Smartphone mempunyai kemampuan untuk menyimpan banyak sekali aplikasi yang dapat menunjang pekerjaan manusia, awalnya. Tapi seiring perkembangannya, seolah menjadi kebutuhan untuk mempunyai sebagian aplikasi yang paling banyak digemari, hanya agar dianggap tidak ketinggalan informasi. Fitur yang disuguhkan smartphone begitu kompleks yang sangat membantu meringankan kebutuhan bahkan keinginan penggunanya, termasuk sosial media.
      Deretan sosial media yang sekarang "dianggap" populer di Indonesia adalah Facebook, Twitter, Instagram, Youtube, hingga Tiktok. Didalamnya terdapat sistem follower atau pengikut akun kita yang nantinya akan mengetahui segala sesuatu yang kita post. Faktanya, ada beberapa orang yang semakin banyak follower, maka semakin "merasa" terkenal. Apalagi sekarang ada Adsense yang bisa didapatkan setelah melalui beberapa persyaratan. Ujungnya, semakin banyak pengikut kita, semakin banyak foto/video yang kita unggah, maka semakin banyak pula pundi-pundi rupiah yang didapat.
     Terlepas dari adsense, salah satu fitur yang disuguhkan oleh beberapa media sosial adalah kolom komentar, faktanya, fitur inilah yang kemudian dimanfaatkan orang-orang untuk mengomentari apa yang sudah di unggah oleh orang lain. Terkadang, orang yang mengunggah pun merasa iseng dengan harapan postingannya bisa dikomentari orang banyak, tak peduli baik ataupun buruk lebih-lebih bisa trending.
     Bahasa yang dibawa inilah kemudian dijadikan masalah terkait ketersinggungan, unsur SARA, provokasi, ataupun ancaman kriminal. Bersamaan dengan hal itu, ada Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE) yang kemudian KOMINFO menggunakan itu sebagai landasan hukum terkait apa saja yang berkaitan dengan dunia cyber (online).
     Kemampuan smartphone yang multitasking, juga memungkinkan seseorang mempunyai multi akun pada satu smartphone. Memanfaatkan fitur itu lalu digunakan juga pada akun media sosial mereka yang mempunyai alasan sendiri-sendiri. Mulai dari kebutuhan bisnis hingga yang bertujuan mencari followers, lalu terkenal dan mendapat pujian sana-sini bahkan bagi nekat, mereka berani membayar agar pengikutnya meningkat berlipat-lipat. Ditakutkan juga ketika mereka mempunyai multi akun, mereka secara "tidak sadar" termasuk golongan orang yang terkena Online Disinhibition Effect.
Menurut penyataan dari dr. Fatmawati yang dilansir www.alodokter.com mengatakan bahwa orang yang mempunyai sifat berbeda antara dunia maya dan dunia asli itu bisa jadi terkena Online Disinhibition Effect. Adalah ketidakmampuan seseorang dalam mengendalikan perilaku, pikiran dan perasaannya didunia maya. Selain itu, juga beberapa orang beranggapan bahwa media sosial sebagai ajang menunjukkan keberadaan atau eksitensinya, dengan bebas berkespresi dan mendapat banyak pujian sedangkan didunia nyata mungkin keberadaanya kurang dianggap. Beliau juga berpendapat jika memiliki fenomena ini bukan berarti anda menderita masalah medis atau masalah gangguan kepribadian, namun bila dibiarkan dapat menjadi masalah psikologis.
Jika mengutip jurnal A.N Joinson berjudul Self-disclosure in computer-mediated communication: The role of self-awareness and visual anonymity yang kemudian di jadikan refrensi Jurnal mahasiswa Universitas Diponegoro dengan judul Hubungan Konsep Diri dengan Toxit Disinhibition Online Effect pada siswa SMK mengatakan bahwa terdapat temuan umum bahwa orang sering berperilaku berbeda ketika online dibanding  saat offline bila  dalam  situasi  serupa. Contohnya  seorang  pengguna internet  bisa  menjadi  perayu  yang  hebat  ketika online, sementara menjadi sangat pemalu ketika offline. atau mereka mungkin mencari informasi secara online (semisal  informasi  kesehatan  dan pornografi) yang tidak akan mereka lakukan saat offline. Perbedaan mendasar ini disebut Disinhibition Online Effect.
Pada jurnal mahasiswa itu juga disebutkan bahwa menurut paper dari John Suler yang berjudul The  Online  Disinhibition  Effect. Cyberpsychology  &  Behavior,  Volume  7, Number 3. Mary Ann Liebert Inc beliau menyebut bahwa Teknologi telah mengizinkan individu untuk menjadi diri sendiri atau mencoba menjadi identitas dan kepribadian lain yang tidak bisa diperlihatkan dalam keadaan realitas face- to-face,  juga  dengan  kedua  efek positif dan negatifnya. Coba perhatikan Paper dari John Suler, dia memakai kata psychology yang jika dikaitkan adalah adanya efek samping yang dihasilkan dari Online Disinhibition Effect ini baik skala besar maupun kecil yang mengarah kepada psikologi seseorang. Ada potensi yang tersirat dari penggunaan smartphone khususnya media sosial bahwa kita ingin menjadi diri sendiri atau memilih menjadi pribadi orang lain agar identitas aslinya terlabui oleh kehidupannya di dunia maya.
Fakta lapangan menunjukkan bahwa orang yang berkomentar di media sosial dengan menggunakan kata-kata kasar, penghinaan, Body Samming, unsur SARA bahkan ancaman kriminal, mereka di dunia nyata tidak seperti itu. Ada yang ditemukan garang di media sosial, terlihat gagah dengan komentarnya, tapi di kenyataannya adalah orang pendiam, sabar yang bertolak belakang di dunia digital. Suka marah-marah, memberikan komentar kasar hingga penghinaan di dunia maya namun ketika di kenyataan kepribadiannya pendiam dan jarang keluar rumah. Begitu sebaliknya, ada juga seseorang yang baik hati, sopan, bijaksana di media sosial, ternyata di kenyataan sebenarnya adalah pribadi yang kasar dan sentimental.
Fenomena ini yang seharusnya diwaspadai bersama ketika menggunakan smartphone dan media sosial bahwa ternyata terdapat efek psikologis jika dibiarkan juga akan menimbulkan hal negatif bagi dirinya sendiri. "Dewasa" dalam menggunakan smartphone dan media sosial perlu digerakkan dalam bentuk apapun mulai dari seminar kepemudaan hingga seruan tentang bahaya sosial media lewat meme atau gerakan semacamnya. Dewasa yang dimaksud adalah tidak perlu men"detail"kan diri sendiri kedalam publik digital, cukup sewajarnya dan secukupnya dalam penggunaan media sosial. Mulai dari foto profil, unggahan tulisan, foto atau video hingga komentar terhadap orang lain bisa di lakukan dengan sikap yang sewajarnya dan diselesaikan secara dewasa.
Orang lain tidak perlu tahu seluruhnya tentang kita dari media sosial. Ada dinding-dinding privasi dari kehidupan kita yang mana orang lain tidak perlu tahu, mungkin cukup orang-orang terdekat seperti keluarga. Ada juga media sosial yang digunakan untuk laporan aktivitas yang telah dilakukan, bahkan jika itu menyangkut agama. Jika seluruh aktivitas harus di tuangkan kedalam bentuk postingan, lantas riya' (pamer) mana lagi yang disembunyikan?.