia jasa meng-iklankan besar2-an dan terkadang memberikan korting untuk orang yang akan berpergian sendiri. Juga di tempat2 karaoke, bahkan di tempat2 makan yang biasanya orang makan beramai2 seperti menikmati shabu2 atau yakiniku, sekarang tidak jarang restoran menyediakan kursi untuk orang yang datang sendirian.

"Ohitorisama" adalah istilah bahasa Jepang bagi orang yang melakukan segala sesuatunya sendiri (an), misalnya pergi ke restoran, tempat hiburan, dll. Istilah ini pernah dipilih sebagai salah satu kandidat istilah yang populer di Jepang beberapa tahun yang lalu. Pilihan kenyamanan atau merasa lebih "bahagia" jika sendiri, juga bisa dilihat dari angka tanshinsetai (orang yang memilih untuk hidup sendirian, tidak kawin selamanya) yang meningkat dari tahun ke tahun.

Teknologi yang berkembang pesat saat ini juga menjadi salah satu penyebab (atau berpengaruh pada) berubahnya pola hidup masyarakat. Misalnya, dengan tersedianya jaringan komunikasi (data) yang cepat dan merata, maka orang sudah tidak perlu lagi pergi jauh2 untuk misalnya belanja bersama teman. Cukup dengan beberapa klik dengan komputer atau gawai, mereka sekarang sudah bisa berbelanja dengan mudah dan praktis, sendiri (an).

Para penyedia jasa hiburan seperti karaoke dan film sekarang juga bisa menyediakan jasa hiburan melalui jaringan, sehingga orang tidak perlu lagi susah2 keluar rumah (plus keluar biaya untuk transportasi) untuk menikmatinya. Para penyedia jasa ini sekarang menyediakan layanannya melalui internet dengan biaya (bulanan) yang murah, sehingga lagi2 orang lebih cenderung untuk menikmatinya sendiri (an).

Smartphone yang merupakan salah satu produk teknologi, juga menjadi salah satu sebab orang lebih sering merasa nyaman dan "bahagia" sendirian. Bahkan saat bertemu dengan teman atau kerabat, orang lebih keranjingan (asyik) memainkan smartphone, daripada mencoba berkomunikasi dengan orang2 yang secara fisik nyata dan berada di sekitarnya. Lalu, orang juga lebih condong untuk menonjolkan dirinya sendiri, misalnya dengan swafoto (selfie). 

Atau, bisa kita lihat di sekeliling sewaktu kita pergi ke warung makan (restoran) bahwa mereka lebih sibuk dan konsentrasi untuk memfoto makanan supaya bisa di posting di sosial media dan mendapat "like" yang banyak untuk kepuasan dirinya sendiri, ketimbang menikmati makanannya sambil ngobrol dengan teman makan.

Sendirian kadang mengasyikkan (Danau Okutama. Dokumentasi Pribadi)
Sendirian kadang mengasyikkan (Danau Okutama. Dokumentasi Pribadi)
Temukan kebahagiaan anda sendiri

Jaman sekarang, dengan semakin majunya teknologi, maka orang akan lebih sulit untuk menjadi "dirinya" sendiri. Jika sedang ramai2 nya orang mendengarkan suatu jenis lagu atau musik, maka jika tidak ikut2 an maka dia akan merasa terkucil. Jika tidak memakai baju yang sedang tren atau tidak menggunakan gawai terbaru, maka dia akan merasa minder. Jika postingan di instagram atau facebook sedikit yang melihat atau memberi "jempol", maka rasa gelisah dan rasa kesepian akan melanda.

Tidak semua yang berbau "sendiri", itu jelek atau negatif. Salah satu yang positif adalah, menjadi "diri sendiri", walaupun untuk bisa begitu diperlukan keberanian (yang tidak mudah bagi sebagian orang). 

Bahkan, terkadang memang diperlukan suatu waktu bagi kita untuk menyendiri dan berdialog dengan diri sendiri. Rasa kesepian yang melanda seseorang, salahsatu sebabnya adalah orang tidak bisa berdialog dengan diri sendiri, menurut Hannah Arendt, seorang filsuf Jerman. Olehkarena itu kita kadang merasa kesepian walaupun berada di keramaian. Rasa sepi ini, menurut Hannah, adalah karena kita tidak bisa (tidak biasa) berdialog dengan diri sendiri, bukan karena kita secara fisik sendiri (an).

Rasa bahagia juga jangan dibandingkan atau meniru dengan apa yang menjadi ukuran kebahagiaan orang lain. Sebab seperti yang saya sudah tulis diawal, standar orang pasti berbeda-beda untuk ukuran apa yang dia rasakan sebagai suatu kebahagiaan.

Maka, temukanlah dan carilah sesuatu yang menjadi sumber rasa bahagia pembaca sendiri, bukan hasil contekan maupun hasil ikutan tren. Yang terpenting, kalau kita bahagia maka kemungkinan kebahagiaan kita bisa menular kepada orang lain. Namun ada catatan kecil, kita harus menjadi (atau merasakan jadi) orang yang bahagia dahulu, sebelum kita bisa  membuat bahagia orang lain.

Mulailah pencarian itu sekarang, karena belum terlambat. Sebab, kita baru saja membuka lembaran baru tahun 2018.

Selamat Tahun Baru 2018 dan selamat mencari.....

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun