Mohon tunggu...
Danang Satria Nugraha
Danang Satria Nugraha Mohon Tunggu... Dosen - Pengajar di Universitas Sanata Dharma

Selain mengajarkan ilmu bahasa dan meneliti fenomenanya di ruang publik, penulis gemar mengamati pendidikan dan dinamikanya.

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Pilihan

Mengapa Aku Harus Bertanya?

1 Juli 2024   01:48 Diperbarui: 1 Juli 2024   02:17 62
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
(https://imgs.cwgv.com.tw/hbr_articles/78/17778/preview/17778.png)

"The unexamined life is not worth living" 

_____ Socrates

Pikiran manusia adalah hal yang aneh, terus-menerus dibombardir dengan informasi dan pengalaman. Namun, di balik banjir ini terdapat kekuatan fundamental: kemampuan untuk bertanya "mengapa aku harus bertanya". Pertanyaan yang tampaknya sederhana ini menjadi landasan refleksi penulis pada esai ini, mendorong kesadaran untuk melampaui observasi pasif ke dalam ranah pemahaman aktif.  Sepanjang sejarah, para pemikir besar telah bergulat dengan misteri eksistensi yang paling mendalam, mulai dari hakikat realitas hingga asal usul pengetahuan itu sendiri. Namun perjalanan mereka semua dimulai dengan semangat yang sama -- interogasi kritis yang dipicu oleh "kata tanya" yang dimiliki oleh pelbagai bahasa di berbagai belahan dunia.  Dalam esai ini, saya mengajak para pembaca budiman untuk menyelami makna dari pertanyaan itu, mengeksplorasi bagaimana tindakan 'menanyakan' bukan sekadar jalan menuju pengetahuan, namun merupakan tindakan mendasar penemuan diri dan bukti semangat ingin tahu yang mendefinisikan kita.

Pertama: Apa?
Socrates dengan rendah hati pernah berkata, "All I know is that I know nothing."

Filsuf Yunani kuno, Socrates, dengan terkenal menyatakan, "Yang saya tahu hanyalah saya tidak tahu apa-apa." Pernyataan yang tampaknya paradoks ini merangkum keterbatasan pengetahuan manusia. Kita mungkin mengumpulkan fakta dan membangun struktur intelektual yang mengesankan, namun dibandingkan dengan luasnya realitas, pemahaman kita pada dasarnya masih belum lengkap. Namun, pengakuan ini tidak membuat kita putus asa. Ini adalah percikan yang memicu pencarian kebenaran tanpa akhir. Dengan menyadari keterbatasan pengetahuan kita, kita membuka diri terhadap keajaiban dan kompleksitas dunia.  Paradoks Socrates ini menjadi kekuatan pendorong filsafat, mendesak kita untuk terus mempertanyakan, mengeksplorasi, dan menyempurnakan pemahaman kita.  Ini adalah realisasi yang merendahkan hati, namun menjadi bahan bakar perjalanan intelektual kita dan memaksa kita untuk terus mencari jawaban yang sulit dipahami terhadap pertanyaan mendasar tentang "apa" sebenarnya.

Bayangkan kekayaan budaya Indonesia, yang mencakup lebih dari 700 bahasa dan tradisi yang tak terhitung jumlahnya. Orang luar mungkin menghadapi kompleksitas ini dengan rasa ketidakpastian yang luar biasa. Namun ketidakpastian ini dapat menjadi batu loncatan untuk melakukan eksplorasi. Dengan menyadari keterbatasan pemahaman awal mereka, orang luar terdorong untuk menggali lebih dalam, mempelajari bahasa, berpartisipasi dalam upacara, dan terlibat dengan perspektif lokal. Paradoks Socrates ini menjadi kekuatan pendorong pertukaran budaya, mendesak kita untuk melampaui pemahaman dangkal dan merangkul kekayaan hal-hal yang tidak diketahui.

Demikian pula dalam eksplorasi ilmiah, keanekaragaman hayati Indonesia memberikan contoh yang sederhana. Banyaknya spesies yang belum ditemukan di hutan hujan nusantara menunjukkan betapa luasnya hal yang belum kita ketahui.  Namun kesadaran ini mendorong upaya ilmiah. Para peneliti terus berupaya untuk mengidentifikasi spesies baru, memahami peran ekologisnya, dan mengungkap rahasia evolusinya.  Paradoks Socrates menjadi mesin penemuan, mengingatkan kita bahwa semakin banyak kita belajar, semakin kita menyadari betapa masih banyak yang harus dipahami.  Ini adalah realisasi yang merendahkan hati, namun menjadi bahan bakar perjalanan intelektual kita dan memaksa kita untuk terus mencari jawaban yang sulit dipahami terhadap pertanyaan mendasar tentang "apa" sebenarnya.

Kedua: Mengapa?
David Hume secara metaforis pernah berpesan, "Cause and effect are not chained together as prisoner and jailer."

Filsuf Skotlandia, David Hume, melontarkan gagasan tentang hubungan sebab-akibat yang sederhana dengan kutipannya yang menggugah pikiran: "Sebab dan akibat tidak dirantai bersama-sama seperti tahanan dan sipir penjara."  Kita sering mencari satu penyebab pasti untuk menjelaskan suatu peristiwa. Kita boleh saja melihat awan hitam mengepul dan dengan yakin memperkirakan akan turun hujan. Namun Hume berpendapat bahwa pemikiran linier ini mungkin menyesatkan. Pembentukan awan kemungkinan besar melibatkan interaksi kompleks antara suhu, kelembapan, dan arus angin, bukan hanya "penyebab" tunggal.  Demikian pula, kaca yang jatuh akan pecah karena sifat materialnya, sudut jatuhnya, dan permukaan di bawahnya.  Pengamatan Hume mendorong kita untuk mempertimbangkan pemahaman yang lebih mendalam tentang "mengapa" sesuatu terjadi.  Peristiwa-peristiwa sering kali muncul dari gabungan berbagai faktor, suatu jaringan pengaruh, dan bukan dari satu sebab tunggal yang terisolasi.  Kesadaran ini memperluas perspektif kita, mendorong kita untuk melihat melampaui asumsi awal dan menghargai rumitnya hubungan sebab-akibat yang membentuk dunia kita.

Kita sering mencari satu penyebab pasti untuk menjelaskan suatu peristiwa. Misalnya, seorang petani di Indonesia mungkin melihat penurunan hasil panen padi dan langsung menyalahkan kurangnya curah hujan. Namun Hume berpendapat bahwa pemikiran linier ini mungkin menyesatkan. Penurunan ini mungkin disebabkan oleh berbagai faktor yang saling mempengaruhi: penyakit tanaman baru yang tidak terdeteksi, perubahan suhu musiman yang berdampak pada penyerbukan, atau bahkan perubahan kualitas air dari pertanian hulu.  Pengamatan Hume mendorong kita untuk mempertimbangkan pemahaman yang lebih mendalam tentang "mengapa" sesuatu terjadi. Peristiwa-peristiwa sering kali muncul dari gabungan berbagai faktor, suatu jaringan pengaruh, dan bukan dari satu sebab tunggal yang terisolasi.  Kesadaran ini memperluas perspektif kita, mendorong kita untuk melihat melampaui asumsi awal dan menghargai rumitnya hubungan sebab-akibat yang membentuk dunia kita. Petani Indonesia, sekali lagi sebagai contoh, dengan menyelidiki berbagai kemungkinan, dapat mengembangkan strategi yang lebih komprehensif untuk mengatasi masalah ini, sehingga menjamin panen yang melimpah di masa depan.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun