Pendidikan merupakan sektor paling penting dalam kehidupan karena lewat pendidikan kita bisa mendekatkan diri kepada Tuhan serta menggunakan hasil dari pendidikan yang paling utama yaitu budi pekerti yang luhur.
Muara terakhir dari pendidikan adalah budi pekerti atau akhlakul karimah kepada semua makhluk termasuk hewan, tumbuhan hingga alam semesta.Â
Secara garis besar, menurut Undang-Undang pendidikan dibagi menjadi 3 yaitu pendidikan formal, non formal dan informal. Pada kesempatan kali ini kita akan membahas pendidikan Informal.
Menurut Undang-Undang No 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional secara tegas mengatakan bahwa pendidikan dilakukan melalui tiga jalur, yaitu: pendidikan formal, pendidikan non formal, dan pendidikan informal.
Pendidikan informal adalah segala bentuk pembelajaran yang berbasis pada keluarga dan lingkungan sekitar.Â
Dari kapasitas waktu, sebenarnya pendidikan informal inilah yang paling sering bertemu antara pendidik dan peserta didik.
Apa itu pendidik?Â
Pendidik adalah setiap orang yang memberikan pembelajaran apa saja kepada peserta didik, baik pembelajaran periodik seperti di lembaga pendidikan maupun pembelajaran yang hanya bisa didapat di luar lembaga pendidikan.Â
Pendidik dan peserta didik bisa mulai dari seorang ayah memberikan contoh cara berbaik hati kepada sesama, hingga seorang ibu yang mengajak anaknya membuang sampah pada tempatnya
Sedangkan peserta didik adalah setiap manusia yang menerima pembelajaran dari pendidik, dalam pandangan luas pendidik bisa berupa ayah, ibu, kakek-nenek, bahkan semua orang yang memberikan pembelajaran kepadanya.
Seberapa penting pendidikan Informal yang secara Undang-Undang masuk dalam pendidikan nasional? Adakah kurikulum dan metode pembelajaran di dalamnya? Apakah setiap pembelajaran harus ada unsur kesengajaan dan terencana? Bagaimana jika hanya dengan interaksi sanggup melahirkan pembelajaran tanpa adanya kesengajaan?
1. Pendidikan Informal dalam Keluarga
Pendidikan keluarga merupakan langkah awal dan paling krusial dalam membentuk karakter anak. Role modelnya adalah bapak ibu itu sendiri.
Mereka secara tidak langsung akan merekam segala tingkah laku dan ucapan dari orang tuanya. Karena anak itu ibarat seperti kertas putih yang bebas ditulis dan dibuat apa saja tergantung siapa yang akan mengubah kertas putih itu.
Bahkan, pendidikan prenatal dan postnatal adalah pendidikan yang paling penting untuk diperhatikan karena ketika ruh yang dikirim Tuhan pada umur 4 bulan di kandungan, merupakan sebuah PR besar bagi orang tua dalam mendidik anak meski masih dalam kandungan.Â
Mereka tidak bisa memilih untuk dilahirkan, tapi orang tua (atas izin Tuhan) secara sadar sengaja bahwa anak ini harus dilahirkan.Â
Maka dari itu, mereka adalah tanggung jawab orang tua secara penuh yang tentunya menjadi tantangan hingga dewasa nanti.
Kemudian ketika anak memasuki usia 0 tahun hingga 5 tahun yang kemudian disebut BALITA (Bayi di bawah Lima Tahun).Â
Rentang usia itu kemudian disebut juga dengan Golden Age yang mana 5 tahun pertama adalah tahun keemasan yang dimiliki anak. dalam hal ini, Peran orang tua sangat diperlukan untuk membentuk karakter dan sikap anak.
Seiring dengan perkembangan anak, metode orang tua dalam membimbing yang ideal bisa menggunakan tarik-ulur.Â
Metode ini dimaksudkan ada waktunya memberikan tekanan/pressure dan ada waktunya memberikan kelonggaran kepada anak. Kadang melarang kadang juga membolehkan. Kadang tegas kadang juga friendly.
Setidaknya ada beberapa macam pendidikan yang bisa didapat dalam keluarga di antaranya:
- Pendidikan iman dan agama
- Pendidikan moral dan akhlak
- Pendidikan fisik
- Pendidikan intelektual
- Pendidikan psikis
- Pendidikan seks
- Pendidikan sosial
Dari macam-macam pendidikan ini, setidaknya orang tua mempunyai opsi dari pendidikan mana yang didahulukan. Karena dari macam-macam pendidikan itu ada yang masih dianggap tabu jika dibahas dalam keluarga yaitu pendidikan seks.Â
Padahal pendidikan ini penting dalam menekan pergaulan bebas nantinya. Jika diberikan pengetahuan dan pemahaman secara mendasar, mereka akan merekam bahwa menjaga diri adalah poin penting ke depannya.
Termasuk pendidikan psikis yang ternyata dibutuhkan ketika menginjak remaja bahkan dewasa. Seiring mereka menemukan sebuah masalah dan jiwanya terguncang, maka lebih awal sebisa mungkin para orang tua memberikan metode dasar atau cara menyelesaikan masalah.
Mau tidak mau, yang sebenarnya mereka inginkan sebagai anak adalah mereka ingin menjadikan orang tua sebagai teladan/contoh dalam berkehidupan. Mereka ingin idola mereka adalah keluarga dalam hal ini tentunya orang tua.
2. Pendidikan Informal dalam Lingkungan
Sesuai dengan teori behaviorisme yang mengatakan bahwa pembentukan karakter manusia akan sesuai atau dipengaruhi oleh lingkungan sekitarnya. Jika lingkungan sekitarnya "sehat" maka pribadi individu juga "sehat".
Pendidikan yang nantinya didapat seorang anak ketika berinteraksi sosial, maka tidak bisa lepas dari pengawasan orang tua.Â
Lingkungan mempunyai peran penting dalam membentuk karakter dan sifat seorang anak.
Jika pendidikan keluarga sudah dijalankan dengan baik, maka kemungkinan "terbawa arus" pengaruh lingkungan masih bisa ditangani.Â
Anak yang dari awal punya prinsip, maka biasanya tidak akan terpengaruh hal negatif dan prinsip itu didapat salah satunya melalui pendidikan keluarga. dan prinsip itu bisa dibangun bersama dalam kawasan keluarga.
Dengan pendidikan lingkungan, mereka (anak-anak) bisa belajar caranya berkomunikasi dengan baik, akan menemukan indahnya kebersamaan, nikmatnya gotong royong saling membantu satu sama lain, dan hal-hal yang berhubungan dengan sosial.
Menurut asumsi klasik, interaksi sosial pada lingkungan pedesaan porsinya akan lebih besar dari pada lingkungan yang ada di perkotaan.Â
Mereka (anak-anak) akan sering bertemu dengan banyak orang dalam sehari. Mereka akan merasakan kesederhaan hidup dengan makan seadanya, bermain ala kadarnya hingga merasakan fasilitas tradisional yang mungkin sudah jarang ditemui di perkotaan.
Tapi untuk saat ini di era serba digital, sepertinya hampir sama kehidupan yang ada di perkotaan atau pedesaan seiring dengan semakin canggihnya perkembangan zaman.Â
Bisa juga sekarang di pedesaan semakin sepi karena kawasan main anak-anak hanya di dalam rumah pakai gagdet, sedangkan di perkotaan, anak-anak bisa sering keluar rumah dengan ramainya komunitas atau perkumpulan yang sekain banyak.
Garis besarnya adalah pendidikan yang anak-anak dapat di lingkungan tersebut diharapkan ketika pulang ke rumah, mereka sanggup bercerita apa saja yang didapat hari ini. Memberikan pertanyaan kepada anak tentang aktivitasnya dalam sehari itu bukan lantas jadi overprotektif, tapi lebih mengarah ke filterisasi atau penyaringan adat, kebiasaan atau hal-hal yang sekiranya tidak perlu ditiru dan dilakukan oleh seorang anak.
3. Urgensi dan Tantangan Pendidikan Informal
Dilihat dari durasi waktu yang diperlukan, pendidikan informal adalah pendidikan terlama di Indonesia bahkan didunia. Karena bisa dikatakan bahwa waktu yang diperlukan untuk proses pendidikan informal adalah sepanjang hayat.Â
tidak peduli keluarganya baik ataupun kurang baik, faktanya mereka akan terus bertemu dengan keluarga atau salah satu keluarganya. setiap hari.
Begitu juga pendidikan lingkungan yang tidak akan bisa lepas darinya. di manapun berada, mereka akan menemukan lingkungan. Mereka akan terus berkomunikasi dengan orang lain demi keberlangsungan hidup mereka. Jika mereka teliti, mereka akan menemukan proses pendidikan lingkungan yang sedikit-banyak memberikan dampak bagi dirinya. Maka dari itu perlu dilatih dari lingkup terkecil yaitu keluarga.Â
Lingkungan sekitar bisa berpengaruh atau bisa juga tidak berpengaruh terhadap dirinya. Tergantung bagaimana mereka bisa mengendalikan dirinya sendiri apalagi sekarang zamannya sudah teknologi. Mereka bisa saja terpengaruh dengan dinamika lingkungan disekitarnya atau malah terpengaruh dari teknologi.Â
a. Pendidikan Keluarga
Mau tidak mau, suka tidak suka, diakui atau tidak, orang tualah yang bertanggung jawab penuh atas pertumbuhan dan perkembangan anak-anaknya. Para orang tua bisa menggunakan cara dan metode apa saja dalam mendidik anak.
Mungkin yang banyak terjadi, setelah anaknya belajar di sekolah formal, mereka akan lebih patuh dan nurut pada gurunya dari pada dengan orang tuanya sendiri. Itu bagus, pertanda bahwa lembaga pendidikan memberikan pembelajaran yang baik.Â
Tapi lebih bagus lagi, jika dari rumah mereka sudah bisa nurut dengan orang tuanya ditambah patuh dengan gurunya disekolah.Â
Nah, yang bahaya adalah ketika mereka terlihat nurut di rumah tapi di sekolah menjadi incaran guru. Bisa jadi orang tua kaget tingkahnya di sekolah karena saat dirumah jauh berbeda. Ada yang sampai mengadu ke sekolah dengan dalih tabayyun terkait perbuat anak.
Melihat dari perkembangan pola asuh orang tua yang semakin milenial ini, rasanya sikap terlalu sayang kepada anak itu perlu dikaji lagi. Karena Imbasnya, jika ada kejadian pada saat di sekolah seperti ada pertengkaran atau lainnya, maka yang dibela adalah anaknya sendiri. hal seperti ini perlu diminimalisir juga agar kedepannya bisa menjadikan proses pembelajaran disekolah dapat berjalan selayaknya.Â
Dahulu, jika di sekolah bermasalah maka di rumah malah kena tambahan masalah karena dimarahi orang tua telah berbuat onar di sekolah. Tanpa melihat siapa salah siapa benar, seyogyanya para orang tua ingin memberikan pembelajaran bahwa bertengkar saja itu sudah hal yang fatal.
Mungkin berbeda dengan seiring berkembangnya zaman bahwa tingkat kecintaan kepada anak semakin tinggi, dan itu bukan selamanya baik, perlu dikontrol dan disesuaikan dengan situasi. Semakin bijak dalam menghadapi sikap anak, maka semakin baik.Â
Kasus pada berita yang beredar, rasa percaya dan taat pada guru sudah mulai memudar. Terlihat mulai dari pelaporan guru ke polisi karena memarahi anak didik hingga ada kasus orang tua memukuli guru karena telah memukuli anaknya.Â
Nah, itu semua seharusnya tidak perlu terjadi jika rasa "trust" antara wali murid dan guru terus terjaga.
b. Pendidikan Lingkungan
Jika tidak ada lingkungan, tidak akan ada interkasi, komunikasi dan berbagi rasa antar sesama.Â
Pada dasarnya semua manusia adalah makhluk sosial yang tidak bisa berdiri sendiri, namun harus saling membutuhkan satu dengan lainnya.
Bisa jadi, mereka (siswa) menjadi lebih dewasa lebih dari yang dikira karena mereka latihan komunikasi dan interaksi dengan masyarakat di luar sekolah. Bisa jadi, mereka lebih menjadi toleran antar perbedaan karena masyarakat sekitarnya adalah multiagama. Artinya, perkembangan anak bisa saja lebih signifikan terpengaruh pada lingkungannya yang mana sesuai dengan teori Behaviorisme dan itu bagus selama perkembangannya bernilai positif.Â
Poinnya, pola komunikasi masyarakat juga diperlukan dalam membentuk karakter dan pribadi anak, tentunya yang dimaksud adalah lingkungan yang "sehat dan positif".Â
Mereka dipersilakan saja memperlajari apapun dengan lingkungan disekitarnya, mulai dari kesederhanaan, menghargai pendapat, mengendalikan ego dan emosi, menjunjung persatuan, hingga tentang aplikasi dari sikap tenggang rasa.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H