Aku mencoba untuk tidak canggung berdiri di ruang kepala sekolah. Sumpah penampilanku hari ini sepertinya agak aneh. Kemeja putih lengan panjang berpadu celana baggy warna gelap. Tapi beruntung aku aku punya jas almamater dengan emblem besar, membuat sedikiti percaya diri meningkat.
"Gini Mas ehmm, Â Pak Raja. Anak-anak mau lomba membaca puisi di kabupaten bulan depan. Maunya puisi bikinan sendiri biar jos", papar ibu kepala sekolah seraya menunjukan jempol.
"Guru bahasanya?"
"Ada tapi kita butuh  yang baru dan mutakhir.  Mas  mahasiswa pasti banyak ide-ide brilian." Bu kepala sekolah memandang tajam sambil tersenyum.
"Saya usahakan, Bu."
Anak SMP adalah mahluk ajaib yang sedang mencari jati diri. Beberapa dari mereka terlihat seperti anak-anak tapi sebagian dari mereka merasa sok dewasa. Apalagi beberapa lelaki yang suaranya sudah mulai pecah, sungguhlah mereka ingin menunjukan eksistensi. Anak perempuannya tak kalah heboh apalagi jika sudah berkumpul lebih dari tiga orang. Mereka lebih ribut dan sering melontarkan  pertanyaan serta  celetukan yang mengundang tawa,  mengandung perundungan.  Nyatanya anak desa tidak selugu  dan semanis seperti  di  sinetron.
"Di sini ada yang suka menyanyi?" Saya berusaha mencairkan suasana setelah perkenalan.
Beberapa siswa menunjuk jari, tapi lebih banyak menunjuk seseorang anak lelaki berbadan tegap mulai berkumis tipis.
"Tuh Ridwan. Selalu bawa buku lagu. Dulu suaranya bagus tapi sekarang sember ", celoteh gadis hitam manis bernama Ratna, disambut riuh tawa seluruh isi kelas.
"Sesuatu yang normal. Nanti saat SMA suaramu jadi lebih berat dan akan enak didengar. Bisa pinjam buku lagunya."
Ridwan cepat-cepat memberikan buku lagu, kubuka salah satu halaman dan kutemukan lagu Rosa, Nada-Nada Cinta. Kutuliskan beberapa bait lirik di papan tulis.