Mohon tunggu...
Danan Wahyu Sumirat
Danan Wahyu Sumirat Mohon Tunggu... Buruh - Travel Blogger, Content Creator and Youtuber

blogger gemoy

Selanjutnya

Tutup

Travel Story

Emak-emak Backpacker

8 Mei 2013   13:50 Diperbarui: 24 Juni 2015   13:54 921
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

[caption id="" align="alignnone" width="550" caption="tiga sahabat – Rosi, Evi dan Lucy"][/caption] Aktivitas backpacking identik dengan anak muda, tapi bagaimana jika emak-emak memilih gaya jalan-jalan ekstrim sebagai me time. Komunitas jalan online mempertemukan saya dengan Rosi, Evi, Herlina dan Lucy, 4 orang wanita berusia 40-an.  Ketika wanita sebaya mereka  memilih  ke Paris sambil menenteng  tas Hermes atau Louis Vuitton. Emak-emak ini justru menggendong backpack menjelajah FLores dan Timor Leste  dua minggu penuh. Kupang tempat saya bertemu dua sahabat Rosi dan Evi. Timor Leste ,  kota pertama trip kali ini. Mengapa tidak langsung menuju Mamuere? Alasannya , tiket Jakarta-Kupang jauh lebih murah dari Jakarta-Maumere. Rencananya melalui jalan darat  12 jam menuju negara yang pernah menjadi bagian Indonesia, Timor Leste. Melewati kota kecil sepanjang jalan Timor Raya ,Soe, Kefa dan Atambua.  Ada pengalaman menarik ketika menarik ketika berjalan-jalan  kota Dili. Siapa sangka  keramahan emak-emak mampu meluluhkan hati penjaga Istana Kepresidenan Dili, Palacio Presidencial Timor Leste . Membawa masuk ke ruang protokoler istana, dimana Taur Matan Ruak biasa menjamu tamu  kenegaraan. Sekembali dari Timor Leste , Herlina bergabung dengan kami di Kupang. Wanita memiliki impian menjejakan kaki  puncak Himalaya  di usia ke 50 tahun. Baginya travelling tidak hanya bersenang-senang  tapi kesempatan  berbagi dan melatih kepekaan hati.Tidak mengherankan di sela waktu  jalan-jalan , menyempatkan waktu mengunjungi panti sosial . Sesampai di Maumere Lucy sahabat Evi dan Rosi sudah menanti di bandara Fran Seda, tapi ranselnya nyasar di Labuan Bajo. Nah lho. Emak-emak selalu siap  menghadapi kondisi terburuk . Lucy berkata , hikmahperistiwa ini  adalah kesempatan belanja  pakaian di Ende . Wanita selalu punya seribu satu alasan untuk belanja. Backpacker kok belanja? Percaya atau engga, meskipun jalan-jalan separuh nyawa emak-emak ini tetep di rumah. Tiap pagi Rosi sibuk bertelpon ria memantau aktivitas keluarga. Mulai dari sarapan sampai urusan baju batik suami ngantor. Hadeuh. Malam hari tak kalah sibuk.  "Si bungsu minta dipandu membuat PR lewat telepon nih", ujarnya ringan. Evi tak kalah sibuk, dengan setia mendengar curhat putrinya yang beranjak dewasa melalui facebook atau pesan singkat. Sejalan dengan falsafah hidup backpacker. Kalau bisa murah kenapa harus mahal,  kalau bisa gratis kenapa harus bayar. Mencari penginapan gratis melalui jaringan pertemanan , relasi dan kekerabatan. Kalaupun harus bayar , harus paling murah meskipun harus ada drama. Seperti malam di Moni, keliling kota membawa ransel demi harga terbaik. Akhirnya dengan mental pantang menyerah emak-emak , kami bermalam hotel nyaman setengah harga. Emak-emak itu perpaduan antara MacGyver dan  Doraemon, berpergian dengan tas besar dan isinya super lengkap. Melewati jam makan tidak  khawatir karena  selalu ada snack pengganjal perut. Persediaan obat-obatan mirip apotik berjala. Mereka selalu memikirkan hal-hal kecil yang tidak terpikirkan kaum pria. Saya kagum bagaimana Bu Herlina menyulap kain pantai, kantung plastik dan tissue basah jadi WC darurat. Wanita ditakdirkan memiliki kepekaan hati lebih dibandingkan pria. Siapa sangka kegiatan backpacking ini bermuara pada aktivitas sosial. Karena tidak sanggup trekking 4 jam ke Wae Rebo,  Bu Herlina memutuskan berjalan-jalan di Dintor. Minimnya fasilitas di Dintor menggerakan hatinya melakukan sesuatu.  Atas bantuan Lions Club Jakarta  Anjelier  dan   Medika Media  serta donatur  perorangan , sebulan kemudian fasilitas pendidikan pra tk dan pra SD resmi didirikan. Dengan memanfaatkan bangunan semi permanen di samping penginapan milik Bapak Martinus Ango. Jalan bersama emak-emak memberikan presepsi baru backpacking. Backpacking tidak sekedar jalan-jalan murah tapi berbagi kemurahan hati terhadap sesama. Banyak anak muda  enggan melakukan aktivitas outdoor bersama orangtuanya, terutama ibu. Gap generation dan komunikasi mungkin yang menjadi masalah .  Tidak ada salahnya anak mengajak orangtua travelling dengan gaya ekstrim, atau sebaliknya. Apalagi jika orang tua bisa memposisikan anak sebagai teman seperjalanan. Wah seru rasanya jika bisa backpacking bersama mereka. Berani mencoba? [caption id="" align="alignnone" width="550" caption="Life Begin at 40"]

Life Begin at 40
Life Begin at 40
[/caption] [caption id="" align="alignnone" width="550" caption="berfoto bersama di Istana Keprsidenan Dili"]
berfoto bersama di Istana Keprsidenan Dili
berfoto bersama di Istana Keprsidenan Dili
[/caption] [caption id="" align="alignnone" width="550" caption="trekking  menuju Wae Rebo"]
trekking di Wae Rebo
trekking di Wae Rebo
[/caption] kisah lengkap backpacking penulis dapat dilihat di blog penulis di sini

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Travel Story Selengkapnya
Lihat Travel Story Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun