[caption id="attachment_150382" align="alignnone" width="218" caption="Ketua MK, Prof Dr Muh. Mahfud MD dan Saya (Duo KAGAMA beda nasib)"][/caption] Tarik ulur dan perang urat syaraf antara kekuatan "pro koruptor" dan antikorupsi nampaknya sedang sengit-sengitnya. Salah satu fenomena aktual yang muncul dari lakon perang melawan korupsi (koruptor) adalah polemik pengetatan remisi untuk penjahat korupsi, dimana terjadi pergulatan wacana yang hebat dan menjurus ke kasar antara Wamenkumham, Denny Indrayana, di pihak yang menginginkan pengetatan remisi terhadap koruptor (sesuai aspirasi rakyat) versus anggota DPR, yang diwakili Aziz Syamsudin dari Partai Golkar, yang begitu ngotot menolak pengetatan remisi untuk koruptor! Dibarisan Aziz Syamsudin nampak pula sejumlah advokad yang notabene banyak mengadvokasi para koruptor di sejumlah kasus. Tak ketinggalan perlawanan terhadap Denny Indrayana dilakukan juga oleh Yuzril Ihza Mahendra, yang sedang ada kasus itu. Dalam seminar di Universitas Gadjah Mada, tanggal 16-17 Desember kemarin, saya tergelitik untuk menanyakan permasalahan tersebut kepada Ketua Mahkamah Konstitusi, Prof. Dr. Muhammad Mahfud MD, S.H. Ternyata beliau sangat setuju dengan langkah Denny Indrayana untuk mengetatkan remisi bagi penjahat korupsi. Argumen yang disampaikan Prof. Mahfud adalah bahwa Hukum mestinya didudukkan pada substansinya, yaitu rasa keadilan (masyarakat luas). Hukum bukan masalah formalitas pasal-pasal atau ayat-ayat semata. Kalau meninjau dan mengkaji hukum hanya soal pasal dan ayat maka hukum yang terbangun jelas hukum yang hanya berpihak pada soal menang-kalah. Prof Mahfud memberikan contoh, bagaimana seorang koruptor yang telah menyikat uang rakyat sebesar Rp. 12 Milyar, hanya dihukum oleh pengadilan selama 2,5 tahun penjara, namun setelah dipotong remisi yang berjibun, total si koruptor hanya tinggal di bui selama 9 bulan saja! Kalau soal hukum hanya dibawa ke pasal-pasal secara kaku, maka akan mencampakkan rasa keadilan masyarakat. kembali prof. Mahfud mencontohkan, ada seorang koruptor, yang jelas-jelas terbukti menilap uang rakyat namun dibebaskan demi "hukum" (baca: hanya karena hukum dimaknai sebagai pasal-pasal), gara-gara terjadi selisih waktu antara dua orang saksi, seorang saksi menyatakan bahwa si koruptor menerima duit jam 11 sedang si saksi lain mengatakan jam 12, akibat "selisih keterangan waktu" tersebut dan berkat kepiawaian pembelanya maka si koruptor pun dibebaskan hakim. Jadi, sekarang kita tinggal memilih, akan mendukung hukum yang berpihak pada rasa keadilan rakyat banyak, atau mengkultuskan hukum hanya sebatas lembaran-lembaran kertas mati!
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H