Zaman semakin maju dan kehidupan semakin keras, untuk bisa bertahan setiap manusia harus memiliki semangat berkompetisi. Menjadi yang terbaik terkadang memang tujuan hidup. Sehingga beberapa orangtua memperkenalkan dan memupuk semangat ini sejak dini. Namun bagaimana jika sang anak tidak memiliki semangat berkompetisi?
Sebuah fenomena yang dialamai keponakan saya, sebut saja namanya Dilla. Dilla merupakan anak kedua dari dua bersaudara berusia 6 tahun. Tahun ini dia akan masuk sekolah. Orangtua Dilla mengingkan dia masuk kelas bilingual, dan menjalani serangkaian tes. Tapi tiba-tiba merasa tidak percaya diri dan mogok untuk ikut tes kelas bilingual. Untung orangtua Dilla bukan tipikal orangtua yang memaksakan kehendak. Dengan legowo mereka membiarkan Dilla masuk kelas reguler.
Sebetulnya Dilla bukan anak yang bodoh, di usia tiga tahun dia sudah bisa membaca dan menulis dengan sangat baik. Semuanya atas bimbingan sang nenek yang memang mengasuh Dilla sejak bayi. Di usia kelima Dilla sudah dapat berhitung dalam jumlah ratusan. Semua aktivitas belajar yang dilakukan sebetulnya sangat santai, tidak ada paksaan dan lebih cenderung bermain.
Usia empat tahun Dilla pertama kali diperkenalkan dengan kompetesi. Mengikuti sebuah lomba mewarnai di salah satu Mall. Karena kesibukan orangtuanya saya ditugaskan untuk mengantar dan menemani Dilla. Ketika lomba belum dimulai tidak ada masalah apa-apa. Seperti kebanyakan anak sebayanya dia mencoba untuk berkenalan dan berinteraksi dengan peserta lain. Ketika lomba akan dimulai, suasana menjadi lebih tegang. Meskipun orangtua peserta tidak boleh masuk ke arena perlombaan. Beberapa orangtua masuk ke arena dan mencoba mengarahkan anak mereka dengan caranya masing-masing untuk menjadi yang terbaik. Sehingga suasana kompetisi semakin terasa panas. Apalagi ada orangtua yang mengarahkan sang anak dengan suara keras. Merasakan kondisi yang kurang kondusif Dilla pun mogok, dia memilih diam tidak melakukan apa-apa.
Sejak kecil Dilla sudah diperkenalkan dengan kegiatan sosial, seperti berbagi dengan sesama yang membutuhkan. Namun terkadang sikap empati terhadapt teman di sekolah menjadi semacam bumerang. Sering sekali bekal yang dibawa sekolah habis tapi dibagikan kepada teman-temannya. Awalnya sih kejadian ini tidak terlalu mengganggu. Yang mengganggu ketika Dilla lebih memilih kelaparan daripada tidak membagikan bekal kepada teman-temannya. Sebagai orangtua kita sudah melakukan penjelasan dengan pendekatan dan mencari kata-kata yang paling mampu diterima dengan logika anak.
Satu masalah selesai, masalah berikutnya muncul. Guru di kelas Dilla melaporkan kalau akhir-akhir ini Dilla sering tidak menyelesaikan tugasnya di dalam kelas. Waktu Dilla habis untuk membantu dan mengerjakan tugas teman sebangkunya bernama Nazwa. Nazwa memang terlihat anak paling lemah di kelas. Selain fisiknya yang kecil Nazwa memang serng tidak masuk sekolah karena sakit. Karena rasa empati yang berlebih Dilla selalu mendampingi Nazwa, membantu segala hal di dalam kelas. Sisi buruknya Nazwa juga menjadi tidak mandiri dan tergantung dengan Dilla. Sedangkan Dilla, waktunya habis untuk mendampingi Nazwa. Tahun ini rencananya orangtua Dilla akan menyekolahkan Dilla yang berbeda dengan Nazwa.
Anak memang memiliki hak untuk melakukan apa yang mereka mau dan suka. Tapi orangtua juga memiliki kewajiban segala hal positif, termasuk kompetisi. Dengan berjalannya waktu dan kemampuan komunikasi yang meningkat, Dilla berani terang-terangan menolak kompetisi. Seperti beberapa waktu yang lalu dengan berani dia bilang ke wali kelas kalau tidak ingin mewakili sekolah lomba praktek sholat. Terkadang ekpresi berani mengemukakan pendapat seperti ini juga direspon sebagai tindakan melawan oleh sang guru. Jika ditanya alasannya. Dilla akan menjawab kalau dia akan lebih nyaman membaca hapalan sholat di rumah atau di sekolah.
Dilla bukan anak pemalu, ketertarikan akan dunia seni cukup tinggi. Sejak umur 1,5 tahun dia sudah mampu menyanyikan lagu anak-anak. Sampai sekarangpun masih memiliki minat yang sama. Seni olah tubuh pun menjadi minatnya. Beberapa lalu sempat tergabung dengan grup tari di sekolahnya. Tapi ketika mendengar bahwa tarian yang dibawakan akan diikutkan lomba. Dilla mundur dengan teratur.
Apakah ada yang salah dengan kata-kata lomba? Seolah aktivitas ini menjadi satu kegiatan yang begitu membuat dia paranoid lalu menarik diri. Kami sekeluarga belum pernah berkonsultasi dengan psikolog anak. Karena bagi kami , selama dia masih nyaman di sekolah dan minat belajarnya masih ada bukan masalah besar. Tapi bagi saya pribadi yang menakutkan adalah ketika Dilla tidak bisa memaksimalkan apa yang dia punya karena ketakutannya pada kompetisi.
Berharap dengan berjalannya waktu Dilla lebih berani berkompetisi dan menikmati kompetisi sebagai seni kehidupan. Terkadang kompetisi merupakan trigger yang baik untuk maju.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H