Mohon tunggu...
Danang Satria Nugraha
Danang Satria Nugraha Mohon Tunggu... Dosen - Pengajar di Universitas Sanata Dharma

Selain mengajarkan ilmu bahasa dan meneliti fenomenanya di ruang publik, penulis gemar mengamati pendidikan dan dinamikanya.

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Pilihan

Mengapa Aku Harus Bertanya?

1 Juli 2024   01:48 Diperbarui: 1 Juli 2024   02:17 63
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
(https://imgs.cwgv.com.tw/hbr_articles/78/17778/preview/17778.png)

Lebih lanjut, pengamatan Hume mendorong kita untuk mempertimbangkan pemahaman yang lebih berbeda tentang "mengapa" hasil pendidikan berkembang seperti itu atau serupa itu berdasarkan parameter tertentu.  Nilai ujian yang buruk mungkin disebabkan oleh berbagai faktor yang saling mempengaruhi. Apakah kurikulum secara efektif selaras dengan penilaian?  Apakah guru mempunyai sumber daya dan pelatihan untuk menyampaikannya dengan sukses?  Apakah ada tantangan sosial atau ekonomi yang mempengaruhi pembelajaran siswa di rumah?  Pemahaman Hume menyoroti perlunya pendekatan yang lebih holistik terhadap kebijakan pendidikan.  Menerapkan program baru atau memperpanjang jam sekolah saja mungkin tidak cukup.  Sebaliknya, para pembuat kebijakan harus mempertimbangkan jaringan pengaruh yang membentuk hasil pendidikan di masyarakat Indonesia yang beragam. Hal ini dapat mencakup investasi dalam pelatihan guru, pengembangan materi kurikulum yang relevan dengan budaya, atau mengatasi faktor-faktor seperti kesehatan dan gizi siswa. Dengan mengakui rumitnya hubungan sebab-akibat, para pembuat kebijakan dapat bergerak lebih dari sekadar solusi sederhana dan mengembangkan intervensi efektif yang meningkatkan pengalaman pendidikan bagi seluruh siswa di Indonesia.

Ketiga: Kapan?
Tentang pertanyaan ketiga, Soren Kierkegaard pernah berkata, "The past is always present."

Kutipan mendalam dari filsuf Denmark Soren Kierkegaard, "Masa lalu selalu hadir," menantang pemahaman linier kita tentang waktu. Hal ini menunjukkan bahwa masa lalu bukanlah sebuah kotak yang terkotak-kotak rapi, melainkan sebuah kekuatan hidup yang terus membentuk siapa kita saat ini. Pengalaman kita, baik yang menyenangkan maupun yang sulit, meninggalkan bekas yang tak terhapuskan dalam pikiran, emosi, dan perilaku kita.  Bayangkan pasar malam yang ramai di Indonesia. Pemandangan, suara, dan baunya mungkin membangkitkan kenangan akan kunjungan masa kecil bersama keluarga, membentuk cara Anda menikmati pemandangan saat ini. Rasa nostalgia menyelimuti Anda, mungkin diwarnai dengan kepedihan pahit seiring berjalannya waktu.  Inilah inti pengamatan Kierkegaard. Masa lalu bukanlah kenangan lama; itu terjalin dalam diri kita saat ini, memengaruhi cara kita memandang dan berinteraksi dengan dunia di sekitar kita.  Keterkaitan antara masa lalu, masa kini, dan masa depan menggarisbawahi pentingnya refleksi penuh kesadaran. Dengan memahami bagaimana pengalaman telah membentuk kita, kita mendapatkan hak pilihan yang lebih besar dalam membentuk diri kita saat ini dan masa depan.

Pengalaman kita, baik yang menyenangkan maupun yang sulit, meninggalkan bekas yang tak terhapuskan dalam pikiran, emosi, dan perilaku kita. Pertimbangkan lanskap pendidikan di Indonesia. Sistem pendidikan kolonial Belanda, misalnya, menekankan hafalan dan pengajaran yang berpusat pada guru.  Generasi masyarakat Indonesia yang menjalani sistem ini mungkin secara tidak sadar mereplikasi metode-metode tersebut bahkan ketika dihadapkan pada pedagogi modern yang berpusat pada siswa.  Inilah inti pengamatan Kierkegaard. Pendekatan pendidikan di masa lalu bukanlah sebuah kenangan; hal ini terjalin dalam cara sebagian pendidik memandang peran mereka di kelas, yang memengaruhi cara mereka berinteraksi dengan siswa.  Keterkaitan masa lalu, masa kini, dan masa depan menggarisbawahi pentingnya refleksi pedagogi dalam pendidikan Indonesia. Dengan memahami bagaimana pengalaman pendidikan mereka telah membentuk gaya mengajar mereka, para pendidik dapat melakukan upaya sadar untuk mengadopsi metode yang lebih progresif yang memupuk pemikiran kritis dan kreativitas siswanya. Kesadaran ini memberdayakan mereka untuk melepaskan diri dari rantai masa lalu dan menerapkan pendekatan inovatif terhadap pendidikan di masa kini.

Keempat: Di mana?
Marcel Proust dengan satir pernah berkata, "The only true voyage of discovery is not to visit new lands but to have a new eye."

Novelis Perancis, Marcel Proust, menawarkan refleksi mendalam mengenai persepsi dalam kutipannya, "Satu-satunya perjalanan penelusuran yang sebenarnya bukanlah mengunjungi negeri-negeri baru, melainkan memiliki pandangan baru."  Meskipun tidak sepenuhnya bersifat filosofis, hal ini mempunyai implikasi filosofis yang mendalam.  Proust menantang pemahaman kita tentang "di mana" kita sebenarnya berada.  Ia berpendapat bahwa lokasi fisik hanyalah salah satu bagian dari teka-teki. Pengalaman kita terhadap suatu tempat pada dasarnya dibentuk oleh perspektif kita, "mata" kita.  Bayangkan dua orang berjalan melalui pasar Indonesia yang ramai. Seseorang mungkin kewalahan dengan pemandangan, suara, dan bau, merasa bingung dan frustrasi.  Yang lainnya, mungkin seorang seniman, mungkin terpikat oleh warna-warna cerah, pola rumit pada kain, dan simfoni suara tawar-menawar. Lokasi fisik mereka sama, namun pengalaman mereka sangat berbeda.  Konsep Proustian ini menyoroti sifat subjektif dari realitas.  Persepsi kita bukanlah refleksi pasif terhadap dunia, namun proses interpretasi aktif yang dibentuk oleh latar belakang, minat, dan emosi kita.  Dengan mengembangkan "mata baru", sebuah perspektif baru, kita dapat membuka dimensi pengalaman baru, bahkan di tempat yang paling kita kenal sekalipun.  Ini adalah perjalanan penemuan yang sebenarnya, sebuah perjalanan penemuan diri yang dipicu oleh keterbukaan terhadap cara-cara baru dalam memandang dunia di sekitar kita.

Sebagai contoh lainnya, bayangkan sebuah ruang kelas tradisional Indonesia, di mana siswa secara pasif menerima informasi melalui ceramah dan hafalan. Pendekatan ini membatasi "tempat" pembelajaran hanya pada batas-batas dinding kelas.  Namun, seorang guru yang mengadopsi perspektif Proustian dapat mengubah ruang ini. Dengan menggabungkan kegiatan interaktif, diskusi, dan pembelajaran berbasis proyek, guru membekali siswa dengan "mata baru" untuk penyelidikan dan berpikir kritis. Tiba-tiba, ruang kelas menjadi batu loncatan untuk melakukan eksplorasi, bukan sekadar tempat menyerap fakta.

Hal ini juga melampaui dinding kelas fisik.  Seorang siswa yang mengembangkan minat terhadap sejarah melalui pelajaran yang menarik mungkin mulai melihat makna sejarah dalam kehidupan sehari-hari -- dalam arsitektur bangunan kolonial atau praktik tradisional komunitas mereka. "Mata baru" mereka memungkinkan mereka belajar dari dunia di sekitar mereka, bukan hanya dari buku teks.  Dengan menganut konsep Proustian, pendidik dapat melakukan lebih dari sekadar menyebarkan pengetahuan dan memberdayakan siswa untuk menjadi peserta aktif dalam perjalanan belajar mereka sendiri. Hal ini memperluas "tempat" pendidikan, mengubah pengalaman sehari-hari menjadi peluang untuk menemukan sesuatu.

Kelima: Siapa?
Tentang pertanyaan kelima, Ren Descartes dengan lantang pernah berkata, "Cogito, ergo sum" (I think, therefore I am).  

Kutipan terkenal Ren Descartes, "Cogito, ergo sum" (Saya berpikir, maka saya ada), melontarkan proposisi filosofis ke dalam pertanyaan "siapa" keberadaan kita.  Dengan mendasarkan eksistensi pada tindakan berpikir itu sendiri, Descartes menantang gagasan bahwa kita ada hanya melalui tubuh fisik di lokasi tertentu.  Jika tindakan berpikir itu sendiri merupakan bukti keberadaan, maka mungkin keberadaan dapat terjadi secara independen dari alam fisik.  Pertimbangkan konsep Wayang Kulit, teater wayang kulit yang rumit di Indonesia.  Wayang sendiri hanyalah potongan kulit mati, namun melalui manipulasi dalang, wayang menjadi hidup, bercerita dan mengekspresikan emosi.  Proposisi Descartes menunjukkan fenomena serupa -- "pemikiran" kita bisa saja menjadi dalang, yang menjiwai kesadaran kita bahkan jika bentuk fisik kita tidak ada atau berubah.  Pemikiran ini membuka pintu bagi pertanyaan-pertanyaan mendalam tentang kesadaran, kecerdasan buatan, dan hakikat realitas itu sendiri.  Apakah esensi kita hanya berada di otak fisik, atau adakah aspek "keberadaan" yang lebih mendasar yang melampaui batasan lokasi?  "Cogito, ergo sum" karya Descartes menjadi batu loncatan untuk eksplorasi filosofis, mendesak kita untuk mempertanyakan "siapa" keberadaan kita dalam skema besar alam semesta.

Pertimbangkan semakin populernya platform pembelajaran online di Indonesia. Platform ini memungkinkan siswa mengakses konten pendidikan dan berpartisipasi dalam diskusi dari mana saja di nusantara, bahkan dari desa terpencil.  Proposisi Descartes selaras dengan konsep ini.  Lokasi fisik siswa menjadi nomor dua; kemampuan mereka untuk berpikir kritis, terlibat dengan materi, dan berkontribusi pada wacana online menjadi bukti keberadaan mereka dalam lingkungan pembelajaran.  Hal ini membuka jalan bagi sistem pendidikan yang lebih inklusif dan mudah diakses di Indonesia, dimana "tempat" pembelajaran tidak lagi terbatas pada ruang kelas tradisional namun dapat terjadi di ruang mana pun yang menumbuhkan pemikiran dan keterlibatan intelektual.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun