Mohon tunggu...
Danang Probotanoyo
Danang Probotanoyo Mohon Tunggu... profesional -

Alumnus UGM, sewaktu Mahasiswa banyak terlibat berbagai "gerakan sosial". Sesekali menulis di media massa mainstream: nasional, lokal dan luar daerah. Anti penindasan dan diskriminasi. Di Kompasiana hanya ingin menulis yang enteng-enteng saja: Singkat, padat, mengena, dan sebisa mungkin menghibur serta bermanfaat(?!). Ingin mempolitisasi humor dan menghumorkan politisi di beberapa segmen. Prinsip: HUMOR CERDAS & MENCERAHKAN. silahkan tertawa sebelum tertawa dikenakan pph! (pajak pemakaian humor)\r\nPeringatan: Copy paste atas karya Saya diijinkan dengan syarat mencantumkan sumber dan nama penulis. Bila tidak berarti terjadi penjiplakan!

Selanjutnya

Tutup

Politik

Opiniku di KOMPAS Hari Ini

4 Maret 2012   22:32 Diperbarui: 25 Juni 2015   08:30 1455
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Ini Opiniku di KOMPAS cetak hari ini (Senin, 5 Maret 2012), saya publish di Kompasiana agar bisa terbaca teman-teman yang kebetulan belum sempat membaca KOMPAS cetak hari ini. Selamat membaca kawan.

Pembusukan Reformasi

Oleh : Danang Probotanoyo

Paradoks, menjadi satu kata yang tepat untuk menggambarkan kondisi teraktual negeri ini bila dihadapkan dengan labelnya sebagai era reformasi. Setidaknya, century gate, kasus Gayus, suap Wisma Atlet, renovasi ruang Banggar DPR, berbagaikonflik horizontal, hingga yang teraktual rekening gendut PNS, Dhana Widyatmika (Gayus jilid II) merupakan snapshot karut marut negeri ini. Itu semua tak ada kesesuaian dengan label era reformasi.

Cita-cita reformasi yang digulirkan mahasiswa – 14 tahun silam-- secara garis besar adalah terciptanya kondisi berbangsa dan bernegara yang demokratis serta secara simultan berusaha mewujudkan perikehidupan rakyat yang adil dan sejahtera. Dua tujuan pokok tersebut antitesa dari demokrasi palsu ala rezim represif Orde Baru (Orba) yang sarat dengan perikehidupan serba Korupsi, Kolusi dan Nepotisme (KKN).

Kini reformasi sudah berumur empat belas tahun, kenyataannya baru sedikit perbaikan di negara ini. Memang, manifestasi kehidupan demokratis seperti: pers yang bebas, pemilihan langsung presiden, anggota dewan hingga kepala daerah serta kebebasan berbicara telah teraktualisasikan. Dapat dikatakan, secara garis besar aspek politis di negera ini telah berjalan semestinya, walau masih patut dipertanyakan segi kualitatifnya. Namun, secara factual cita-cita fundamental reformasi yang ingin mewujudkan suatu masyarakat madani yang sejahtera, adil dan steril dari “penyakit genetis” KKN warisan Orba tampaknya mulai termarginalisasi oleh hiruk-pikuk euphoria politik. Bahkan, muncul skeptisismebahwa perjalanan demokratisasi yang baru seumur jagung, ternyata masih “berwahanakan” KKN. Fenomena politik uang, suap-menyuap, korupsi, makelar kasus, mafia hukum dan mafia anggaranmasih mendominasi denyut nadi organ-organ demokrasi, birokrasi, hingga keseharian masyarakat sendiri.

Anomali Reformasi

Ini bukan gejala aneh yang muncul tiba-tiba di era reformasi. Ini terjadi karenaperubahan rezim yang ada – dari Orba ke era reformasi – hakekatnya hanya ganti “label” rezim ansich. Secara personality orang-orang lama dari pusat lingkaran kekuasaan Orba, atau setidaknya menjadi bagian instrumen sosial politik rezim otoriter Soeharto masih eksis dan solid, bahkan cenderung mendominasi di berbagai: partai politik, lembaga negara serta di jajaran birokrasi. Tanpa menafikan, sebagian kecil “orang-orang” lama tersebut mampu menunjukkan perubahan sikap mental dan berlaku adaptif dengan tuntutan reformasi. Namun, secara umum orang-orang lama tersebut dengan pongahnya masih mengumbar kultur lama yang sarat dengan idiom KKN.

Patut untuk dicermati dan menjadi bahan refleksiterjadinya kesalahan kolektif bangsa ini, yakni mengabaikan wacana “pemotongan generasi” yang dulu sempat dihembuskan kala melahirkan reformasi. Pemotongan generasi disini: bahwa semua key person rezim represif Orba di semua lembaga negara dan jajaran birokrasi yang nyata-nyata mengidap penyakit kronis KKN seharusnya diamputasi dan dimasukkan dalam keranjang sampah sejarah. Sebaliknya, yang terbukti masih memiliki kadar integritas dalam dirinya serta bisa diharapkan untuk turut bersama-sama mengeliminasi stigma buruk Orba yang serba represif dan KKN, dipersilahkan duduk manis ikut dalam gerbong reformasi. Kesalahan kedua, yang cukup serius (dan naif) dari bangsa ini adalah sifat pelupa dan ketiadaan kemampuan dalam mengidentifikasi. Riilnya, sebagian masyarakat yang tidak mampu mencari sebab kekisruhan sosial-politik saat ini, justru terbius romantika indahnya kehidupan sosial-politik (dan ekonomi) semasa rezim Orba berkuasa. Padahal sejarah membuktikan bahwa segala keindahan” semasa Orba tidaklah fundamental, namun bersifat artificial sertasemu belaka. Anasir rezim Orba yang beralih rupa menjadi reformis dadakan dan musiman malah banyak dijadikan leader di berbagai infrastruktur politik negeri ini. Masyarakat kurang paham,karut marut sekarang ini disebabkan banyaknya orang-orang bermental Orba yang memimpin bangsa ini. Kesalahan ketiga,patut dialamatkan kepada para pengusung gerakan reformasi itu sendiri. Sebagian aktivis penggerak reformasi 1998 ternyata hanya berpuas diri dalam keberhasilannya menumbangkan individu Soeharto. Alih-alih untuk mengawal jalannya reformasi agar tetap on the right track, lebih buruk lagi justru sebagian dari mereka malah meleburkan diri dengan anasir lama demi tujuan pragmatis jangka pendek berupa kursi kekuasaan. Merekalah inilah tipe aktor gerakan sosial yang disebut materialis-oportunis, dimana dalam perjuangannya masih diwarnai oleh motif untuk mencapai materi tertentu, prestise sosial dan kekuasaan politik(Wahyudi, 2005).

Akibat tiga kesalahan fatal di atas, nampak sekali bahwa kehidupan sosial masyarakat nyaris tak ada perubahan signifikan, hanya kaum elit di kekuasaan dan birokrasi saja yang menikmati berkah reformasi.

Feodalisme Vs Kemiskinan Struktural

Kita sekarang semakin tertatih-tatih dalam menumpas penyakit kronis bangsa yang bernama KKN.Pemain lama KKN telah mengkloning dirinya secara masif di hampir semua infrastruktur politik. Generasi koruptor baru bermunculan setiap hari. Cita-cita reformasi untuk mewujudkan kehidupan rakyat yang lebih sejahtera dan berkeadilan nampak semakin menjauh. Contoh sederhana:para buruh, pekerja migran, petani, nelayan dan pekerja informal, yang menduduki piramida struktur sosial paling bawah (jumlah mayoritas) kehidupannya tidak bertambah membaik di era reformasi. Justru keterbatasan daya hidup mereka dijadikan bahan “jualan” untuk menopang legitimasi aktor-aktor politik saat pemilihan umum di tingkat pusat maupun daerah.

Wajah birokrasi yang sudah “dipermak” habis-habisan – khususnya menyangkut kesejahteraan mereka semenjak era Abdurrahan Wahid hingga SBY part II, belum mampu merubah tabiat dan kinerjanya secara signifikan. Perilaku KKN masih merajalela di ranah birokrasi negeri ini. Justru, di era reformasi ini aparatur birokrasi lebih berkarakter feodalistik dibanding sebelumnya. Ini tercermin pada perilaku penghamburan uang rakyat demi meningkatkan standar hidup dan memompa prestise aparatur negara. Mobil dinas mewah, tunjangan fantastis, kunjungan dinas yang tak jelas sangat dominan di ranah birokrasi. Sepertiterjadi di Kabupaten Mojokerto, pada tahun 2012 ini pemda setempat tidak menganggarkan beras untuk orang miskin (Raskin), namun lebih memilih belanja mobil dinas hingga senilai Rp. 5,6 Milyar (KOMPAS.Com 28/12/2011). Foya-foya duit rakyat ini bisa semakin menjadi-jadi manakala SBY sebagai presiden memberikan contoh yang tidak pantas dengan membeli pesawat kepresidenan mewah seharga Rp. 912 Milyar. Seolah mereka tiada peduli terhadap kemiskinan yang diidap lebih dari 35 juta penduduk negeri ini.

Jadi, kemiskinan di era reformasi sekarang ini lebih bersifat sebagai kemiskinan struktural. Kemiskinan tersebut terjadi akibat suatu golongan dalam masyarakat tidak dapat ikut menggunakan sumber-sumber pendapatan yang sebenarnya tersedia bagi mereka (Selo Soemardjan, 1980). Kesimpulan yang bisa dipetik bahwa cita-cita reformasi untuk mewujudkan suatu masyarakat demokratis yang sejahtera dan berkeadilan telah mengalami deviasi dengan terciptanya masyarakat elitis berkultur feodalistik. Semoga ini tidak membuat rakyat bertambah frustasi dengan mencari alternatif lain dari reformasi, yakni revolusi, yang bisa berakibat destruktif.


Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun